Wawancara

Kualitas dan Perubahan Pola Pikir Guru Kunci Penting Pendidikan Indonesia

Sel, 26 November 2019 | 14:30 WIB

Kualitas dan Perubahan Pola Pikir Guru Kunci Penting Pendidikan Indonesia

Pakar Pendidikan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. (Foto: istimewa)

Setiap tanggal 25 November, Hari Guru diperingati oleh seluruh sivitas akademika pendidikan. Para siswa ramai-ramai menyampaikan tahniah kepada ‘orang tua’ di sekolahnya masing-masing. Beragam cara mereka mengungkapkannya, dengan membawa kue, bunga, dan beragam hadiah lainnya, lengkap dengan ucapan tahniah yang disertai kesan dan harapan kepada gurunya dalam secarik kertas warna-warni.

Pidato Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim viral dijagat maya. Pasalnya, pidato singkat menteri yang masih berusia 36 tahun itu menunjukkan keprihatinan sekaligus langsung meminta agar para guru dapat melakukan sesuatu yang diharapkannya, yakni meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa.

Membaca pidato tersebut, perlu juga melihat kualitas guru Indonesia saat ini untuk dapat memenuhi dan mewujudkan tuntutan Mendikbud. Karenanya, Wartawan NU Online Syakir NF melakukan wawancara dengan Muhammad Zuhdi, seorang pakar pendidikan yang saat ini menjabat sebagai Wakil Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Bagaimana mutu guru hari ini dalam pandangan Bapak?

Mutu guru di Indonesia sangat beragam. Kita banyak memiliki guru yang bagus dan berkualitas, tetapi juga memiliki banyak guru yang harus berjuang untuk meningkatkan kualitas mereka. 

Artinya, masih ada guru yang kualitasnya rendah. Apa saja faktor yang menghambat peningkatan kualitas guru?

Rendahnya kualitas sebagian guru bisa disebabkan oleh beberapa faktor. (1) kualitas pribadi guru, (2) kualitas Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) penghasil guru, (3) minimnya kesempatan meningkatkan kompetensi diri, (4) beban tugas, dan (5) beban ekonomi.

Membaca pidato Mendikbud Nadiem Makarim yang menuntut guru agar mengajak siswa berdiskusi, menemukan bakat mereka, dan bahkan memberikan kesempatan siswanya mengajar di kelasnya, hingga membaut proyek bakti sosial, bagaimana kesiapan para guru Indonesia?

Apa yang diharapkan Mendikbud sangat relevan dengan kebutuhan siswa generasi milenial. Nah, untuk itu perlu ada perubahan mindset (pola pikir) guru. Banyak guru yang merasa sangat bertanggung jawab untuk menyampaikan materi dan pesan-pesan moral ke siswa, lalu sangat dominan di kelas.

Nah, perlu ada proses perubahan mindset bagi mereka agar melihat siswa secara berbeda dan melihat proses belajar dengan perspektif yang baru.

Beberapa sekolah saya lihat sudah menerapkan proyek-proyek sosial, menggali bakat murid dengan beragam kegiatan, bahkan metode everyone is a teacher (setiap individu adalah seorang guru) cukup populer di kalangan sejumlah guru. Ini yang menurut saya perlu dishare ke sekolah-sekolah yang masih mengedepankan belajar konvensional.

Lalu, bagaimana dengan kesiapan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) sendiri, termasuk Fakultas Tarbiyah di dalamnya, menyambut pidato Mendikbud tersebut, khususnya dalam menyongsong pembaruan pendidikan ke depan?

Fakultas Tarbiyah masih harus terus berbenah. Bagaimanapun Fakultas tidak bisa keluar dari regulasi, terutama dalam mengajarkan proses pembelajaran. Jika Mas Menteri menghendaki perubahan proses pembelajaran, maka regulasi Permendikbud tentang proses pembelajaran harus segera direvisi.

Fakultas selalu berupaya melakukan updating terhadap kurikulumnya, sesuai dengan perkembangan global.

Bapak tadi menyebut salah satu faktor rendahnya kualitas guru adalah beban tugasnya. Mendikbud juga menyebut hal itu tanpa manfaat yang jelas. Apa yang harus dilakukan oleh pemerintah terkait bebann administrasi guru yang menghambat kualitasnya?

Mas Menteri sangat benar, beragam beban adminsitrasi yang harus dilakukan guru cukup menyita waktu. Ada dua hal penting yang harus dilakukan.

Pertama, manfaatkan teknologi. Beban administrasi berkaitan dengan perencanaan, proses, dan evaluasi pembelajaran, serta pelaporan hasil pembelajaran. Semuanya bisa disederhanakan dengan teknologi. Rencana, proses dan evaluasi tetap perlu, tetapi harus dalam paradigma menyederhanakan administrasi, bukan sekedar memindahkan dari cetak ke elektronik.

Kedua, pemerintah perlu mengkaji ulang beragam aturan yang sangat membelenggu guru sehingga menghambat administrasi dan berimplikasi pada kualitas. Saya punya contoh satu hal kecil bagaimana administrasi sangat membelenggu.

Setiap ingin naik pangkat, daftar pns, atau daftar guru honorer, salah satu syaratnya adalah legalisir ijazah dari kampus asal. Hal tersebut masih berlaku hingga saat ini. Tidak jarang untuk bisa melegalisir ijazah seorang guru harus meninggalkan kelas dan menempuh perjalanan yang tidak dekat. Terkadang, legalisir tidak bisa selesai satu hari krn banyak orang yang minta pelyanan yang sama di waktu yang sama.

Sebenarnya, persoalan bisa selesai tanpa harus legalisir, tetapi instansi employer memverifikasi langsung ke kampus, atau lewat barcode atau QR code di ijazah, sehingga langsung bisa dicek keasliannya.

Pewawancara: Syakir NF
Editor: Fathoni Ahmad