Opini

Perang Modern, Ya Lal Wathan, dan Pendidikan Warga NU

Ahad, 27 Juni 2021 | 14:00 WIB

Perang Modern, Ya Lal Wathan, dan Pendidikan Warga NU

Ilustrasi Pendidikan

Oleh: Roziqin


Menarik mencermati pidato Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj pada acara Haul Emas KH Wahab Hasbullah beberapa hari lalu. Beliau menyebut bahwa dunia saat ini sedang terjadi perang, namun tidak dengan fisik. Bentuk perang saat ini adalah perang kebudayaan, digital, biologi, makanan, air, dan energi. Mereka yang menguasai hal-hal tersebut akan keluar menjadi pemenang. Lalu sudah siapkah Indonesia, khususnya warga NU menghadapai perang saat ini dalam menjaga Indonesia sebagaimana dikumandangkan dalam lagu Yaa Lal Wathan karya KH Wahab Hasbullah?


Untuk menghadapi perang modern demikian, tentu warga NU membutuhkan kesiapan, terutama kesiapan ilmu. Peningkatan kompetensi melalui pendidikan dengan demikian menjadi kunci utama memenangkan peperangan. Untuk itu, perkenankan penulis memberikan sedikit catatan untuk merumuskan kembali arah pendidikan warga NU ke depan. Catatan ini dapat menjadi bahan renungan menjelang tahun ajaran baru di kala siswa sibuk menentukan kelanjutan jenjang pendidikan, dan syukur-syukur bisa menjadi perhatian dalam pengambilan keputusan menjelang Musyawarah Nasional Alim Ulama (Munas) dan Konferensi Besar (Konbes) NU masing-masing pada 31 Juli dan 28 Agustus 2021 mendatang, serta Muktamar NU akhir tahun 2021.


Kritik Dunia Pendidikan


Sebagaimana kita tahu, dari tahun ke tahun, pendidikan di Indonesia terus mendapat sorotan dari masyarakat. Mulai dari kebijakan yang terus berubah ketika ganti menteri, beban berat yang dihadapi siswa dalam belajar, dan tidak sinkronnya antara materi yang diajarkan dengan kebutuhan dunia kerja. Bila berkaca dari Human Development Index (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia tahun 2020 yang dikeluarkan oleh United Nations and Development Programme (UNDP), kita patut prihatin karena Indonesia hanya meraih skor 0.718 atau menempati ranking 107 dari 189 negara. Kita kalah oleh beberapa negara tetangga kita seperti Thailand yang meski sering dilanda konflik, menempati ranking 79 dari 189 negara, dan kalah dari Malaysia yang dulu belajar dari Indonesia, yang kini menempati ranking 62. Bahkan Indonesia kalah jauh dari Singapura yang menempati ranking 11, meski negara tersebut merdeka 20 tahun setelah Indonesia. HDI diukur dari tingkat pendidikan, kesehatan, dan ekonomi.


Tidak jauh berbeda, bila kita lihat Global Talent Competitiveness Index (GTCI) tahun 2020, posisi Indonesia kurang bagus, yakni berada di urutan 65 dari 132 negara. GTCI merupakan pemeringkatan daya saing negara berdasarkan kemampuan atau talenta Sumber Daya Manusia (SDM) yang dimiliki negara tersebut. Beberapa indikator penilaian indeks ini adalah pendapatan per kapita, pendidikan, infrastruktur teknologi komputer informasi, gender, lingkungan, tingkat toleransi, hingga stabilitas politik. Untuk GTCI, di ASEAN pun posisi Indonesia tidak bagus, yang menempati posisi kelima. Singapura menempati peringkat pertama di ASEAN dan ketiga di dunia. Hal ini menunjukkan bahwa daya saing SDM di Indonesia masih kalah jika dibandingkan dengan negara lain.


Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0


Kini kita berada pada Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0. Penggunaan artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan, telah marak digunakan dalam pemerintahan, dunia usaha, dan dunia pendidikan. Berbagai pekerjaan manusia kini telah digantikan dengan mesin sehingga terjadi era yang disebut disrupsi. Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0 semakin terlihat nyata di depan mata saat dunia dilanda pandemi Covid-19 dan segala aspek kehidupan hampir terhenti sehingga harus memanfaatkan teknologi. Saat ini sambil berbaring di rumah, kita bisa berbagai kegiatan sekaligus, misalnya mengikuti perkuliahan di Amerika Serikat, menikmati wisata virtual di Inggris, diskusi dan rapat di Jakarta, maupun kegiatan lainnya yang dilakukan secara interaktif sambil membayar berbagai tagihan listrik, air minum dan lain-lain.


Di era revolusi industri 4.0 dan society 5.0 saat ini, menurut Dwi Nurani, Analis Pelaksanaan Kurikulum Pendidikan Direktorat Sekolah Dasar, setidaknya dibutuhkan kemampuan enam literasi dasar, seperti literasi data, yaitu kemampuan untuk membaca, analisis, dan menggunakan informasi (big data) di dunia digital. Kemudian literasi teknologi, memahami cara kerja mesin, aplikasi teknologi (coding, artificial intelligence, machine learning, engineering principles, biotech). Ada lagi literasi manusia meliputi humanities, komunikasi, dan desain.


Indonesia, pada tahun 2030-2040 diperkirakan akan mengalami bonus demografi, yaitu kondisi jumlah usia produktif (usia kerja) lebih tinggi dari jumlah usia non-produktif, suatu kondisi yang akan dialami lagi ratusan tahun mendatang. Bonus demografi demikian harus kita manfaatkan dengan baik, sehingga tetap menjadi bonus atau keunggulan bagi bangsa, bukan berbalik menjadi beban demografi atau masalah kependudukan.


Pada tahun 2045, Indonesia akan merayakan 100 tahun kemerdekaan, atau disebut juga Indonesia emas. Di tahun itu, Indonesia diharapkan sudah mengalami kemajuan pesat dalam segala bidang. Hal ini sesuai dengan prediksi sejumlah kalangan internasional bahwa pada tahun 2050, dunia akan dipimpin oleh negara-negara Asia, atau yang disebut sebagai Asian Century (abad Asia), termasuk Indonesia. Pada tahun 2050, Indonesia diprediksi akan menjadi kekuatan ekonomi terbesar ketujuh di dunia.

 

Autokritik NU


Berbagai kondisi saat ini menjadi tantangan tersendiri bagi NU di dunia pendidikan. Kita harus mempersiapkan kader muda NU di masa mendatang, mulai sekarang. Di berbagai belahan dunia lain, negara sibuk dengan pengembangan teknologinya, seperti Iran yang terus mengembangkan nuklir, China yang mengembangkan matahari buatan, Taiwan yang mengembangkan robot yang bisa membaca berita, dan lain-lain. Di sisi lain, masih banyak kader NU yang terus sibuk berebut jatah bansos dan zakat, sibuk dengan isu radikalisme, dan sibuk dengan slogan NKRI harga mati ketika berbagai perusahaan asing dengan mudahnya menjarah berbagai sumber daya alam Indonesia dan korupsi terjadi di mana-mana. Demikian pula masalah kesehatan, lingkungan hidup, pendidikan, dan lain-lain terus menyelimuti bangsa yang belum terselesaikan dengan baik.


Kesibukan sebagian besar warga NU dalam ibadah ritual dan kurang peduli dengan perkembangan zaman, akan menjadikan NU berjalan di tempat. Hal ini bisa menjadi salah satu faktor banyak warga NU yang sangat miskin, sangat fakir, dan masih berpikir besok makan apa, sebagaimana diungkap oleh Ketua Umum PBNU Prof KH Said Aqil Siroj dalam buku NU dalam Sikap Gerak dan Langkah 2017. Hal ini perlu menjadi autokritik bahwa warga NU kekurangan kader profesional dan kesulitan bersaing dengan kader non-NU yang yang sudah lebih siap dengan keilmuan bidang umum.


Patut diakui NU memiliki ribuan pesantren, serta lembaga pendidikan dari PAUD sampai tingkat aliyah (SMA) yang tersebar di seluruh Indonesia yang berada di bawah Muslimat NU dan LP Maarif NU di bawah koordinasi Kementerian Agama. Di bidang pendidikan tinggi, NU juga memiliki perguruan tinggi di bawah Lembaga Perguruan Tinggi NU (LPTNU) yang semuanya berupaya membenahi mental dan intelektual generasi muda Indonesia.


Namun demikian, upaya tersebut ternyata belum cukup. Dalam menempuh pendidikan, warga NU lebih konsentrasi dalam peningkatan kompetensi di bidang keagamaan, dan cenderung menganggap kurang penting keilmuan umum. Hal ini misalnya dapat dilihat dari perbandingan jumlah doktor (lulusan S-3) bidang agama dan non agama. Berdasarkan data PBNU, tahun 2021 NU memiliki 742 doktor yang bukan dari bidang agama, dan lebih dari tiga ribu orang doktor bidang agama. Persebaran data yang tidak merata dalam kompetensi bidang umum, menyebabkan sedikitnya jumlah kader NU yang duduk di pemerintahan, birokrasi, TNI/Polri, BUMN, dan pengusaha.


Setidaknya, jumlah tersebut tidak sebanding dengan jumlah kader NU yang diperkirakan mencapai 90 juta orang. Perkembangan Universitas Nahdlatul Ulama di berbagai kota dan kampus lain di bawah binaan NU yang membuka peminatan di luar agama, cukup melegakan untuk mengejar ketertinggalan warga NU di bidang keilmuan umum. Demikian pula banyaknya generasi muda NU yang menyebar ke berbagai penjuru dunia untuk menimba ilmu, cukup memberi harapan akan masa depan NU di masa mendatang.


Perlu diingat pula bahwa keilmuan umum tidak kalah pentingnya dari keilmuan agama. Keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Bahkan menurut Syaikh Thanthawi, guru besar Al-Azhar Kairo dalam tafsirnya Al-Jawahir, dalam Al Quran, ayat fikih hanya berjumlah 150, jauh lebih sedikit dari ayat tentang alam semesta yang berjumlah lebih dari 800 ayat. Bahkan ayat tentang “Ulama”, bahwa “sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama,” tertulis di Al Quran Surat Fathir ayat 28 setelah Allah menjelaskan berbagai fenomena alam seperti langit, hujan, gunung, buah-buahan, dan binatang. Artinya, keilmuan umum mendapat porsi yang besar di AL Quran.


Perlu disadari bahwa ilmu dunia yang dimanfaatkan untuk maslahat umat dan diniatkan untuk ibadah, juga mendapat pahala besar di sisi Allah. Demikian pula kerja dan aktivitas dunia akan mendapat pahala sepanjang diniatkan untuk kepentingan akhirat. Dengan demikian, pembedaan antara ilmu umum sebagai ilmu dunia, dan ilmu agama sebagai ilmu akhirat, saat ini tidak relevan. Generasi Islam sempat mengalami kejayaan pun ketika perkembangan keilmuan agama berjalan seiring dengan keilmuan umum.


Keilmuan umum di era disrupsi saat ini sebaiknya tidak lagi dipandang sebelah mata oleh kader NU. Sebagai contoh, NU akan lebih mudah menentukan kehalalan vaksin, apabila ada kadernya yang selain ahli agama juga ahli vaksin. Pengetahuan bisnis, juga diperlukan untuk mengetahui sejauh mana kehalalan praktik bisnis kontemporer seperti cryptocurrency, forex, dan lain-lain. Penguasaan teknologi informasi pun bisa dimanfaatkan untuk digitalisasi dakwah serta menjaga privasi data sehingga menjadi salah satu bentuk hifdzun nafs dan hifdzul maal di era modern di tengah praktik pencurian dan perdagangan data ilegal yang sangat merugikan. 


Peran NU


Sebagai organisasi massa dan keagamaan terbesar di Indonesia, NU sudah sepatutnya memiliki tanggung jawab dalam mendorong dan terlibat dalam pembangunan di segala bidang, bukan hanya menjadi penonton di negeri ini. Bangsa Indonesia yang telah merdeka hampir 76 tahun haruslah terus dijaga dari segenap pihak-pihak yang akan merusaknya. Menjaga bangsa dalam konteks saat ini tentu tidak harus dengan mengangkat senjata, tetapi dengan berkiprah sebesar-besarnya dalam pembangunan masyarakat dan bangsa ini. Untuk berkiprah dalam berbagai bidang tersebut, perlu dibekali ilmu, bukan hanya ilmu agama, tetapi juga ilmu umum.


Dalam Munas, Konbes, maupun Muktamar NU ke-34 nanti, kiranya para peserta perlu menetapkan arah pendidikan warga NU yang saat ini masih tertinggal di bidang umum. Dalam hasil Muktamar NU ke-33 lalu, rekomendasi terkait masalah pendidikan masih sebatas bagaimana melakukan koordinasi dan sinergi antar pendidikan di bawah Muslimat NU, LP Maarif NU, dan LPTNU; masalah peralihan badan hukum, pengembangan materi keaswajaan, serta pembentukan lembaga akreditasi mandiri di bawah LPTNU. Belum terlihat visi menaikkan kompetensi SDM NU maupun arah pendidikan warga NU di bidang umum, misalnya kedokteran, nuklir, kimia, biologi, teknologi informasi, astonomi, diplomasi, perbankan, hukum, dan lain-lain.


Pendidikan adalah investasi jangka panjang. Langkah, upaya, dan keputusan yang kita lakukan saat ini di bidang pendidikan, akan menentukan masa depan generasi mendatang, khususnya generasi muda NU. Dengan kompetensi keilmuan agama dan umum secara terintegrasi yang dimiliki kader NU nantinya, diharapkan terwujud kader-kader yang siap menjadi pengambil kebijakan di berbagai bidang di masa mendatang.

 

Wallahu a’lam


Penulis adalah Pengajar di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) dan Kandidat Doktor Zhejiang University, Tiongkok