Opini

Kasus Ayam Goreng Minyak Babi: Bukan Hanya Soal Agama, Ini tentang Hak Konsumen Kita

NU Online  ·  Jumat, 30 Mei 2025 | 21:30 WIB

Kasus Ayam Goreng Minyak Babi: Bukan Hanya Soal Agama, Ini tentang Hak Konsumen Kita

Ilustrasi ayam goreng dengan minyak babi. (Foto: NU Online/Freepik)

Kasus Ayam Goreng Widuran di Solo yang mengaku menggunakan minyak babi tanpa mencantumkan informasi ini pada menunya telah memantik diskusi luas. Banyak yang langsung memandangnya sekadar sebagai isu umat Muslim, seolah cukup meminta maaf kepada pelanggan Muslim, maka persoalan selesai. Padahal, jika kita melihat lebih dalam, kasus ini bukan semata soal agama, melainkan soal hak dasar konsumen: hak semua orang untuk mengetahui apa yang mereka konsumsi dan memilih secara sadar.


Transparansi informasi dalam produk makanan adalah salah satu pilar utama perlindungan konsumen. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dengan tegas menyebutkan bahwa setiap konsumen berhak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang atau jasa. Dalam konteks kehalalan, Peraturan Menteri Agama Nomor 26 Tahun 2022 memperkuat kewajiban pelaku usaha untuk mencantumkan label halal atau non-halal pada produk yang mereka tawarkan. Tidak melakukannya berarti pelanggaran yang dapat berujung pada sanksi administratif, pencabutan izin, bahkan pidana.


Namun mengapa pelanggaran seperti ini masih kerap terjadi? Salah satu jawabannya terletak pada pola pikir mayoritarian: di negara dengan mayoritas penduduk Muslim, ada asumsi bahwa semua makanan pasti halal. Asumsi ini jelas menyesatkan. Dalam era globalisasi, bahan makanan dari berbagai sumber dengan beragam kandungan masuk ke rantai pasok kita. Tanpa kejelasan informasi, hak konsumen terancam, tak peduli apa pun latar belakang agamanya.


Belajar dari minoritas di negeri lain

Sebagai seseorang yang pernah tinggal di Australia, saya merasakan langsung bagaimana rasanya menjadi bagian dari minoritas yang harus bergantung pada jaminan hukum untuk memenuhi kebutuhan khusus, termasuk soal makanan halal. Di sana, pemerintah tidak mewajibkan semua restoran menyediakan menu halal, kosher, vegan, atau bebas gluten. Namun, begitu pelaku usaha mencantumkan klaim tertentu, mereka terikat kewajiban hukum untuk mematuhinya. Pemeriksaan rutin dilakukan; pelanggaran ditindak dengan tegas, mulai dari denda hingga pencabutan izin usaha.
 

Ketika saya menjabat sebagai ketua Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Australia dan Selandia Baru (2006–2011), kami sempat menginisiasi kerja sama sertifikasi halal dengan MUI Indonesia. Pengalaman itu memperkuat keyakinan saya bahwa isu halal bukan hanya soal identitas agama, tapi juga soal hak sebagai konsumen. Yang penting bukan apakah Anda bagian dari mayoritas atau minoritas, tetapi apakah negara melindungi hak semua warga negara secara setara.


Menariknya, justru di Indonesia — negara dengan penduduk Muslim terbanyak di dunia — pengawasan cenderung longgar. Banyak pelaku usaha merasa tak perlu repot mencantumkan label non-halal karena merasa "pasti aman". Padahal, seperti di negara-negara maju, perlindungan konsumen tidak boleh didasarkan pada asumsi, melainkan pada prinsip keterbukaan dan transparansi. Di Amerika Serikat, Eropa, bahkan Australia, kesalahan label sekecil apa pun dianggap serius karena menyangkut kepercayaan konsumen. Dari produk organik, bebas GMO, vegan, hingga bebas kacang, semua harus tertera jelas. Ini bukan pendekatan moral semata, melainkan pendekatan hak sipil: semua orang berhak tahu, berhak memilih.


Refleksi: kejujuran sebagai fondasi peradaban

Sebagian orang mungkin berkata, “Ah, kan cuma sedikit minyak babi.” Namun bagi banyak kelompok, isu ini bukan soal jumlah, melainkan soal prinsip. Kita hidup dalam masyarakat plural dengan ragam keyakinan, preferensi, dan nilai. Dalam masyarakat semacam ini, sekecil apa pun hak minoritas, tetap harus dihormati. Saya teringat ucapan terkenal John F. Kennedy: “The rights of every man are diminished when the rights of one man are threatened.” Hak satu orang saja diabaikan, maka hak semua orang ikut terancam.


Kasus Ayam Goreng Widuran seharusnya menjadi titik refleksi bagi kita semua: sejauh mana kita benar-benar menghargai hak konsumen? Apakah perlindungan itu hanya berlaku jika menyangkut kelompok mayoritas, ataukah kita siap membangun sistem yang adil bagi semua? Perlindungan konsumen adalah ujian peradaban: apakah kita cukup dewasa untuk menjaga kepercayaan publik, menjunjung transparansi, dan menghormati keberagaman?


Ada tiga langkah penting yang perlu didorong bersama. Pertama, negara harus memperkuat pengawasan. Inspeksi rutin, seperti yang dilakukan di banyak negara lain, penting agar pelaku usaha tidak hanya takut saat ada laporan media. Kedua, pelaku usaha harus melihat kejujuran sebagai investasi jangka panjang, bukan beban. Transparansi membangun loyalitas konsumen dan reputasi usaha. Ketiga, masyarakat harus mulai membudayakan sikap kritis: berani bertanya, memeriksa, dan melapor jika menemukan pelanggaran. Tanpa kesadaran bersama, regulasi hanya akan berhenti di atas kertas.


Pada akhirnya, perlindungan konsumen bukan hanya soal memenuhi kewajiban hukum, melainkan soal membangun masyarakat yang saling percaya. Di era keterbukaan informasi seperti sekarang, kejujuran seharusnya menjadi nilai bersama yang tak bisa ditawar. Usaha kita untuk menjaga integritas dagang, melindungi hak konsumen, dan menghormati keberagaman, sesungguhnya adalah investasi bagi masa depan. Karena yang sedang diuji hari ini bukan hanya kualitas produk kita, tapi juga kualitas hati kita sebagai bangsa.


Mungkin sudah waktunya kita bertanya: ingin menjadi bangsa seperti apa kita? Apakah kita cukup berani mengakui kesalahan, memperbaiki sistem, dan berjalan bersama menuju masyarakat yang lebih dewasa? Kepercayaan publik tidak datang dari kampanye besar atau janji-janji indah, tapi dari langkah-langkah kecil yang konsisten: mencantumkan label yang jujur, mengawasi dengan adil, dan memuliakan hak setiap warga negara. Di situlah letak martabat bangsa ini diuji — bukan hanya di mata hukum, tetapi juga di mata hati nurani.


Eko Ernada, pernah menjabat Ketua Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCI NU) Australia dan Selandia Baru, 2006–2011.