Risalah Redaksi

Menyejahterakan Guru Honorer, Meningkatkan Kualitas Pendidikan Indonesia

Ahad, 29 November 2020 | 12:00 WIB

Menyejahterakan Guru Honorer, Meningkatkan Kualitas Pendidikan Indonesia

Peningkatan mutu pendidikan di Indonesia dapat dilakukan dengan memberi kepastian status dan perbaikan kesejahteraan guru honorer.

Hari Guru pada 25 November 2020 ditandai dengan kado menggembirakan berupa pengumuman  bahwa pemerintah akan mengangkat sejuta guru honorer sebagai pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK). Kebijakan ini diharapkan mampu mengurai karut-marut persoalan tata kelola guru yang sudah berlangsung puluhan tahun. Aksi protes dan demo telah berulang kali dilakukan oleh para guru honorer untuk memperjuangkan nasibnya. 


Wakil Presiden RI KH Ma’ruf Amin menyatakan pemerintah melihat pemanfaatan guru honorer tanpa status yang jelas telah merugikan para guru honorer. Dengan demikian, seleksi PPPK secara objektif dan terbuka untuk memenuhi kebutuhan guru menjadi awal penyelesaian status guru honorer. Kemdikbud memastikan bahwa proses seleksi tersebut akan berlangsung secara transparan, akuntabel, efektif, efisien, dan terintegrasi.


Terdapat beberapa terobosan dalam seleksi guru honorer ini dibandingkan pelaksanaan tes PPPK sebelumnya yang memberi peluang lebih besar menjadi ASN. Pertama, terkait dengan jumlahnya. Kemdikbud memberi alokasi sampai dengan satu juta formasi. Pemerintah daerah diminta untuk mengajukan calon sebanyak-banyaknya sesuai dengan kebutuhan guru di sekolah. Namun, yang diangkat adalah yang benar-benar memenuhi standar. Dengan demikian, jika yang memenuhi standar hanya 300 ribu, maka jumlah tersebut yang diangkat. Kebijakan ini bertujuan untuk menjaga kualitas guru yang lolos seleksi sehingga mutu pengajaran terjaga.  


Kedua, peserta dapat mengikuti ujian sampai dengan tiga kali. Jika tidak lolos pada ujian pertama, maka mereka dapat mengikuti ujian di periode berikutnya. Hal ini untuk memberi kesempatan mereka belajar lebih baik mengingat pada kebijakan sebelumnya, kesempatan mengikuti ujian hanya satu kali dalam satu tahun. 


Ketiga, Kemdikbud menyediakan materi ujian untuk dipelajari secara daring. Dengan demikian, semua orang memiliki akses yang sama terhadap materi yang akan diujikan. Kisi-kisi materi sudah jelas, karena itu tinggal kesiapan para peserta untuk menghadapi ujian. Para guru yang menyiapkan diri lebih baik akan memiliki peluang untuk lolos dalam ujian tersebut dibandingkan dengan mereka yang kurang atau sama sekali tidak melakukan persiapan. 


Tak seperti ujian PNS yang dibatasi usia maksimal 35 tahun, tak ada batasan usia bagi guru honorer yang ingin mengikuti ujian PPPK. Batasannya adalah 59 tahun, yaitu satu tahun sebelum pansiun. Mereka yang puluhan tahun menjadi guru honorer tanpa kejelasan nasib bisa memanfaatkan peluang ini untuk meningkatkan pendapatannya. 


Keberadaan guru honorer telah berlangsung sejak era 1990-an ketika banyak sekolah baru didirikan sementara pengangkatan guru PNS terbatas. Tidak terdapat pola resmi pengangkatan guru honorer sehingga kualitasnya juga beragam. Ada yang melalui proses seleksi, ada juga mahasiswa magang yang kemudian setelah lulus diminta menjadi guru di sekolah tersebut, terdapat pula yang karena kedekatan dengan kepala sekolah atau pejabat dinas pendidikan.


Minat masyarakat untuk menjadi guru membludak setelah adanya kebijakan sertifikasi guru yang memberi penghasilan memadai berupa tambahan pendapatan setara satu kali gaji PNS. Bagi yang sudah PNS, maka gajinya akan berjumlah dua kali lipat sedangkan bagi guru swasta, gajinya naik signifikan dengan tambahan tersebut. 


Jurusan keguruan di berbagai perguruan tinggi naik peminatnya. Guru bukan lagi Umar Bakri sebagaimana gambaran sebuah lagu yang populer di era Orde Baru yang nasibnya mengenaskan. Namun, berbagai tunjangan tersebut hanya berlaku bagi guru PNS atau guru swasta yang telah tersertifikasi. Untuk mencapai hal tersebut, butuh perjuangan luar biasa karena besarnya minat menjadi guru sementara anggaran sertifikasi baru setiap tahunnya tidak terlalu besar untuk menjangkau seluruh guru yang ada. 


Daya serap sekolah untuk merekrut para lulusan baru sekolah keguruan pun terbatas akibat minimnya anggaran sedangkan guru honorer yang sudah terlanjur masuk tidak terstandarisasi kualitasnya. Hal ini menjadi masalah bagi kualitas pengajaran, yang akhirnya berujung pada kualitas lulusan. 


Bagi para guru, status honorer dengan ketiadaan masa depan yang jelas serta keterbatasan penghasilan menyebabkan mereka sulit berkembang. Penghasilan yang mereka peroleh sangat terbatas sementara beban mengajarnya sama dengan guru dengan status PNS. Banyak guru honorer yang hanya bergaji 250-500 ribu per bulan. Jangankan untuk mengembangkan pengetahuannya agar terus terbarukan sesuai dengan perkembangan zaman, untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya saja, mereka harus banting tulang mencari penghasilan tambahan. 


Upaya peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia telah menjadi perhatian publik. Pada tahun 2020 anggaran untuk tunjangan profesi baru guru lebih dari 50 triliun. Tetapi dengan jumlah besar tersebut, kualitas pendidikan di Indonesia tak beranjak. Berdasarkan evaluasi Programme for International Student Asessment (PISA) tahun 2018, skor Indonesia dalam membaca, matematika, dan sains bahkan menurun, yaitu berada di peringkat 74 dari 79 negara yang disurvei sementara pada 2015, posisinya di 64 dari 72 negara yang disurvei. Hal ini menunjukkan ada sesuatu yang kurang tepat dalam kebijakan pendidikan di Indonesia.


Peningkatan mutu pendidikan di Indonesia dapat dilakukan dengan memberi kepastian status, perbaikan kesejahteraan, pendampingan dan pelatihan berkelanjutan serta pengawasan yang baik pada para guru. Dengan demikian proses belajar mengajar dapat berlangsung dengan baik, yang akhirnya menghasilkan kualitas lulusan yang baik. Penentuan status para guru honorer yang kompeten adalah bagian dari solusi masalah pendidikan ini. (Achmad Mukafi Niam)