Opini

Plato dan Pemimpin Pilihan Rakyat

NU Online  Ā·  Selasa, 8 Juni 2004 | 04:33 WIB

Oleh Aguk Irawan Mn *

Seorang pemimpin, tentulah orang yang dinilai paling mumpuni dan layak. Sejak zaman dahulu telah dirumuskan kriteria-kriteria seorang pemimpin dalam suatu negara. Hal itu berlangsung semakin terkordinir sejak masa kebesaran Yunani, Mesir, Arab, India, Cina dan abad moderen yang dimotori Eropa dan Amerika.

<>

Setidaknya, catatan sekitar kepemimpinan itu terumus dalam gagasan dan pemikiran Plato. Salah satu sumbangan berharga dari murid Socrates ini adalah rumusanĀ  syarat yang harus dicapai untuk menjadi Pemimpin. Dalam bukunya yang populer berjudul The Republic (1936), karya ini menyulut gagasan tentang rancang-bangun persemakmuran ideal dalam jajaran paling awal karya-karya utopia. The Republic adalah sebuah upaya keras untuk mendefinisikan keadilan, dengan membayangkan kemungkinan adanya negara terbaik yang harus direalisasikan untuk mewujudkan niali keadilan dan kemanusiaan. Dari sini pula Plato memperlihatkan secara jelas bahwa menjadi seorang Pemimpin adalah bukan sesuatu yang muda dicapai oleh seseorang.

Menjadi Pemimpin rakyat (baca: Presiden), Plato perlu memberi syarat tertentu yang harus dipenuhi oleh seorang calon pemimpin, Syarat-syarat itu kembali pada kualitas manusia yang disandarkan kepada nafs atau akal manusia, dan tidak kembali pada "jasad" manusia. Sebab akal inilah yang nantinya menuntun pemimpin dalam empat kebajikan pokok yang sepanjang masa terus
dibutuhkan oleh rakyat, yakni memiliki pengendalian diri, keberanian, kearifan dan keadilan.

Keempat pokok ini menurut Plato hanya ada dalam kelas sosial pertama, yaitu kelas filosof (kaum cerdik cendikia,kaum terdidik).

Pembagian KelasĀ 
Plato membagi kelompok manusia (baca: rakyat) menjadi tiga kelas: Pertama, kelas filosof (aqliyah'), yaitu suatu kelompok bermoral baik dan berakal cerdas yang memiliki kepiawaian mengolah Negara. Kedua, kelas militer atau prajurit (junudiyah) yaitu kelompok yang bertugas melaksanakan pertahanan negara baik dari musuh internal maupun eksternal. Ketiga, kelas Buruh (syahwaniyah) disebut dengan wargaĀ  negara biasa yang harus menyediakan barang dan jasa yang diperlukan untuk Bangsa (baca: produksi).

Teori Plato tentang kelas ini didasarkan pada
pendirian pendapat bahwa manusia secara perorangan tidak memadai dalam dirinya sendiri. Maka manusia butuh berkumpul dan berkomunitas (baca: polis) untuk saling membantu demi hajatan bersama dengan keuntungan masing-masing. Maka ketiga kelas sosial yang berbeda secara realitas, adalah tugas rakyat yang tak boleh tercampur satu sama lain. Ketiganya harus berjalan secara terpisah dalam ruang-lingkup keahlihan manusia secara individu. Sebab komunitas yang menetap, akan melahirkan keberagaman bentuk pekerjaan. Dan keberlangsungan corak kehidupan yang beda ini, secara ideal seharusnya dilakukan oleh para individu yang ahli dalam jenis pekerjaan tertentu. Ahli yang menerapkan kecakapannya di berbagai bidang kegiataan kehidupan bermasyarakat yang sesuai dengan sepesialisasinya.

Dalam The Republic, untuk mewujudkan Negara Ideal, Plato merasa perlu menjalankan fungsi-fungsi utama negara— yaitu: menerapkan manajemen admintrasi (idariyah), yang kembali pada kelas pertama. Fungsi benteng pertahanan, yang kembali pada kelas kedua, serta pusat produksi, yang kembali pada kelas ketiga. Dengan Trifungsi yang disebutkan Plato ini berfungsi, maka niscaya terbentuklah suatuĀ  cita-cita bersama yang disebut "negara sejahtra berkeadilan" (David Meeling; Understanding Plato).

Menjadi Pemimpin
Plato telah membagi kelas sosial yang bertugas secara terpisah dalam masyarakat. Maka dari sini pula ia perlu mengajukan syarat, kelas mana yang paling layak menjadi pemimpin sebuah polis. Dan Plato tak ragu, bahwa pilihannya jatuh pada kelas yang pertama, yaitu— kelas filosof. Dengan kata lain, kelas yang paling berhak menjadi Pemimpin adalah filosof. Merekalah yang membimbing masyarakat ke arah harmoni dan kebebasan yang sejati. Di mata Plato hanya seorang Filosof yang memenuhi syarat yang disebut di atas. Sifat dan sikap seperti itu membuat pemimpin mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dihindari, karena nilai-nilai keutamaan inilah yang dijadikannya sebagai prinsip dalam memimpin nafs.

Dengan kemampua