Balitbang Kemenag

Menengok 100 Pesantren yang Kembangkan Kemandirian Ekonomi

Rab, 17 November 2021 | 08:00 WIB

Menengok 100 Pesantren yang Kembangkan Kemandirian Ekonomi

Dayah Najatul Fata di Blee Bruek, Aceh Besar, Provinsi Aceh. (Foto: Balitbang Kemenag)

Dayah Najatul Fata merupakan salah satu pesantren dengan potensi ekonomi di Aceh. Pada tahun 2020, Dayah Najatul Fata memiliki 120 santri yang 85 orang di antaranya merupakan santri mukim. Dayah ini beralamat di Desa Monmata, Kelurahan Glee Bruek, Kecamatan Lhoong, Aceh Besar, Aceh.


Lokasi pesantren bisa dikatakan cukup strategis karena berada dekat dengan pemukiman warga masyarakat dan kantor kecamatan. Akses menuju pesantren mudah dijangkau karena dilalui kendaraan umum mengingat letaknya dekat dengan jalan raya.


Untuk menuju pusat perniagaan, warga pesantren cukup menempuh jarak 500 meter dari pesantren. Lokasi pesantren ini juga dekat dengan daerah wisata sehingga cocok untuk usaha yang terkait wisata.


Ada beberapa lini usaha yang dikembangkan untuk kemandirian pesantren. Beberapa di antaranya yakni koperasi, industri rumahan, pertokoan, pertanian, perkebunan, perikanan, dan peternakan. Pesantren ini juga memi liki koperasi simpan-pinjam dengan usaha warung serba ada (waserda).


Selain itu, pesantren memiliki lahan pertanian yang ditanami padi seluas satu hektar dan lahan seluas dua hektare yang ditanami sayur-sayuran. Peternakan juga dimiliki pesantren ini dengan 16 sapi.


Tak hanya itu, pesantren mempunyai tempat pembudidayaan udang vaname, udang yang berasal dari wilayah subtropis, terkenal dengan daging yang empuk dan memiliki proses budidaya yang cepat.


Demikian poin-poin pada profil Dayah Najatul Fata Aceh Besar Mandiri dengan Udang Vaname, salah satu pesantren yang diangkat dalam buku 100 Pesantren Ekonomi yang diterbitkan Balitbang Diklat Kemenag RI 2021.


Usaha ekonomi
Kepala Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan, Hj Sunarini pada pengantar buku tersebut mengungkapkan salah satu aspek dalam pengelolaan dan pengembangan pesantren masa sekarang adalah kemampuan lembaga membiayai kebutuhan operasional pendidikan yang tinggi secara mandiri dengan cara mendirikan berbagai usaha ekonomi.


Sejak era 70-an, sebut Sunarini, pesantren ditengarai mulai mengenal praktik keterampilan sebagai usaha ekonomi. Selanjutnya, pada dekade 90-an kegiatan pengembangan usaha ekonomi di pesantren mulai diposisikan sebagai aspek penting dan strategis yang digunakan untuk mendukung kontinuitas kemandirian lembaga demi kelancaran proses pendidikan.


Hal ini dirasakan setelah melihat kecenderungan jumlah santri yang terus meningkat sehingga dianggap sebagai potensi pasar yang besar dari sisi kebutuhan ekonomi, dan menuntut adanya model pengelolaan pendidikan yang lebih relevan.


Karena itu mulai dikenal beberapa pesantren yang mengembangkan berbagai jenis usaha, mulai dari peternakan, pertanian (agrobisnis), perdagangan, kerajinan tangan, dan jasa. Sumber daya manusia (SDM) pesantren baik ustadz maupun santri terlibat secara aktif, sebagai pengelola sekaligus pengguna.


Sementara itu Husen Hasan Basri, salah satu tim penyusun buku menjelaskan buku berjudul 100 Pesantren Ekonomi adalah hasil dari program pemetaan. Diawali dari kegiatan focus group discussion (FGD) validasi data pesantren.


Pada tahap ini, dilakukan pembahasan instrumen pilot project pengembangan ekonomi pesantren, sekaligus menetapkan pesantren sasaran pilot project sesuai kriteria yang ada dalam instrumen. Juga dilakukan pembahasan instrumen untuk memvalidasi data pesantren yang dijadikan sasaran pilot project.


“Selain itu, dilakukan pula pengolahan dan seleksi data sebanyak 6.620 pesantren yang dihasilkan dari survei pemetaan pesantren pada tahun 2020. Data inilah yang akan dimasukkan dan divisualisasi dalam dashboard data ekonomi pesantren. Tahap selanjutnya adalah sosialisasi dan validasi data,” tulis Husen, sapaan akrabnya.


“Pada tahap ini, dilakukan sosialisasi sekaligus validasi data terhadap sejumlah pesantren sasaran pilot project yang sudah ditetapkan pada tahap sebelumnya. Sosialisasi dan validasi data dilakukan pada sejumlah provinsi, yaitu: Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, Lampung, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Bali, Sulawesi Selatan, dan Aceh,” sambungnya.


Kegiatan finalisasi draf instrumen pengembangan potensi ekonomi pesantren dilakukan di Bogor, Jawa Barat. Pada tahap ini, dilakukan pembahasan hasil validasi data sejumlah pesantren sasaran pilot project.


Finalisasi instrumen
Hasil pembahasan validasi data tersebut kemudian dijadikan bahan untuk memfinalisasi instrumen pengembangan potensi ekonomi pesantren. Setelah itu ditetapkan pesantren piloting.


Penetapan pesantren dilakukan melalui tiga pertimbangan, yaitu hasil seleksi, database pesantren ekonomi Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan, dan hasil pemilihan tim Peta Jalan Kemandirian Pondok Pesantren Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren.


Sebagai Langkah awal ditentukan 300 pesantren piloting. Melalui berbagai diskusi panjang baik dengan internal tim peneliti maupun dengan tim Peta Jalan Kemandirian Pesantren dipilih 100 pesantren piloting.


Profiling 100 pesantren piloting ini, kata Husen, dilakukan para peneliti melalui beragam cara dari mulai observasi langsung ke pesantren sampai penelusuran melalui online.


“Buku yang ada di hadapan pembaca ini sejak awal dimaksudkan untuk merespons kebutuhan tim peta jalan kemandirian pesantren yang dalam tahun 2021 ini memiliki beberapa agenda program,” terangnya.


Agenda tersebut yaitu launching Pesantrenpreneur, dashboard Data Ekonomi Pesantren, dan piloting Program 100 Pesantren. Sementara untuk tahun 2022, ada beberapa program seperti launching 100 BUM-Pes, launching Gerakan Santripreneur, launching Platform Digital Ekonomi Pesantren, dan Replikasi 500 Pesantren.


Kemudian pada 2023, akan diagendakan program Pesantren Community Economic Hub yang meliputi launching Pesantren Community Economic Hub, launching Communities of Practice, dan Replikasi 1500 Pesantren.

 

Dari program tiga tahun itu akan bermuara kepada Tahun Kemandirian Pesantren Berkelanjutan pada tahun 2024 dengan terwujudnya replikasi model kemandirian pada 1500 pesantren.


Karena itu, Buku 100 Pesantren Ekonomi diharapkan menjadi entry point dan ilham dalam mewujudkan replikasi model kemandirian pesantren. Karena dengan buku ini, setiap pesantren sadar dan ingat bahwa pesantren itu berdaya secara ekonomi sekaligus memberdayakan. Tidak sekedar Pesantren Maju, Santri Berdaya.


“Dengan demikian, pesantren ke depan diharapkan mampu menjadi basis arus baru ekonomi umat," tegas Husen.


Penulis: Kendi Setiawan
Editor: Musthofa Asrori