Opini

Tak Bisa Mengelak Lagi, Negara Wajib Biayai Pendidikan Dasar Termasuk di Swasta 

NU Online  ·  Jumat, 30 Mei 2025 | 14:53 WIB

Tak Bisa Mengelak Lagi, Negara Wajib Biayai Pendidikan Dasar Termasuk di Swasta 

Gedung Mahkamah Konstitusi di Jakarta. (Foto: NU Online/Suwitno)

Di tengah stagnasi kebijakan pendidikan yang kerap gagal menjangkau realitas sosial, hadirnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 3/PUU-XXII/2024 menjadi tonggak penting dalam perjuangan panjang masyarakat sipil. Putusan ini sakral. Diketok pada bulan 27 Mei, 3 pekan setelah kita peringatkan hari pendidikan nasional. Sebuah keputusan penting yang menyatakan bahwa frasa “wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya” tidak hanya berlaku untuk sekolah negeri, tetapi juga harus dimaknai mencakup sekolah/madrasah swasta selama memenuhi syarat. 


Di balik terobosan putusan tersebut, Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) yang dikoordinatori Abdullah Ubaid Matraji tampil sebagai penggerak utama advokasi, layak diapresiasi sekaligus dikawal langkah lanjutan perjuangannya. Melalui dukungan JPPI, Fathiyah, Novianisa Rizkika, dan Riris Risma Anjiningrum mengajukan permohonan judicial review ke MK.

 

Dalam laman resmi www.new-indonesia.org, JPPI koalisi nasional pendidikan terbesar pertama ini didirikan pada 2009 oleh 17 organisasi masyarakat sipil seperti: LP3ES, PGRI, Lakpesdam NU, P3M, ASPPUK, YBS, Muslimat NU, Yapari, BSK, FISIP UMJ, PPSW, ACE, IHF, JARI, AULIA, BKSPPSI, dan YIS. Kemudian bergabung antara lain: IHCS, Pekka, YSKK, Koloni 1881, Paramuda, Darus Sholihin, LPM Unusia, Praxis, PPRBM, Forum Puan, dan Difabel Action. Jaringan organisasi inilah yang menjadi nyawa dalam gerakan. 


JPPI mengambil peran bukan hanya “pemantau”, melainkan penggerak perubahan kebijakan publik. Permohonan uji materiil yang diajukan JPPI bersama tiga orang pemohon ke MK adalah bukti bahwa masyarakat sipil menyuarakan aspirasi masyarakat, sekaligus mampu memengaruhi lanskap hukum tingkat nasional.


Putusan MK tidak semata-mata bisa dianggap kemenangan teknis di ruang sidang. Keputusan tersebut mencerminkan pengakuan yuridis atas realitas yang selama ini dibiarkan, banyak anak dari keluarga kurang mampu tidak mendapat tempat di sekolah negeri dan dipaksa menanggung biaya pendidikan di sekolah swasta. Padahal, amanat konstitusi tidak membedakan antara sekolah negeri dan swasta dalam menjamin hak warga negara atas pendidikan dasar.


Pendidikan Gratis: Antara Norma dan Realitas
Keputusan MK jadi koreksi terhadap praktik diskriminatif yang justru dilegalkan oleh sistem hukum sebelumnya. Fakta bahwa sekolah swasta telah menampung ratusan ribu siswa karena daya tampung sekolah negeri terbatas memperlihatkan bahwa negara, selama ini, telah membiarkan kesenjangan akses pendidikan. Dengan putusan ini, negara tak lagi bisa bersandar pada asumsi bahwa pendidikan gratis cukup disediakan di sekolah negeri.


Namun, tantangan sesungguhnya baru dimulai. MK menegaskan bahwa pembiayaan pendidikan dasar di sekolah swasta tetap harus selektif dan afirmatif. Sekolah swasta yang ingin menerima subsidi negara harus memenuhi kriteria akuntabilitas dan pengelolaan yang baik. Di sinilah persoalan mendasar muncul: bagaimana merumuskan standar yang adil, tanpa mengulang pola diskriminasi yang sama dalam bentuk baru?


Putusan MK menegaskan negara wajib menjamin pendidikan dasar tanpa memungut biaya, baik di sekolah negeri maupun swasta, selama memenuhi syarat. Namun, tanpa peraturan pelaksana yang jelas, putusan ini akan kehilangan daya paksa.


Oleh karena itu, pemerintah pusat dan daerah perlu segera menyusun peraturan turunan, baik dalam bentuk peraturan pemerintah, peraturan menteri, atau petunjuk teknis, yang memuat setidaknya kriteria sekolah/madrasah swasta penerima subsidi, mekanisme pengajuan, penyaluran, dan pelaporan anggaran pendidikan.


Skema afirmatif untuk wilayah dengan keterbatasan sekolah negeri harus didukung data yang kredibel. Regulasi ini harus disusun partisipatif, dengan melibatkan organisasi masyarakat sipil seperti JPPI dan jaringan masyarakat sipil yang fokus pada pendidikan, agar responsif terhadap realitas sosial.


Pertimbangkan pengalihan fokus anggaran dengan memprioritaskan pendidikan dasar, bukan jadi proyek yang elitis. Selama ini, alokasi anggaran pendidikan kerap tersedot pada proyek infrastruktur besar, pelatihan yang tidak berdampak, atau kebijakan digitalisasi yang belum menyentuh kebutuhan pokok siswa. Putusan MK seharusnya menjadi momentum pergeseran paradigma anggaran.


Artinya, 20% anggaran pendidikan dari APBN dan APBD harus diarahkan kembali menjamin akses dan kualitas pendidikan dasar secara inklusif, termasuk satuan pendidikan swasta yang jadi penopang di banyak wilayah terpencil dan padat penduduk.


Jika anak-anak harus tetap membayar untuk mengakses pendidikan dasar hanya karena sekolahnya swasta, maka kita gagal memenuhi amanat konstitusi, tak peduli seberapa besar anggaran yang digelontorkan negara.


Perlu memikirkan adanya skema bantuan operasional sekolah yang adil dan transparan bagi swasta. Tidak semua sekolah swasta sama. Ada yang dibangun sebagai bisnis, ada pula yang hadir sebagai solusi komunitas di wilayah tanpa sekolah negeri. Karena itu, subsidi atau bantuan biaya pendidikan negara harus berbasis kebutuhan dan kapasitas. Ubaid Matraji menandaskan, bahwa transformasi sistem pembiayaan pendidikan harus segera dilakukan demi menjamin tidak ada lagi anak putus sekolah atau ijazah ditahan karena biaya. “Ketentuan sudah jelas, pendidikan adalah hak warga negara, bukan beban,” tegasnya.


Negara perlu membangun mekanisme seleksi yang objektif terhadap sekolah swasta penerima subsidi, yang mempertimbangkan: Lokasi dan aksesibilitas sekolah, latar belakang ekonomi siswa, akuntabilitas tata kelola sekolah dan kesediaan membuka ruang bagi siswa dari keluarga kurang mampu.


Dengan skema seperti ini, subsidi negara tidak jatuh ke sekolah elit yang sebenarnya tidak membutuhkan bantuan, tapi justru memperkuat sekolah rakyat yang selama ini menopang sistem pendidikan di wilayah marginal.


Partisipasi masyarakat harus terus ditingkatkan. Memperkuat sistem akuntabilitas dan pengawasan penggunaan dana pendidikan adalah kunci utama agar dana bantuan operasional pendidikan tidak disalahgunakan, maka perlu dibangun sistem audit dan transparansi yang terbuka bagi publik. Setiap sekolah penerima dana bantuan harus memiliki mekanisme pelaporan yang sederhana tapi akurat, dan dapat diakses dan mudah dipahami para wali murid serta masyarakat.


Di sinilah peran organisasi masyarakat sipil seperti JPPI jadi sangat penting. Organisasi masyarakat dapat menjadi mitra dalam melakukan pemantauan, edukasi masyarakat, hingga pendampingan teknis bagi sekolah-sekolah yang belum terbiasa dengan sistem pengelolaan anggaran yang akuntabel.


Tentu, sosialisasi tidak bisa sekali-sekali tapi terus menerus. Kampanye publik tentang hak atas pendidikan dasar gratis adalah bagian dari literasi dalam partisipasi publik. Masyarakat adalah mata dan telinga jalannya pembangunan. Meskipun putusan MK telah mengikat secara hukum, tanpa kampanye publik yang masif, masyarakat boleh jadi tetap tidak tahu bahwa mereka berhak atas pendidikan dasar gratis, bahkan di lembaga pendidikan swasta.


Oleh karena itu, pemerintah bersama organisasi masyarakat sipil perlu sinergi kampanye informasi baik daerah maupun nasional menyosialisasikan putusan MK ini. Memastikan tujuannya bukan hanya memberi tahu, tetapi juga mendorong masyarakat agar berani menuntut hak dan melaporkan pelanggaran jika ada pungutan liar.


Jalan Masih Panjang
Putusan MK ini adalah awal dari babak baru perjuangan hak pendidikan gratis bangsa ini. Apresiasi pantas diberikan kepada JPPI dan seluruh pihak yang berani melawan status quo hukum dan birokrasi. Namun, tugas besar menanti, memastikan bahwa kemenangan ini tidak jadi dokumen yuridis yang tersimpan di almari negara, tapi bisa diimplementasikan di seluruh sekolah dasar. Saatnya kelas-kelas belajar terbuka lebar bagi semua anak Indonesia.


Putusan MK adalah langkah maju, tetapi langkah tersebut tidak akan berarti jika tidak segera diikuti oleh kebijakan konkret dan sistem pendukung yang kuat, apalagi pemerintah juga sedang memproses revisi UU Sisdiknas. Ini perlu sinkronisasi aturan. Negara tidak boleh berhenti pada pernyataan normatif. Ia harus mewujudkan hak pendidikan dasar gratis sebagai kenyataan yang dirasakan setiap anak, tanpa kecuali.


Kini saatnya seluruh elemen bangsa bergandengan tangan: pemerintah, DPR, pemerintah daerah, lembaga pendidikan, dan masyarakat sipil, agar tidak satu anak pun tertinggal hanya karena mereka lahir dari keluarga kurang mampu atau hidup di pelosok kampung tanpa sekolah negeri.


Dan untuk itu, kita harus jujur mengatakan, tanpa JPPI dan gerakan masyarakat sipil, putusan ini mungkin tidak akan pernah lahir. Kini, giliran negara menindaklanjutinya dengan berani dan adil.


Abi S Nugroho, anggota pengurus Lakpesdam PBNU