Opini

Istitha’ah Ibadah: Refleksi Pengalaman Jamaah Haji

NU Online  ·  Selasa, 10 Juni 2025 | 11:00 WIB

Istitha’ah Ibadah: Refleksi Pengalaman Jamaah Haji

Ilustrasi ibadah haji (Foto: NU Online/MCH 2025/Patoni)

Tiga jamaah calon haji asal Jombang, Jawa Timur berkumpul di pelataran rooftop (lantai 4) Masjidil Haram. Mereka terpisah dari rombongannya yang berangkat dari Sektor 8 Hotel Al-Zaayir Blaza, Mekah. Sejak pengetatan masuk Masjidil Haram, yang diperbolehkan memasuki pelataran Ka’bah (mathaf, tempat thawaf) hanya jamaah yang mengenakan pakaian ihram. Meski punya kartu nusuk yang tergantung di lehernya, dan karenanya bisa melewati pemeriksaan saat memasuki pelataran Haram, tiga jamaah haji Indonesia itu tanpa sengaja berada di rooftop karena mengikuti arus jamaah lain. 


Pengalihan arus jamaah yang dilakukan askar Haram secara buka-tutup menyebabkan banyak jamaah terpaksa naik lift yang mengarah ke lantai 2, lantai 3, atau lantai atas. Dengan luas keseluruhan Masjidil Haram yang mencapai 356.800 m2 (3.841.000 sq ft), shalat di rooftop sejatinya asyik. Selama menunggu adzan atau ba’da shalat, jamaah bisa memandang cantiknya kubah-kubah megah berwarna cokelat dengan aksen hijau yang berjejer di rooftop dan tentu bangunan mewah super modern Tower Zamzam (Abraj Al-Bait) yang sangat menonjol dan tampak ikonik di antara gedung pencakar langit lainnya.  


Saya mengamati tingkah ketiga jamaah itu dengan seksama. Satu orang yang mengenakan sarung plekat warna biru tua duduk bersila sambil membaca al-Qur’an yang ia ambil dari rak-rak yang menyediakan bacaan mulia itu di berbagai sudut. Seorang lagi sedang shalat sunnah, lalu melanjutkan wirid-zikir sambil memegang tasbih warna hitam. Waktu shalat Subuh masih 1 jam 20 menit. Pandangan saya tertuju kepada lelaki sepuh yang mengenakan seragam batik-haji warna biru. Bapak itu kelihatan bengong sambil tolah-toleh ke kanan-kiri seperti tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk mengisi waktu shalat yang masih lama. Ia coba selonjor meregangkan kaki, kemudian menekuk kakinya. Sejenak kemudian berdiri, lalu duduk kembali sepertinya kecapekan. Seusia itu barangkali menunggu adalah pekerjaan paling membosankan. 


Di antara ribuan jamaah yang bergerak ke Haram, jamaah Indonesia memang typically gampang ditebak. Atribut keindonesiaan seperti sarung, batik haji maupun batik khas daerah plus tas kecil warna biru berlambang bendera merah-putih yang diselipkan di pinggang dengan mudah ditemui di seantero Haram. Dari 10 sektor yang tersebar di Jarwal, Misfalah, Syisyah dan Raudah, ratusan jamaah pada jam-jam tertentu (biasanya ba’da Ashar dan dinihari antara jam 1.00-2.00 WAS) menuju Haram lebih awal agar mendapat tempat yang cocok dan ‘favorit’. Saat peak season kedatangan jamaah dari pelbagai negeri memadati Tanah Haram -- sepekan sebelum puncak haji (wukuf di Arafah)--, mendapatkan tempat shalat yang nyaman dan sesuai tak mudah. Selain harus datang lebih awal, jamaah haji Indonesia mesti berebut tempat dengan jamaah haji negara-negara lain yang secara fisik dan ‘kenekatan’ kadang tak mau dikalahkan.  


Hanya saja, sering terlihat, sesampai di masjid dengan 9 menara ini, banyak jamaah kita yang hanya duduk dan bengong menunggu waktu shalat. Alih-alih thawaf mengelilingi Ka’bah atau tadarus al-Qur’an, bagi mereka tampaknya ‘tempat duduk menentukan posisi’. Ada jamaah yang ikut kelompoknya ke Haram karena bosan atau takut ditinggal sendirian di hotel, namun tidak faham apa yang harus dilakukan saat berada di masjid kebanggaan umat Islam ini. Bagi jamaah yang terbiasa mengaji al-Qur’an, membaca zikir-wirid dan shalawat panjang, atau shalat-shalat sunnah yang dikuasai, mengisi waktu di Haram terasa cepat dan menyenangkan. Sebaliknya, jamaah yang tak bisa membaca al-Qur’an, tidak memiliki persiapan dan kesiapan stock amalan yang cukup, atau tidak biasa melaksanakan shalat-shalat nawafil, waktu 1 sampai 2 jam terasa amat lama dan membosankan. Situasi psikologis semacam ini akan makin terasa saat pelaksanaan shalat Jumat dimana 3-4 jam sebelumnya jamaah harus sudah berada di dalam Masjidil Haram. 


Catatan kecil ini ingin menunjukkan bahwa pembekalan ibadah kepada jamaah calon haji sangat krusial. Sejak di dalam negeri, pembekalan manasik yang dilakukan Kantor Kementerian Agama maupun KBIHU (Kelompok Bimbingan Ibadah Haji dan Umrah) menemui tantangan yang tak mudah. Selain asal daerah yang tersebar ke seluruh pelosok negeri, literasi baca tulis (latin dan Qur’an) calon jamaah haji amat variatif. Manasik bagi jamaah lansia dan perempuan tak kalah serunya. Belum lagi motivasi dan cita-cita naik haji di kalangan suku dan daerah tertentu. Ditambah latar belakang pendidikan keagamaan juga menentukan apakah calon jamaah haji memiliki bekal ilmu agama yang cukup atau tidak. 


Berbekal manasik sebisanya, banyak jamaah akhirnya –sesuai porsi dan kuota—berangkat naik haji. Dengan masa tinggal di Saudi rerata 40 hari (bagi jamaah reguler), banyak jamaah haji yang mengalami kejenuhan. Tidak bisa menikmati waktu-waktu senggang –terutama di Mekah-- menunggu puncak haji atau pasca Armuzna menunggu kepulangan ke tanah air. Kondisi seperti ini banyak terjadi pada jamaah gelombang I akhir yang waktu kedatangan di Mekah mendekati puncak haji, lalu stay di Makkah cukup lama. Meski ada selingan berbelanja di toko-toko yang menjual aneka oleh-oleh haji. Atau mengikuti program ziarah (city tour) dan umrah sunnah 7 kali yang dilaksanakan KBIHU. Jamaah umumnya tetap ingin shalat di Haram. Fasilitas Bus Shalawat yang disediakan PPIH (Panitia Penyelenggara Ibadah Haji) memudahkan mobilitas jamaah dari hotel atau markaz ke Haram kapan saja dilakukan, 24 jam nonstop. 


Problemnya, seperti cerita di atas, banyak jamaah yang tidak bisa memanfaatkan waktu saat di Masjidil Haram. Mereka tak cukup bekal ketrampilan ibadah yang mendukung dan mengkondisikan mereka menikmati indah atau lezatnya beribadah di Haram. Padahal haji adalah soal ibadah. Maka pembekalan ibadah dengan segala variasinya (shalat nawafil, doa, zikir, wirid, tilawatil Qur’an) perlu mendapat atensi yang cukup. Bukan hanya manasik (dalam arti tata cara berhaji dan umrah), tetapi juga melingkupi keseluruhan rangkaian peribadatan yang terkait dengan pelaksanaan haji dan umrah. Pada aras inilah pemikiran tentang istitha’ah ibadah dikemukakan.


Istitha’ah dalam pelaksanaan haji saat ini mengacu pada kemampuan finansial, kesehatan, dan keamanan. Aspek ibadah kurang dipertimbangkan dalam penetapan istitha’ah padahal termasuk syarat wajib haji. Mengutip pendapat Gus Yahya Staquf saat menjadi pembicara Grand Hajj Symposium (Nadwah al-Hajj al-Kubro) ke-49 di Jeddah, Arab Saudi Minggu (1/6/2025), istitha’ah dalam konteks era sekarang harus dilihat dari berbagai aspek. 


Menurutnya, mampu membayar biaya pendaftaran awal belum tentu tergolong mampu secara syar’i untuk melaksanakan ibadah haji (mustathi’). Biaya haji yang terus meningkat setiap tahun, dan masa tunggu yang panjang dapat melemahkan kondisi fisik calon jamaah. Bisa jadi ketika giliran haji tiba, orang tersebut telah lanjut usia atau bahkan wafat (www.nu.or.id; https://www.edisi.co.id). Gus Yahya menyarankan perlunya fatwa dan bimbingan para ulama dan fuqaha terkait kapan seseorang dianggap wajib haji secara syar’i. Menurut madzhab Syafi’i, istitha’ah ditetapkan pada saat seseorang benar-benar akan berangkat haji, bukan saat pendaftaran. 


“Kondisi atau kemampuan seseorang melaksanakan ibadah haji ke Baitullah” melibatkan sejumlah aspek yang harus dipenuhi oleh calon jamaah haji sebelum ia “benar-benar dinyatakan siap berangkat haji”. Dalam Tuntunan Manasik Haji dan Umrah yang dikeluarkan Kementerian Agama, ‘kemampuan’ itu diantaranya a) menguasai pengetahuan manasik haji, b) kondisi hati yang ikhlas, sabar, dan syukur, dan c) tawakkal dan tawadhu’, yakni keyakinan sepenuh hati kepada Allah SWT dalam menghadapi perjalanan haji. Idealnya, sebelum jamaah dinyatakan siap berangkat haji, istitha’ah ibadah ini harus sudah selesai. Mafhum muwafaqah-nya, pembekalan manasik harus tuntas, termasuk di dalamnya tata cara peribadatan yang menyempurnakan ibadah haji dan umrah. 


Masalahnya, kondisi faktual sebagian jamaah belum memahami manasik dan tata cara ibadah wajib dan sunnah dengan benar. Ini masalah krusial. Baik menyangkut cara atau metode pembekalan manasiknya, persiapannya, kondisi jamaahnya, pembimbing ibadahnya, aturan dan regulasinya, atau waktu pembekalan yang terbatas. Nurturant effect atau dampak potensialnya adalah kesalahan dalam pelaksanaan rukun dan wajib haji yang berakibat sah atau batalnya haji. Kasus jamaah lupa niat, melanggar larangan ihram, batal saat thawaf, keliru tahallul, atau melompati tahapan rukun haji. Implikasinya serius, ibadahnya menjadi tidak sah atau harus membayar dam (denda). 


Manasik Sepanjang Tahun
Usulan manasik sepanjang tahun sebenarnya bukan hal baru. Beberapa tahun lalu Direktorat Jenderal Penyelenggara Haji dan Umrah merencanakan kerjasama dengan TV nasional untuk pembelajaran manasik secara periodik dan terprogram sepanjang tahun. Sayangnya program ini berhenti di perencanaan. Padahal manfaatnya jelas. Jangkauannya luas, program manasik sepanjang tahun dapat diikuti calon jamaah yang telah ditetapkan berangkat pada tahun berjalan. Siaran atau program bisa dirancang terjadwal secara rutin dengan narasumber yang kredibel dan/atau melalui tutorial dan bimbingan langsung dari penceramah yang ditunjuk. 


Tanpa mengurangi program manasik konvensional yang diselenggarakan Kantor Kemenag, KUA, atau KBIHU, diferensiasi pembekalan manasik melalui platform digital tak bisa dihindari jika ingin meningkatkan perluasan akses manasik pada publik. Tren pembelajaran online yang makin meningkat dan massif dapat dijadikan opsi untuk perluasan akses manasik ini bagi calon haji di manapun berada, di kota maupun desa, bahkan kampung-kampung dan wilayah 3T. Mudah dan praktis, murah, fleksibel, dapat diikuti kapan saja dan di mana saja.


Mencermati profil jamaah haji tahun ini, tercatat 52.625 jamaah merupakan lulusan sarjana (S1), sementara 8.350 orang bergelar magister (S2), dan sebanyak 527 orang telah menyelesaikan pendidikan doktoral (S3). Data ini menentukan perlunya model pelatihan atau pembelajaran dan sosialisasi manasik yang sesuai. Karakteristik jamaah semakin beragam dan membutuhkan pendekatan yang tepat (https://himpuh.or.id/blog/detail/2575/ diunduh 1 Juni 2025)


Memang jamaah lulusan pendidikan dasar dan menengah tetap mendominasi. Lulusan SD berjumlah 59.889 orang, SLTA (SMA) 55.178 orang, SMP 24.117 orang, dan lulusan D1-D3 tercatat 10.817 orang. Kategori lainnya mencapai 1.449 orang. Dari sisi pekerjaan, ibu rumah tangga menjadi kelompok terbesar dalam rombongan haji Indonesia tahun ini, dengan jumlah mencapai 57.000 orang. Disusul pegawai swasta sebanyak 46.000 orang, pegawai negeri sipil 41.000 orang, petani 25.000 orang, pedagang 19.000 orang, dan pensiunan 8.315 orang. Tak hanya itu, terdapat pula pelajar dan mahasiswa sebanyak 6.218 orang, pegawai BUMN 3.500 orang, anggota TNI/Polri 2.400 orang, serta profesi lainnya 1.655 orang.


Penerapan manasik sepanjang tahun akan memudahkan mendorong keikutsertaan calon jamaah haji maupun publik yang membutuhkan bimbingan dan pengetahuan tentang manasik haji dan umrah. Apalagi jika dikolaborasikan dengan stakeholders haji yang amat luas. Misalnya madrasah, pondok pesantren, DMI (Dewan Masjid Indonesia), perguruan tinggi keagamaan Islam, ditambah dengan KBIHU yang tersebar seluruh Indonesia. Dengan struktur program dan kurikulum yang terstandar, pembelajaran manasik pasti akan lebih massif, partisipatif, dan materinya mendalam. Jika dapat ditetapkan standar kompetensi minimal (SKM) seseorang layak dan “benar-benar dinyatakan siap berangkat haji” dari sisi manasik dan ibadahnya, maka ini terobosan penting untuk menjawab problem minimnya pemahamaan manasik bagi jamaah calon haji Indonesia.


Pernyataan Menteri Agama, Prof Nasaruddin Umar agar merevisi materi manasik haji (dan umrah) menemukan momentum, sekaligus dijadikan stimulan untuk memperkenalkan istitha’ah Ibadah. Istilah “haji maqbul, bukan hanya mabrur” yang beliau sampaikan mengharuskan rekonstruksi materi manasik dengan memberi pemaknaan dan nilai-nilai spiritual pada setiap etape, perjalanan, rukun-wajib, dan waktu, bahkan tempat-tempat ziarah (sites haji). 


Metode ceramah yang selama ini dominan bisa dikombinasikan dengan materi visual dan digital (video pendek atau video interaktif). Simulasi nyata dalam pelatihan manasik misalnya penggunaan wheel chair (kursi roda), orientasi hotel/pemondokan di Mekah dan Madinah, peta Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, rute Armuzna, atau situs-situs haji. 


Fiqh al-taysir, fikih yang memudahkan dalam pelaksanaan haji mendesak terus direview dan diperluas penggunannya serta rujukannya. Konsultan bimbingan ibadah atau mustasyar diny yang tahun ini dibentuk oleh PPIH dapat berkontribusi untuk merumuskan fiqh al-taysir ini. Apalagi jamaah kita masih dominan lansia, disabilitas, obesitas, dan kesehatan dengan risiko tinggi (risti). 


Tak kalah penting penguatan materi fikih perempuan. Dari tahun ke tahun jumlah jamaah haji mayoritas perempuan. Tetapi materi fikih haji kurang responsif dan ramah terhadap kebutuhan ibadah bagi perempuan. Di samping itu, jumlah pembimbing ibadah (binbad) perempuan juga minim, menyebabkan dukungan yang diperlukan jamaah perempuan kerap terabaikan. Pada titik-titik lokasi (tilok) ibadah seperti mathaf, mas’a, raudhah, Arafah, dan Muzdalifah perempuan kurang mendapat layanan yang dibutuhkan. Sementara di hotel-hotel tempat menginap jamaah hanya ada bimbingan ibadah yang bersifat umum. Itupun minim dialog dan konsultasi personal. 


Berdasarkan pertimbangan di atas, manasik sepanjang tahun diestimasi bisa mengatasi proses hulu kaitan kesiapan jamaah menunaikan rukun Islam kelima ini. Wallahu a’lam. 


Mastuki, Koordinator Sekretariat Monev Haji 2025/Kepala Pusbangkom SDM Pendidikan dan Keagamaan