Balitbang Kemenag

Indonesia Negara Berasaskan Prinsip Utama dalam Islam

Sel, 9 November 2021 | 10:30 WIB

Indonesia Negara Berasaskan Prinsip Utama dalam Islam

Pandangan umat Islam di Indonesia menerima Pancasila adalah sesuai dengan prinsip-prinsip dari ajaran Islam. (Foto: dok NU Online)

Dasar negara Indonesia bukan hanya tidak bertentangan Islam, tetapi justru di dalamnya telah mencecap prinsip-prinsip utama dalam Islam. Semua itu dibangun oleh para pendiri bangsa yang komitmennya dengan Islam tidak perlu diragukan.


Hal itu diungkap dalam penelitian berjudul Nasionalisme dan Islam di Indonesia Belajar dari Pandangan Bakri Syahid dalam Tafsir Al-Huda yang dilakukan tahun 2020. Penelitian dilakukan Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan, dan Menajemen Organisasi pada Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI.
 

Menurut peneliti, Indonesia menjunjung tinggi Pancasila sebagai ideologi  negara dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar bernegara dengan tujuan membentuk masyarakat yang religius, adil, makmur dan sejahtera. 
 

Para peneliti melaporkan bahkan konsep kebangsaan yang tersebutkan dalam empat pilar negara dan prinsip negara ditolak oleh beberapa kepentingan. Dengan anggapan melalui hal tersebut NKRI disebut sebagai negara kafir, Pancasila sebagai taghut. Semuanya tidak ada acuan dasar dan panduannya.

 

"Gerakan Islam transnasional, Hizbut Tahrir Indonesia secara politik diberi izin oleh Pemerintah RI untuk menggugat politik kenegaraan digugat. Melalui proyek khilafah islamiyah yang mereka usung, prinsip dasar dan pilar kenegaraan indonesia ditolak. Menyatakan NKRI sebagai negara kafir, Pancasila sebagai taghut atas dasar bahwa semuanya tidak ada panduan dan dalilnya,” tulis para peneliti.
 

Para peneiliti juga menyebutkan melalui tiga pandangan Bakri Syahid dalam melihat kejadian tersebut. Pertama, sebagai aktivis Muslim yang hidup dan bekerja dalam pemerintahan orde baru, ia melakukan peneguhan tentang pancasila dan negara Indonesia melalui pola dan pendekatan yang integral dengan ayat-ayat al-qur’an. Pandangan tersebut sangat relevan dalam membangun landasan epistimologis dan ontologis untuk memberikan jawaban terhadap sebagian aktivis muslim yang mengklaim melalui pernyataan diatas.
 

Kedua, diskusi tentang islam dan dasar negara yang dielaborasikan dalam kerangka tafsir Al-Qur'an. Perspektif yang digunakan dan hubungannya dengan kerangka keilmuan tafsir menjadi penting bagi pemikiran umat islam di Indonesia. Dalam konteks tentang diskursus dasar negara yang seringkali dihadap-hadapkan dengan islam atau al-qur’an ini penting digali untuk memperoleh jawabannya melalui kerangka tafsir Al-Qur’an.


Ketiga, Tafsir Al-Huda ditulis oleh Bakri sejak tahun 1970 dan dipublikasikan pada tahun 1979, pada era itu, kebijakan asas tunggal Pancasila belum lahir dan hubungan umat Islam dngan pemerintah rezim Orde Baru, lebih banyak disesaki oleh ketegangan, bersifat antagnistik, berhadap-hadapan, dan karena itu pemerintah cenderung tidak akomodatif terhadap kepentingan-kepentingan umat islam.

 

Situasi psikis sebagian besar umat Islam pada era itu masih diliputi oleh hasrat yang memuncak untuk menjadikan islam sebagai ideologi dan dasar negara dan pada saat yang sama rezim orde baru melakukan praktik kuasa secara otoriter dan hegemonik terhadap rakyat dan umat islam demi stabilitas sosial politik.


Pandangan politik Indonesia mengalami gelombang yang tidak linear. Di tengah-tengah provokasi yang didorong oleh sekelompok gerakan Islam transnasional, seperti para aktivis HTI (Hizbut Tahrir Indonesia). Sebelum dibubarkan Pemerintah RI, peneguhan bahwa islam tidak bertentangan dengan Pancasila dan konsep kebangsaan melalui pilar kenegaraan merupakan hal yang niscaya. Untuk bagaimana memberikan penjelasan konkret secara relevansi dalam ruang politik Indonesia di era milenial.


Para peneliti juga menyebutkan agar tercipta kesadaran konseptual, ilmiah dan historis, harus ada sosialiasi hal ini secara massif kepada generasi milenial. Tujuannya agar mereka tidak dirasuki nutrisi-nutrisi yang bisa menghancurkan pemahamannya.
 

Penulis: Muhammad Nur Haris
Editor: Kendi Setiawan