Oleh: Muslimin
“Jika anda memahami lawan, dan memahami diri sendiri, anda tidak perlu khawatir terhadap beratus-ratus pertempuran.” (SunTzu, 400 SM).
Quote Sun Tzu di atas merupakan quote yang sangat populer dalam dunia militer, yang kemudian diadopsi dalam dunia bisnis dan akademik. Dalam dunia akademik, quote tersebut menjadi salah satu quote dasar dalam pengajaran mata kuliah manajemen stratejik. Manajemen stratejik merupakan ilmu dasar bagaimana perusahaan atau sebuah entitas merumuskan dan mencapai tujuan-tujuan strategisnya.
Poin penting dari quote tersebut adalah memilah faktor-faktor internal/diri sendiri (kekuatan dan kelemahan) dan faktor-faktor eksternal/lawan (peluang dan ancaman). Dengan memahami faktor-faktor ekstenal dan internal tersebut, sebuah entitas dapat merumuskan kebijakan strategis dan langkah-langkah operasionalnya sehingga entitas memiliki positioning strategis dan keunggulan kompetitif dalam peta persaingan industri yang ada.
Terkait dengan diadakannya Silatnas PBNU dan PWNU Seluruh Indonesia yang akan diadakan di Kota Bandar Lampung, 30 Juni-1 Juli 2018, yang dihadiri oleh petinggi-petinggi organisai pusat dan wilayah, merupakan momentum yang cukup strategis untuk merumuskan kebijakan dan agenda strategis organisasi, khususnya dalam implementasi agenda-agenda strategis Islam Nusantara.
Visi besar Islam yang rahmatan lil alamin sudah secara tepat dirumuskan secara empirik dan operasional oleh PBNU melalui platform Islam Nusantara, yang akhir-akhir ini kembali dikritisi, dan terasa cenderung berupa hujatan yang tidak mendasar. Merespon hujatan yang tidak mendasar tersebut, cukuplah bagi jamiyah NU untuk meresponnya dengan kesejukan dan kearifan, atau anggaplah sebagai cubitan-cubitan mesra karena ingin dikasihi dan disayangi, seperti cubitannya orang yang sedang pacaran.
Kembali kepada esensi Islam Nusantara sebagai sebuah platform, jika menilik Kamus Besar Bahasa Indonesia, terdapat dua definsi yang relevan yaitu rencana kerja atau program dan pernyataan sekelompok orang atau partai tentang prinsip atau kebijakan. Lebih jauh, secara akademik, Ciborra (1996), pada Jurnal Organization Science, dalam artikelnya yang berjudul The Platform Organization: Recombining Strategies, Structures, and Surprises, mendefinisikan platform sebagai meta (bentuk khusus) organisasional, sebuah kontek formatif yang menggabungkan struktur-struktur dan aktivitas rutin (atau tradisi) dan mentransformasikannya dalam sebuah bentuk yang dikenal dengan baik; misalnya seperti hirarki, matrik organisasi dan jaringan, yang didasarkan atas kondisi yang volatile atau berubah-ubah.
Dengan pendefinisiannya tersebut, terdapat karakteristik utama dari sebuah platform yaitu, pertama adanya surprise atau kejutan-kejutan positif, kedua, adanya anggota organisasi yang siap kapan pun bergerak, memiliki skill atau pun tidak, untuk melakukan aktivitas-aktivitas perbaikan dan penyesuaian.
Dengan demikian, platform bertujuan merangkai keseluruhan intrumen yang ada dalam sebuah organisasi. Dengan karakteristiknya, platform Islam Nusantara pada prinsipnya adalah sebuah upaya merangkai instrumen yang dimiliki oleh Nahdlatul Ulama untuk melakukan perbaikan terus menerus melalui dakwah Islam yang mengacu pada dakwah Walisanga.
Jika menilik pada dasar didirikannya Nahdlatul Ulama, yang merupakan proses akumulasi yang panjang dari masyarakat pesantren di bidang pendidikan, ekonomi dan sosial politik, setidaknya terdapat konteks formatif yang menjadi napas dari NU yaitu; Nahdlatul Wathan (Kebangsaan); Nahdatut Tujjar (Ekonomi) dan Tashwirul Afkar (Pemikiran). Dengan platform Islam Nusantara, minimal ketiga konteks formatif tersebut dapat menjadi nafas implementasi agenda-agenda Islam Nusantara.
Untuk menguatkan konteks formatif dasar tersebut, dan mengarahkannya pada agenda-agenda strategis, setidaknya terdapat dua hal yang harus dilakukan yaitu merumuskan aspek-aspek internal (kekuatan dan kelemahan) dan eksternal (peluang dan ancaman) organisasi dan merumuskan gugus tugas (task force) program-program kelembagaan.
Sebagai sebuah organisasi keagamaan, NU diakui sebagai organisasi keagaamaan terbesar di Indonesia. Namun demikian, seberapa besar organisasi NU masih membutuhkan penyempurnaan-penyempurnaan ukuran, sehingga kebesaraan NU tidak hanya ditopang oleh besarnya jumlah jamaah, namun diperkuat dengan ukuran-ukuran organisasional lainnya. Dalam konteks inilah penting bagi NU untuk memetakan aspek-aspek kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya, sebagai dasar untuk optimalisasi peluang dan meminimumkan ancaman terhadap eksistensi NU di Indonesia.
Pada tataran pemetaan ini, perlu dilakukan pendataan aspek-aspek internal dan eksternal NU. Dengan berkembangnya teknologi informasi dewasa ini, pendataan terhadap aspek-aspek tersebut tidaklah sulit. Hal ini dapat ditunjang dengan optimalisasi struktur NU dari pusat hingga tingkat ranting.
Pendataan dilakukan sebagai potret diri dari NU secara institusional, sehingga para pengurus NU dapat mendiagnosis secara tepat kebutuhan-kebutuhan organisasi dan jamiyah pada akar rumput, sekaligus mengoptimalkan pemberdayaan potensi SDM dan SDA yang berada dalam jangkauan pengelolaan organisasi, yang ditujukan untuk implementasi program dan agenda Islam Nusantara pada akar rumput NU. Dengan basis akar rumput yang kuat inilah selanjutnya NU dapat go global, tidak hanya dalam bidang keagamaan, namun juga ekonomi, sosial dan budaya.
Terkait dengan gugus tugas atau task force, keberadaannya bersifat ad hoc dan zaken, yang berfungsi sebagai katalis untuk meningkatkan efektivitas struktur oragnisasi yang sudah ada. Keberadaan task force terkait dengan program-program organisasi yang membutuhkan kecepatan gerak dari struktur yang sudah ada, khususnya program yang bersifat nasional dan internasional. Task force dibentuk berdasarkan azas profesionalitas dan keahlian, sehingga anggota task force dapat berasal dari pengurus, jamiyah NU bahkan pihak eksternal yang memiliki visi searah dengan NU. Task force bersifat katalis atau seperti oli, bersifat tidak permanen dan keberadaannya diukur pada realisasi program tertentu.
Dengan demikian, keberadaan task force sama sekali bukan untuk mengeleminir keberadaan kepengurusan struktural yang ada, namun sebagai penunjang efektivitas, sehingga dapat mengintegrasikan struktural NU dengan kebutuhan-kebutuhan jamiyah akar rumputnya. Dampak yang diharapkan dari keberadaan task force ini adalah tidak ada lagi istilah yang menyegmentasikan apa yang banyak disebut sebagai NU Struktural dan NU Kultural.
Terakhir, momentum Silatnas NU di Kota Bandar Lampung selama dua hari, tentu belum dapat menghasilkan out put yang langsung implementatif terkait dengan dua agenda di atas. Sebagai sebuah catatan kecil, hal ini setidaknya dapat menjadi wacana yang dapat didiskusikan lebih lanjut untuk menghasilkan kebijakan organisasional yang mengarahkan infrastruktur NU bergerak dalam aksi-aksi yang lebih nyata sebagaimana tema Silatnas, Transformasi Karya Kata Menuju Karya Nyata. NU, menunggu khidmat kita semua.
Penulis adalah Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung.