Peneliti Rekomendasikan SDM Paham Sejarah dan Budaya untuk Jaga Moderasi Beragama
NU Online · Senin, 15 November 2021 | 07:15 WIB
Kendi Setiawan
Penulis
Kementerian Agama perlu mempertimbangkan Sumber Daya Manusia yang paham tentang kajian, sejarah, budaya, bahasa lokal dan seni kedaerahan sebagaimana yang diamanatkan UU Pemajuan Kebudayaan No. 5 Tahun 2017.
Demikian salah satu rekomendasi dari penelitian Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama tahun 2020 berjudul Moderasi dan Tradisi Keagamaan di Rumah Ibadah Bersejarah. Para peneliti, Masmedia Pinem dan Dede Burhanudin dalam policy brief penelitian mereka mengungkapkan Indonesia memiliki banyak rumah ibadah bersejarah yang terletak di berbagai kota dan daerah, hampir semuanya menujukkan adanya pengaruh yang kental baik dari dalam maupun dari luar tradisi keagamaannya.
Peneliti juga memberikan rekomendasi agar Pemerintah, khususnya Kementerian Agama, menganggap kerukunan beragama sebagai masalah global, bukan hanya masalah internal bangsa Indonesia. "Budaya dan tradisi dan nilai-nilai moderasi yang ada pada rumah ibadah dapat menjadi contoh dan lokal wisdom yang terus dipromosikan ke dalam dan luar negeri," tulis peneliti.
Kemudian, Pemerintah Daerah baik Provinsi, Kota/Kabupaten, didorong untuk terus memfasilitasi pertemuan antar umat beragama lewat berbagai jalur seperti FKUB, Ormas sosial keagamaan dan sebagainya untuk merajut persaudaraan sebangsa dan setanah air tanpa membedakan agama, suku, dan etnisnya.
Kementerian Agama, lanjut peneliti, baik di pusat dan daerah perlu memberikan perhatian khusus kepada nilai-nilai moderasi yang ada pada rumah ibadah dengan memberikan ruang bagi adanya kajian dan pemahaman untuk melestarikan kearifan lokal dan tradisi keagamaan di masing-masing lokasi/wilayah.
Tak kalah penting, Kementerian Agama perlu melakukan upaya-upaya pelestarian kebudayaan, dalam bentuk pencatatan dan pemutakhiran data rumah ibadah bersejarah. Pasalnya, tidak sedikit rumah ibadah tersebut sudah punah dan akan punah karena kondisinya yang mengkhawatirkan.
Penelitian dilakukan kepada 31 rumah-rumah ibadah bersejarah yang tersebar di Sumatera Utara, DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur. Adapun yang menjadi sampel dari penelitian ini meliputi rumah ibadah bersejarah dalam beragam tradisi agama, seperti Masjid (Islam), Gereja (Katolik dan Protestan), Vihara (Buddha), Vihara Tridarma, dan Klenteng, semuanya membuktikan bahwa masalah perbedaan bisa diselesaikan dengan merajut tradisi keagamaan, dan mengusung tradisi lokal dan kearifan lokal.
Penelitian ini berkesimpulan bahwa setidaknya ada tiga faktor yang dapat kita petik sebagai pelajaran dalam pembentukan rumah-rumah ibadah bersejarah di masa silam. Pertama, adanya nilai-nilai toleransi yang tercermin pada rumah ibadah bersejarah; terdapat nilai-nilai kerukunan yang melekat pada rumah ibadah bersejarah; dan kuatnya nilai akulturasi dan pemahaman local wisdom yang turut mempengaruhi pembangunan dan pelestarian rumah ibadah bersejarah di berbagai kota dan daerah di Indonesia.
Penulis: Kendi Setiawan
Editor: Musthofa Asrori
Terpopuler
1
Soal Tambang Nikel di Raja Ampat, Ketua PBNU: Eksploitasi SDA Hanya Memperkaya Segelintir Orang
2
Khutbah Jumat: Mempertahankan Spirit Kurban dan Haji Pasca-Idul Adha
3
Meski Indonesia Tak Bisa Lolos Langsung, Peluang Piala Dunia Belum Pernah Sedekat Ini
4
Ketum PBNU Buka Suara soal Polemik Tambang di Raja Ampat, Singgung Keterlibatan Gus Fahrur
5
Pentingnya Kematangan Pola Pikir dan Literasi Finansial dalam Perencanaan Keuangan
6
PBNU Rencanakan Indonesia Jadi Pusat Syariah Dunia
Terkini
Lihat Semua