Mengapa Puisi Gus Mus Masih Dibaca Santri Zaman Now?
NU Online · Ahad, 10 Agustus 2025 | 10:41 WIB
Abdul Wachid B.S.
Kolomnis
Di tengah dunia serba cepat dan instan, konten dakwah kerap berubah menjadi tontonan yang lebih mementingkan sensasi daripada substansi. Ceramah-ceramah potong-potong membanjiri media sosial, slogan-slogan religius disebar tanpa konteks, dan istilah-istilah suci dikomodifikasi menjadi sekadar label. Namun, menariknya, di tengah keramaian yang penuh bunyi tetapi miskin suara itu, puisi-puisi Gus Mus—KH Ahmad Mustofa Bisri—tetap dibaca, dikutip, bahkan dipelajari oleh para santri dan generasi muda.
Pertanyaannya: mengapa puisi Gus Mus tidak kehilangan daya hidupnya? Apa yang membuatnya tetap relevan, menyentuh, dan bermakna, bahkan bagi generasi yang disebut sebagai “zaman now”?
Gus Mus bukan sekadar kiai karismatik. Ia adalah budayawan, pelukis, kolumnis, dan penyair yang konsisten menulis puisi religius-sufistik dengan gaya khas: jenaka tapi menggugah, sederhana tapi menusuk ke dalam, santai tapi sarat makna. Keistimewaan puisi-puisinya terletak pada cara ia mendekati persoalan spiritual dan sosial dengan bahasa sehari-hari, tanpa kehilangan keanggunan dan kedalaman maknanya.
Mari kita simak salah satu puisi populer beliau:
Mulut
Di mukamu ada sebuah rongga
Ada giginya ada lidahnya
Lewat rongga itu semua bisa
kau masukkan ke dalam perutmu
Lewat rongga itu semua bisa kau tumpahkan
Lewat rongga itu air liurmu bisa
meluncur sendiri.
Dari rongga itu
Orang bisa mencium bau apa saja
Dari wangi anggur hingga tai kuda.
Dari rongga itu
Mutiara atau sampah bisa masuk bisa keluar
Membuat langit cerah atau terbakar.
Dari rongga itu
mata air jernih bisa kau alirkan
Membawa kesejukan kemana-mana.
Baca Juga
Realitas Supernatural: Mustofa Bisri
Dari rongga itu
Kau bisa menjulurkan lidah api
Membakar apa saja.
Dari rongga itu
Bisa kau perdengarkan merdu burung berkicau
Bisa kau perdengarkan suara bebek meracau.
Dari rongga itu
Madu lebah bisa mengucur
Bisa ular bisa menyembur.
Dari rongga itu
Laknat bisa kau tembakkan
pujian bisa kau hamburkan.
Dari rongga itu
Perang bisa kau canangkan
Perdamaian bisa kau ciptakan.
Dari rongga itu
Orang bisa sangat jelas melihat dirimu.
Rongga itu milikmu
Terserah
kau.
(Hijau Kelon, 2002)
Puisi ini tampak sederhana dalam struktur, tapi mengandung kritik tajam terhadap perilaku lisan manusia. Santri zaman sekarang yang akrab dengan arus informasi tanpa filter melalui media sosial, menemukan puisi ini sangat relevan. Ia menyindir tanpa memaki, mengingatkan tanpa menyakiti. Inilah kekuatan puisi Gus Mus: menyentuh kalbu tanpa menuding, membangkitkan kesadaran tanpa menggurui.
Dalam era di mana ceramah normatif mulai dianggap klise oleh sebagian generasi muda, puisi-puisi Gus Mus tampil sebagai oase. Ia menawarkan pengalaman batin, bukan sekadar pengetahuan agama. Puisi-puisi Gus Mus tak menekankan pada larangan dan perintah secara verbal, tetapi menghidupkan dimensi maknawi dari nilai-nilai keislaman.
Bila kita menelaah seluruh karya puisinya, akan tampak bagaimana Gus Mus membangun dunia spiritual dan sosial melalui bahasa yang lembut tapi menggugah. Berikut beberapa buku puisi beliau yang telah terbit:
- Ohoi, Kumpulan Puisi Balsem (Pustaka Firdaus, 1991, 1994)
- Tadarus, Antalogi Puisi (Prima Pustaka, 1993)
- Pahlawan dan Tikus (Pustaka Firdaus, 1996)
- Wekwekwek: Sajak-sajak Bumi Langit (1996)
- Gelap Berlapis-lapis (Al-Ibriz, Fatma Press, 1998)
- Gandrung: Sajak-sajak Cinta (Mata Air Publishing, 2000)
- Negeri Daging (Bentang Budaya, 2002)
- Rubaiyat Angin dan Rumput (PT Matra Multi Media, 2008)
- Aku Manusia: Kumpulan Puisi (Mata Air Publishing, 2016)
Dalam buku Aku Manusia, misalnya, Gus Mus menulis puisi dengan judul yang sama, yang menjadi semacam kredo eksistensial sekaligus spiritual:
Aku Manusia
Ketika langit menepuk dada
mengatakan aku langit di atas tak terjangkau,
dengan bangga aku mengatakan aku manusia.
Ketika bumi menepuk dada
mengatakan aku bumi kaya dan memukau,
dengan bangga aku mengatakan aku manusia.
Ketika matahari menepuk dada
mengatakan aku matahari punya cahaya berkilau,
dengan bangga aku mengatakan aku manusia.
Ketika bulan menepuk dada
mengatakan aku bulan para kekasih mengajakku bergurau,
dengan bangga aku mengatakan aku manusia.
Ketika laut menepuk dada
mengatakan aku laut melihat keindahanku siapa tak terhimbau,
dengan bangga aku mengatakan aku manusia.
Ketika angin menepuk dada
mengatakan aku angin mampu menyamankan atau mengacau,
dengan bangga aku mengatakan aku manusia.
Ketika sungai menepuk dada
mengatakan aku sungai punya air tawar dan payau,
dengan bangga aku mengatakan aku manusia.
Ketika batu-batuan menepuk dada
mengatakan aku batu-batuan bisa berguna bisa menjadi ranjau
dengan bangga aku mengatakan aku manusia.
Ketika tumbuh-tumbuhan menepuk dada
mengatakan aku tumbuh-tumbuhan
dariku orang mengambil warna kuning dan hijau,
dengan bangga aku mengatakan aku manusia.
Ketika burung menepuk dada
mengatakan aku burung mampu terbang dan berkicau,
dengan bangga aku mengatakan aku manusia.
Ketika setan menepuk dada
mengatakan aku setan mampu membuat orang mengigau
dengan bangga aku mengatakan aku manusia.
Tuhan memuliakanku.
(Aku Manusia, 2016)
Puisi ini bukan sekadar pernyataan identitas, tapi juga pengakuan spiritual. Gus Mus menyandingkan manusia dengan segala ciptaan lain—langit, laut, burung, bahkan setan—untuk menunjukkan betapa kompleks dan agungnya martabat manusia. Pesan ini tidak hanya menyentuh pembaca awam, tetapi juga para santri yang sedang mencari makna dari perjalanan spiritual mereka.
Gaya Gus Mus yang khas, yang menggabungkan antara ironi, kasih sayang, dan spiritualitas, menjadikan puisi-puisinya tidak terikat oleh zaman. Ia bukan hanya menulis puisi, tapi menghidupkan kembali laku tasawuf melalui bahasa.
Berbeda dari ceramah-ceramah yang kadang hanya menyentuh pikiran, puisi menyelinap ke hati. Ia tidak membutuhkan validasi logika, karena ia bekerja melalui resonansi batin. Puisi Gus Mus, dalam hal ini, seperti zikir: diulang dalam diam, direnungkan dalam sepi, dan akhirnya menyinari hidup.
Di tengah tren “meme dakwah” dan “caption-caption religius”, para santri zaman now ternyata tetap mencari kedalaman. Mereka mungkin memakai TikTok dan Instagram, tapi mereka juga membaca. Dan ketika mereka membaca Gus Mus, mereka menemukan suara lembut yang memberi ruang untuk khusyuk—bukan karena takut, tetapi karena cinta.
Tradisi membaca puisi di pesantren bukan hal baru. Sejak dahulu, kitab-kitab klasik sering disampaikan dalam bentuk nadham (puisi). Gus Mus melanjutkan tradisi ini dengan corak modern. Dan karena itu pula, puisinya masih hidup, karena ia berbicara dalam bahasa zaman, tetapi membawa ruh zaman silam.
NU sebagai rumah besar kaum Nahdliyin, sebenarnya memiliki khazanah sastra yang sangat kaya. Gus Mus hanyalah satu dari sekian penyair pesantren. Tapi melalui beliau, kita bisa belajar bahwa puisi tidak harus rumit untuk menjadi dalam, dan tidak harus tinggi untuk bisa menyentuh.
Maka, jika hari ini santri masih membaca puisi Gus Mus, itu bukan sekadar bentuk nostalgia. Tapi juga pengakuan bahwa di tengah segala kecanggihan teknologi, masih ada kebutuhan akan kata-kata yang menenangkan, menuntun, dan menyelamatkan.
Itulah sebabnya puisi Gus Mus masih hidup—karena ia tidak berhenti sebagai teks, tapi terus bergerak sebagai napas zaman.
Abdul Wachid B.S., penyair dan dan Ketua Lembaga Kajian Nusantara Raya (LK Nura) di Universitas Islam Negeri Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Meyongsong HUT RI dengan Syukur dan Karya Nyata
2
Khutbah Jumat: Menjadikan Aktivitas Bekerja sebagai Ibadah kepada Allah
3
Khutbah Jumat: Menjaga Kerukunan dan Kerja Sama Demi Kemajuan Bangsa
4
Khutbah Jumat: Dalam Sunyi dan Sepi, Allah Tetap Bersama Kita
5
Redaktur NU Online Sampaikan Peran Strategis Media Bangun Citra Positif Lembaga Filantropi
6
Aliansi Masyarakat Pati Bersatu Tetap Gelar Aksi, Tuntut Mundur Bupati Sudewo
Terkini
Lihat Semua