Balitbang Kemenag

Pola Kerukunan Tiga Umat Beragama di Lombok Utara

Sel, 16 November 2021 | 03:45 WIB

Pola Kerukunan Tiga Umat Beragama di Lombok Utara

Pertemuan Kemenag Lombok Utara dan pemuka agama di Vihara Budhavamsa (Foto: klu.kemenagntb.com)

Salah satu penelitian oleh Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI tahun 2020 berjudul Pengembangan Model Kerukunan Hidup Antara Umat Islam, Hindu, dan Budha di Pulau Lombok: Studi Sosio-Antropolinguistik.


Para peneliti, Burhanuddin dan Saharudin dalam laporan penelitiannya menjelaskan penelitian bertujuan menjelaskan dua aspek, yaitu pola kerukunan dan model kerukunan antara umat Hindu-Islam dan umat Budha Islam. Aspek yang ingin dijelaskan pada pola adalah aspek nonverbal dan aspek verbal.


“Aspek nonverbal berkaitan dengan perilaku atau aktivitas suatu masyarakat atau individu dalam kerangka menjaga kerukunan antara umat beragama. Adapun aspek verbal menyangkut gejala kebahasaan yang mencerminkan perilaku kerukunan atau penyesuaian antara suatu umat dengan umat lain,” tulis peneliti.


Kemudian dijelaskan bahwa secara metodologis penelitian tersebut mengambil objek masing-masing dua daerah pengamatan atau pemukiman umat Hindu, Budha, dan Islam yang ada di Kabupaten Lombok Utara. Ketiga umat beragama di daerah tersebut, menurut peneliti, sejak bertahun bahkan berabad-abad telah mampu hidup rukun, damai, serta harmonis.


Umat Hindu telah diambil datanya pada masyarakat yang tinggal di Karang Swuele dan Karang Jero. Umat Budha diambil datanya pada masyarakat yang tinggal di Dusun Tebango dan Luk Pasiran-Karang Lendang. Data dikumpulkan menggunakan metode pengamatan dan wawancara.


Hasil penelitian tersebut mengungkapkan terdapat pola kerukunan harmonis yang terjadi antara umat Hindu-Budha-Islam terdiri atas dua pola perilaku, yaitu perilaku nonverbal dan verbal. Perilaku nonverbal terdiri atas budaya ngejot, budaya catya, budaya saling baet, budaya polong-merenteng, konsep satu asal.


Adapun perilaku verbal adalah  penyerapan dan penggunaan unsur bahasa yang digunakan antara umat beragama, alih kode bahasa dalam berinteraksi antara umat beragama, dan campur kode dalam berinteraksi antara umat beragama.


Peneliti menjelaskan budaya ngejot, yaitu budaya saling membantu, saling memberi, saling bersilaturahmi, saling bersedekah, gotong royong. Budaya saling baet, yaitu budaya perkawinan silang antara umat beragama yang berbeda karena merasa satu atau berasal dari keturunan yang sama, bersaudara.


Budaya polong-merenteng, yaitu budaya yang selalu menganggap mereka bersaudara, berkakak-adik. Kemudian budaya satu asal, yaitu budaya di kalangan para orang tua yang selalu mentransmisi atau mewariskan sejarah kepada generasi (anak-cucu) mereka bahwa mereka antara umat beragama yang berbeda tersebut berasal dari satu.


Budaya sanggah, catya, dan seribu masjid, yaitu budaya ketaatan para pemeluknya menjalankan ibadah atau ajaran agamanya masing-masing. Selanjutnya, penyerapan dan penggunaan unsur bahasa pemeluk lain sebagai salah satu sarana untuk menyesuaikan diri dengan umat beragama lain.


Budaya lainnya yang juga menyatukan umat beragama di daerah penelitian adalah alih kode, yaitu penggunaan bentuk bahasa lawan tutur secara utuh ketika berhadapan atau bertemu dengan pemeluk/umat agama tersebut. Campur kode, yaitu mencampurkan kode bahasa pemeluk atau umat beragama tersebut dengan bahasa pemeluk/umat agama lain dalam berinteraksi antara umat beragama lain.


Kaitan dengan pola dan model kerukunan tersebut, menurut peneliti ada beberapa kebijakan yang perlu diambil oleh para pihak (stakeholder) agar pola kerukunan dapat terus tumbuh dan berkembang.


Pertama, relegitimasi (penguatan legitimasi) tata nilai aji karma adat dalam konteks pembudayaan saling-baet dan polong-merenteng. Kedua, pelembagaan budaya saling-baet dan polong-merenteng, mengingat musyawarah mufakat untuk harus dilakukan oleh mereka yang memiliki kewibawaan, pengakuan/legitimasi, serta intelektualitas dalam bernegosiasi.


“Ketiga, penguatan modal sosial melalui penerapan fungsi fasilitasi-koordinasi oleh pemerintah secara formal sehingga budaya ngejot dapat dipertahankan, akibat derasnya arus global yang cenderung individualis, praktis, serta mengikis tatanan sosial,” ungkap para peneliti.


Penulis: Kendi Setiawan
Editor: Musthofa Asrori