Opini

Solidaritas NU

NU Online  ·  Senin, 29 Maret 2004 | 14:13 WIB

Oleh: M Yusni Amru Ghazaly*

Tidak ada seorang sosiolog yang patut diberi acungan jempol, karena ketelitiannya dalam membahas masalah solidaritas sosial kecuali Emile Durkheim. Terbukti darinya lahir pembagian solidaritas kepada mekanik dan organik.  Hasil analisa Durkheim tidak hanya menambah kuantitas fokus para peminat sosiologi, dalam memahami solidaritas sosial dan keterkaitannya dengan tema lain, tetapi sekaligus menambah keyakinan terhadap kebenaran pendapatnya, mengenai pondasi dasar sosial yang sebenarnya, dengan tanpa mengabaikan pendapat sosiolog lain mengenai hal tersebut.

<>

Menurut Emile Durkheim,  solidaritas sosial adalah “kesetiakawanan yang menunjuk pada satu keadaan hubungan antara individu dan atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional bersama”. Solidaritas sosial menurutnya, sebagaimana yang telah diungkapkan, di bagi menjadi dua yaitu: pertama, mekanik adalah solidaritas sosial yang didasarkan pada suatu “kesadaran kolektif” (collective consciousness) bersama yang menunjuk pada totalitas kepercayaan-kepercayaan dan sentimen-sentimen bersama yang rata-rata ada pada warga masyarakat yang sama itu. Yang ikatan utamanya adalah kepercayaan bersama, cita-cita, dan komitmen moral. Sedangkan yang kedua, organik adalah solidaritas yang muncul dari ketergantungan antara individu atau kelompok yang satu dengan yang lainnya akibat spesialisasi jabatan (pembagian kerja).

Moral, sebagaimana yang kita ketahui, telah menjadi motto utama yang diajarkan oleh setiap agama kepada pemeluknya (innama bu'itstu liutammima makarimal akhlaq), sebagai upaya untuk menjaga keteraturan sosial –walaupun Weber berpendapat bahwa norma-norma dan nilai-nilai yang diafirmasikan tersebut diciptakan dari nafsu, visi, dan inspirasi para nabi, pendeta, peramal dan guru-. Karena pada dasarnya, agama bertujuan untuk memperkuat norma-norma kelompok, sanksi moral untuk perbuatan perorangan, dan menjadi dasar persamaan tujuan serta nilai-nilai yang menjadi landasan keseimbangan masyarakat.Tekanan tradisional agama terhadap aspek moral inilah, yang kemudian secara spontan, telah menjadikan dirinya sebagai lembaga sosial, yang memberikan sumbangan terhadap terwujudnya solidaritas sosial yang kuat.

Hal itu merupakan salah satu bukti, bahwasanya agama, bagaimanapun juga tidak bisa lepas dari keterkaitannya dengan masalah-masalah sosial. Durkheim sendiri berpendapat bahwa analisa sosiologis mengenai agama, seharusnya dimulai dari pengakuan akan adanya saling ketergantungan antara agama dan masyarakat. Bagaimana tidak, ketika agama dipahami oleh pemeluk, sudah barang tentu akan melahirkan sebuah keyakinan kolektif terhadap wujud Tuhan mereka -Tuhan menurut penulis adalah sebagai pusat bersandarnya benak semua pemeluk (pemersatu hati)-. Yang tentu saja, sesuai dengan perspektif ajaran agama masig-masing. Dan hal itu membantu memfasilitasi pemeluk agama untuk kemudian melakukan internalisasi melalui ritual-ritual, hingga akhirnya membentuk suatu identitas kelompok tersendiri. Sangat rasional jika kemudian dari fenomena semacam ini, lahir apa yang kita sebut sebagai kemajemukan, dan sudah pasti akan berujung pada pengakuan adanya “The other”.

Fakta menunjukkan bahwa konsep “the other” tidak bisa dipungkiri keberadaannya. Yang mana pemahaman umat beragama terhadapnya, menjadi tolok ukur sikap kolektif mereka untuk menjadikan agama, sebagai daya penyatu (sentrypetal) atau sebagai daya pemecah umat (sentrifugal). Karena untuk keduanya, tanpa dominasi sebelah pihak, agama berpotensi.

Kasus di Tubuh NU

NU (Nahdlatul Ulama’) sebagai organisasi keagamaan yang mayoritas, tentu saja ia mempunyai andil yang besar, dalam membina bersama tujuan kolektif bangsa Indonesia. Negara yang majemuk sudah barang pasti, menginginkan adanya rasa tenggang rasa yang tinggi, tertanam di dalam diri setiap warga negara. Dan harapan tersebut tidak hanya tertuju pada warga NU (atau organisasi dominan lain), tetapi juga kepada seluruh warga negara dengan identitas kolektif (religius) apapun yang mereka miliki. Sehingga persatuan dan kesatuan, tetap terbina dengan subur.


Waktu berjalan dengan mesra bersama politik panas negeri. Hingga harapan itu tanpa terasa, menjadi hancur. Ketika kita melihat bagaimana umat -atas nama jihad atau yang lainnya yang mengarah pada sentimen keagamaan- berperang, bertikai di tanah pertiwi. Ini adalah masalah, dimana harapan damai dan sentosa yang membayangi benak seluruh bangsa tidak searah dengan realita yang ada.

Melihat kenyataan bahwa agam