Opini

Ketika Kekuasaan Memasuki Wilayah Agama

NU Online  ·  Selasa, 9 November 2004 | 15:30 WIB

Oleh Aguk Irawan MN

Apakah anda termasuk yang mengikuti salat terawih di Masjid Istiqlal Jakarta, pada minggu malam, 31 Oktober 2004? Jika jawabannya; iya! Maka pasti anda juga mendengar ceramah agama dari Bapak Prof DR. H.M Bambang Pranowo yang bertajuk “Nuzulul Qur’an dan Lailatul Qadar”.  Kemudian, kalau anda benar-benar menyimak dengan seksama isi ceramah beliau menjelang salat terawih. Maka saya berani memastikan, anda pasti terusik dan merasa ada sesuatu yang tak ‘beres’ dalam isi ceramah beliau, apalagi jika dikaitkan dengan kontek tema malam itu. Sebuah tema yang cukup memukau “Malam Nuzulul Qura’an”.

<>

Supaya agak lebih jelas, barangkali saya perlu memberi contoh kalimat yang mengusik tersebut dan membuat banyak kejanggalan di hati audian, termasuk saya. Begini sekurang-kurangnya perkataan bapak penceramah seorang Profesor dan Doktor tersebut:

 “Indonesia  telah diberi adab dan cobaan  yang luar biasa dengan kelima mantan Presiden kita, yang telah ditakdirkan untuk melanggar ke lima sila dasar negara kita. Presiden pertama Soekarno telah melanggar sila pertama Ketuhanan yang maha Esa, dengan bukti telah memasukkan ajaran komunis di bumi pertiwi, dan menjadi salah seorang tokoh yang ingin mengubah dasar negara kita menjadi anti Tuhan. Presiden kedua Soeharto telah melanggar sila ke dua Kemanusiaan yang adil dan beradab. Dan Soeharto jelas-jelas tidak biadab dan berprikemanusiaan, dengan terbukti korupsi yang berjumlah besar. Presiden ke tiga BJ Habibie telah melanggar sila ke tiga Persatuan Indonesia, dengan terbukti memisahkan Timor-Timor dari NKRI, bahkan boleh jadi kalau Habibi terus berlanjut maka Aceh, Ambon, Palembang, Sulawesi bisa-bisa senasib dengan Timor-Timor. Presiden ke empat KH Abdurahman Wahid telah melanggar  sila ke empat Kerakyatan yang dipimpin olerh hikmat dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dengan terbukti telah membekukan DPR/MPR dengan dekritnya. Presiden ke lima Megawati telah melanggar sila ke lima Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, terbukti sudah Mega tak memiliki sense yang sosialis dan merakyat. Maka kelima mantan Presiden kita telah berakhir secara SYUUL KHATIMAH”

Kalau anda seorang da’i yang baik, dan mengerti secara betul tata cara berdakwah dihadapan muda’i  sudah barang tentu kaget, mendengar kata-kata ‘provokatis’ diatas. Dan tentu segera menjawab sebuah soal: Apa benar dengan cara berdakwah yang memojokkan seperti itu? ‘efesien’ untuk merubah prilaku masyarakat. Belum lagi perlu kita perdebatkan arti ‘Syuul Khatimah’ baik secara syar’i dan tauhid. Maka perkataan demikian sangatlah berani dan jauh dari etika berdakwa yang baik.

Sedang kalau anda seorang nasionalis dan sejarahwan, tentu jauh lebih kaget dan ‘risih’ mendengar sebagaimana contoh kalimat diatas. Soekarno seorang pejuang dan mempunyai jasa yang luar biasa pada negeri ini, sebagai orang pertama peletak batubata Indonenesia, telah dianggap  gampang ‘menodai’ Pancasila.  Di lain sisi sejarah komunis di Indonesia adalah sejarah yang membelit dan berliku yang sampai sekarang belum selesai ditulis oleh sejarahwan, meskipun ratusan buku telah berhasil ditulisnya, dan tentu sangat mengherankan sekali bila Bapak Bambang memberi kesimpulan yang naif seperti itu. Belum lagi Seoharto, BJ Habibie, Abdurahman, dan Megawati, yang meski mempunyai kelemahan, tentu tak bisa dielakkan keberadaanya dalam membangun Indonesia ini.

***

Namun, ada pikiran lain, setelah kemudian saya melihat draf  penceramah di Masjid Istiqlal. Bahwa Bapak Bambang adalah salah seorang staf Menteri Pertahanan Kabinet SBY. Dan tidak hanya Bambang, tapi banyak sejumlah pejabat lain yang hampir memenuhi jadwal penceramah di Masjid Istiqlal. SBY sebagai Presiden ke enam tentu sudah tidak kebagian jatah dalam pelanggaran Pancasila, sebab butir pancasila hanya lima sila. Bahkan kelak entah berbuat apapun, SBY tetap menjadi Presiden yang paling suci dari ke lima mantan Presiden kita. Maka berangkat dari fenomena ini barangkali bisa kita menarik benang merah. Bahwa pemerintahan baru kepemimpinan SBY secara sembunyi telah memasuki wilayah agama dengan tujuan melegitimasi dan memperkuat kekuasaannya. Hal ini tentu dengan gampang bisa kita sandarkan pada banyaknya para pejabat negara yang tidak begitu mendalami agama [baca; buka ulama] menjadi orang terdepan di komunitas agama, sebagaimana yang terjadi di Istiqlal hari-hari ini. Masjid tempat bersandar sejuta ummat Islam.

Kenapa ini bisa terjadi, padahal jelas-jelas islamlah yang menjadi taruhan? Max Weber dalam sebuah teori sosialnya menjelaskan. Bahwa agama adalah alat yang paling efektif untuk meligiti