Opini

Tsunami di Ujung Tarikan Napas Nabi Musa AS

Oleh : KH A Hasyim Muzadi "Inna Ahwanal Anbiyaa-i Mautan Kaliimullaah Muusaa'alaihissalaam" (Di antara para nabi yang paling mudah mengalami derita kematian adalah Nabi Musa AS). Planet tempat kita tinggal, hanyalah merupakan titik teramat kecil di tengah bentangan Bima Sakti yang menghuni alam semesta. Ia tak lebih dari sekadar sebuah molekul sepermini di antara bilangan tak terhingga molekul-molekul lainnya. Bumi kita dikelilingi lautan mahaluas dengan gelombang miliaran ton energi yang sungguh ganas. Di atas semua kehidupan ini, Allah SWT bersemayam, di Singgasana kerajaan-Nya. Dialah yang mengatur semuanya.Kalau bumi yang mampu menampung miliaran lembar nyawa manusia saja ukurannya seperti titik, lantas di mana tempat kita di tengah tata surya ini? Lantas, kenapa kita selalu merasa paling besar, paling berkuasa sangat angkuh, padahal sesungguhnya kita hanyalah mahluk yang sangat lemah tak berdaya? Kenapa kita selalu merasa hebat, padahal di luar hak kepemilikan Allah SWT atas kita, rasa ketergantungan kita kepada alam sangatlah besar?Di penghujung tahun 2004 lalu, Allah benar-benar menunjukkan betapa Maha Besar-Nya Dia dan betapa sangat kecil dan lemahnya kita. Sebuah patahan bumi yang bergerak hingga menyebabkan gempa serta lempengan bumi yang menganga sepersekian detik hingga mengakibatkan tumpahnya air laut dalam bentuk tsunami, seperti hentakan keras suara Malaikat Maut di gendang telinga kita bahwa Allah itu Wujud (Maha Ada).Dalam untaian kata-kata biasa, gempa tektonik berskala 9,0 magnitudo telah menyebabkan tsunami di Samudera Hindia pada 26 Desember 2004 sehingga 150 ribu orang tewas di 12 negara Asia-Afrika. Bencana ini terjadi persis setahun setelah gempa di Bam Iran yang menewaskan 30 ribu orang pada tanggal 26 Desember 2003. Lantas di mana letak Aceh dan Sumatra Utara di antara molekul-molekul itu? Aceh dan Sumatra Utara hanya sebagian kecil dari Bumi Nusantara Indonesia hanya bagian terkecil dari bentangan bumi. Bumi tak lebih dari sekadar satu titik dari sebuah garis kekuasaan di antara Kekuasaan-Nya. Allahu Akbar!Dalam konteks ke-Maha Besar-an Allah, bencana gempa bumi dan gelombang tsunami tersebut benar-benar tak mampu kita prediksi sehingga untuk mengetahui adanya aktivitas seismik yang dapat direkam sebelum terjadi gempa, tak bisa kita lakukan. Ketika pengetahuan manusia begitu terbatas, kepekaan menurun, kesadaran ilmiah berkurang, mendadak bencana itu seperti dikendalikan dengan menggunakan gelombang elektromagnetik. Di tengah arogansi kita sebagai manusia Allah SWT langsung menunjukkan Sifat Al-Qahhar (Yang Maha Perkasa) dengan memerintahkan malaikat untuk meniupkan triliunan ton kumpulan energi yang sangat besar, sehingga terciptalah gempa dan tsunami. Demikianlah, "Wa Idzal Bihaaru Fujjirot" (Dan Apabila Samudera Ditumpahkan). Secara materi dan kasat mata kerusakan yang ditimbulkan luar biasa mengerikan. Ribuan bangunan rata dengan tanah dan kampung-kampung menghilang dari peta daerah. Yang sungguh menghempaskan jiwa kita sebagai anak manusia ke dasar sumur tanpa dasar adalah karena beribu-ribu lembar nyawa manusia melayang dengan proses dan caranya masing-masing. Kalau kerusakan benda dapat kita berikan, bagaimana dengan tercabutnya nyawa-nyawa tak berdosa karena diambil Malaikat Maut tanpa ada isyarat sedikitpun.Mereka yang menjadi korban adalah rakyat kita yang tingkat kepatuhannya tak pantas kita pertanyakan. Saudara-saudara kita di Aceh terutama sudah sekian puluh tahun menderita lahir dan batin karena situasi yang tak pernah menentramkan. Dalam hikmah-Nya puluhan atau mungkin seratus ribu lebih nyawa itu, sengaja diselamatkan Allah untuk didaftarkan sebagai penghuni surga karena dunia sudah tak nyaman bagi mereka.Lantas, benarkah pendaftaran menuju surga tanpa pengorbanan? Tercabutnya nyawa dari badan sungguh tak terperikan sakitnya. Tapi bagi syuhada Aceh itu jauh lebih baik dengan menjadi penghuni surga ketimbang terus menderita. Coba kita simak sebuah riwayat berikut seputar gambaran tercab

Kamis, 13 Januari 2005 | 04:03 WIB