Opini

Kritik Sosial Nasida Ria (1): Hutan Lebat Jangan Kau Gunduli

NU Online  ·  Rabu, 11 Juni 2025 | 18:01 WIB

Kritik Sosial Nasida Ria (1): Hutan Lebat Jangan Kau Gunduli

cover album Lingkungan Hidup grup kasidah Nasida Ria

Temuan aktivitas penambangan nikel dan hilirisasi di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya, yang diungkap oleh Greenpeace beberapa waktu lalu membuka mata publik tentang proses perusakan dan kerusakan alam. Tanah yang dulunya hijau dengan pepohonan itu kini terkoyak karena aktivitas penambangan yang mengancam ekosistem wilayah yang dikenal dengan keasrian dan keindahan alamnya itu. 


Greenpeace mengatakan, aktivitas tambang nikel di Pulau Gag, Kawe, dan Manuran, itu telah membabat lebih dari 500 hektare hutan, termasuk memicu sedimentasi yang mengancam ekosistem terumbu karang dan kehidupan bawah laut. Rakyat pun marah dan protes keras—tak terkecuali warga net yang mengecam keras perusakan alam itu di berbagai platform media sosial.
 

Nasida Ria—grup musik kasidah legendaris asal Semarang, Jawa Tengah—telah lama mengingatkan kita semua ketika mereka merilis album volume 6 pada tahun 1982 yang memuat lagu berjudul ''Lingkungan Hidup''. Di dalam lirik lagu yang digubah oleh KH Bukhori Masruri alias H Abu Ali Haidar dan divokali oleh Mutoharoh itu, tersirat renungan serta kritik tajam tentang bagaimana kita seharusnya mengelola dan memperlakukan alam. 


Meski lagu itu sudah berumur 43 tahun, tetapi masih relevan untuk didengarkan dan tentunya dijadikan sebagai kritik sosial di era sekarang, di mana eksploitasi alam—yang banyak mengindahkan aturan etika lingkungan—marak terjadi di mana-mana di wilayah Indonesia, termasuk yang sedang ramai di Raja Ampat, Papua Barat Daya, dan membuat marah warga bangsa. Untuk itu, perlu kiranya lagu ini saya ketengahkan kembali, agar kita semua, terutama pemerintah, berhati-hati dan tak semena-mena dalam memperlakukan Ibu Pertiwi.


Sebagai santri yang pernah mengenyam pendidikan di Pesantren Krapyak Yogyakarta (1955-1960) dan Pesantren Sarang, Rembang, Jawa Tengah (1960-1966), menurut saya, Kiai Bukhori Masruri selaku penggubah lirik hendak menyampaikan dua dimensi dalam lagu Lingkungan Hidup ini: dimensi vertikal dan horizontal; hablum minallah wa hablum minannas wal ‘alam; dimensi ketuhanan dan kemanusiaan sosial-lingkungan. 


Kiai Bukhori mengawali liriknya dengan kata-kata yang menggambarkan keindahan lingkungan yang ada di desa di Indonesia, dengan alunan musik indah personel Nasida Ria, sebagai berikut:


Desamu, desaku
Desa yang indah permai
Air mengalir jernih
Udara segar bersih
Hewan terlindung
Tanam-tanaman subur


Mungkin, bagi yang sedari kecil lahir dan hidup di desa akan merasa biasa saja dengan kondisi lingkungan alam sekitar kita. Untuk itu, kadang perlu penilaian orang lain yang seringkali dapat melihat apa yang tak dapat kita lihat. 


Penyair asal Sumenep, Madura, KH D Zawawi Imron, pernah bercerita bahwa ketika Grand Syekh Al-Azhar Mesir, Mahmud Syaltut, menghadiri Konferensi Islam Asia-Afrika (KIAA) pada tahun 1964, ia memberi kesaksian tentang keindahan alam Indonesia. Karena Mesir negara yang gersang—di banyak tempat dipenuhi lautan pasir—saat berkunjung ke Indonesia itu Mahmud Syaltut terpesona, lalu berujar: “Indonesia adalah potongan surga yang diturunkan oleh Allah ke bumi.”


Dengan demikian, apa yang digambarkan Kiai Bukhori dalam lirik awal dalam lagu itu seakan ingin mengungkapkan bahwa alam Indonesia—khususnya yang ada di desa dan hutan—itu begitu indah: air mengalir jernih, udara segar bersih, hewan terlindung, tanam-tanaman subur. Lalu ia melanjutkan liriknya sebagai berikut:


Itulah lingkungan hidupmu
Nikmat dan kurnia Tuhanmu
Yang harus kau syukuri
Agar tetap lestari
Pencemaran dan pengrusakan hindari


Dalam lirik tersebut, Kiai Bukhori mengingatkan bahwa keindahan lingkungan hidup atau alam Indonesia ini merupakan nikmat dan karunia atau pemberian Tuhan yang harus disyukuri agar tetap lestari—dan tentunya dapat diwariskan untuk generasi mendatang. Di antara cara mensyukuri nikmat itu adalah dengan menghindari pencemaran dan perusakan. Artinya, orang yang mencemari dan merusak lingkungan adalah tanda orang yang tak bersyukur atas nikmat yang telah dianugerahkan Tuhan—sering disebut kufur nikmat. Kiai Bukhori melanjutkan liriknya.


Hutan lebat jangan kau gunduli
Air udara jangan kau cemari
Dan usahakan selalu
Ridho Allah padamu
Agar bencana alam tak menimpamu


Dalam lirik hutan lebat jangan kau gunduli itu, Kiai Bukhori sangat tegas dan cadas mengingatkan agar tak sewenang-wenang membabat hutan. Memakai diksi gundul—yang biasa dipakai ketika orang mencukur rambut di kepalanya hingga plontos—untuk menunjukkan bagaimana pembalakan hutan atau eksploitasi alam, menurut saya, merupakan diksi yang ekstrem yang memang pas dalam kenyataannya.


Jika melihat data Kementerian Kehutanan, deforestasi—proses hilangnya atau berkurangnya luas hutan, baik secara alami maupun karena aktivitas manusia—di Indonesia menembus 175,4 hektare pada 2024. Sebanyak 69,3 persen dari luas deforestasi itu terjadi di dalam hutan, dan sisanya di luar hutan. 


Data di atas, setidaknya, menunjukkan bahwa bahasa hutan lebat jangan kau gunduli dalam lirik itu semacam sindiran keras—khususnya kepada pejabat pemerintah yang diberi mandat undang-undang dan telah digaji dari pajak rakyat—agar tak semena-mena memperlakukan hutan. Selain menyarakan agar tak menggunduli hutan, Kiai Bukhori juga menyuarakan agar air dan udara tak dicemari—yang juga semakin marak dewasa ini.


Dalam lagu itu, Kiai Bukhori menutup dengan lirik dan usahakan selalu ridha Allah padamu agar bencana alam tak menimpamu. Ini semacam ekologi spiritual, bagaimana interaksi antara manusia dengan lingkungan tak terlepas dari Tuhan. Alam bukanlah objek yang boleh semena-mena dieksploitasi, tetapi adalah sebuah amanah atau titipan Tuhan yang harus dijaga,  dimanfaatkan secara proporsional dan berkeadilan oleh manusia untuk kemaslahatan bersama. Saya menduga, beliau yang seorang santri sekaligus kiai yang pernah menjadi Ketua PWNU Jawa Tengah itu terinspirasi dari Al-Quran Surat Ar-Rum ayat 41:


“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. (Melalui hal itu) Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”


Pesan dan kritik sosial yang disampaikan lewat lirik Kiai Bukhori dan tentunya alunan merdu grup kasidah Nasida Ria itu masih sangat relevan dan kontekstual untuk kembali disuarakan oleh seluruh elemen bangsa—terlebih ketika kasus perusakan alam baik melalui aktivitas penambangan atau deforestasi semakin mengkhawatirkan. Menjaga lingkungan dan alam berarti mensyukuri nikmat Tuhan, sekaligus menjaga keberlangsungan alam untuk generasi masa depan. Mengeksploitasi lingkungan dan alam berarti mengufuri nikmat Tuhan, sekaligus membawa petaka bagi manusia—terlebih untuk generasi masa depan bangsa. Jika pemerintah abai terhadap undang-undang, etika lingkungan, dan tak mempertimbangkan ekologi, pujian yang dilontarkan Syekh Mahmud Syaltut di atas yang menyebut “Indonesia adalah potongan surga yang diturunkan oleh Allah ke bumi” bisa jadi hanya akan tinggal cerita.

 

Ahmad Naufa, penikmat lagu-lagu Nasida Ria