Kusnun Daroini
Kolomnis
Dalam diskursus historis pendidikan di Indonesia, model pendidikan Taman Siswa yang digagas oleh Ki Hajar Dewantara (1889-1959) dapat menjadi alternatif untuk merekonstruksi bangunan pendidikan yang strategis di masa depan. Pendidikan Taman Siswa mengedepankan trilogi nilai yang meliputi kebebasan, kebudayaan, dan kemanusiaan.
Dari kerangka nilai inilah lahir semboyan yang populer, yaitu ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, dan tut wuri handayani. Pesan kuat dari ajaran ini menuntut peran pendidik atau guru untuk menjadi teladan, motivator, dan inspirator bagi murid-muridnya.
Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan bukan sekadar transfer ilmu pengetahuan, melainkan juga transformasi mendalam untuk membentuk karakter dan moralitas. Tujuannya adalah melahirkan generasi yang merdeka, berkarakter, dan tercerahkan.
Secara substansial, proses pengajaran harus berpijak dan berakar pada budaya serta potensi lokalitas tempat manusia lahir dan berkembang. Metode ini diharapkan relevan untuk memberdayakan komunitas dan mempertahankan identitas budaya, sehingga peserta didik tidak tercabut dari akar historisnya.
Pola pendekatan ini ternyata sejalan dengan pemikiran filsuf Brasil Paulo Freire (1921-1997) yang menekankan pentingnya konteks lokal dalam pendidikan. Freire memperkenalkan metodologi "pendidikan hadap masalah" yang menekankan dialog hidup antara guru dan siswa sebagai "mitra dialog" untuk saling mengisi dan mendewasakan.
Metodologi ini bertujuan memicu dan merangsang "kesadaran kritis" pelajar terhadap realitas sosial yang mereka alami. Harapannya, akan lahir "tindakan transformasi" sosial dan kebudayaan yang bergerak dinamis dan progresif.
Secara konkret, melalui pendekatan kritis, literasi yang kuat, politik pembebasan, pendidikan multikultural yang toleran, serta penyerapan teknologi, pendidikan dapat menjadi instrumen untuk menganalisis ketidakadilan ekonomi.
Dalam konteks kemiskinan yang diderita oleh buruh tani dan pengangguran yang semakin meningkat, pendidikan dapat mengungkap siklus penindasan struktural ekonomi global yang melibatkan agen-agen domestik sebagai perpanjangan tangan korporasi.
Dengan pemahaman ini, peserta didik akan menjadi subjek sekaligus "agen sosial" yang sadar dan kritis untuk menghadapi sistem dominasi yang menindas. Di sinilah metodologi "hadap masalah" menemukan momentumnya.
Pesantren sebagai Rujukan Pendidikan
Gambaran historis menunjukkan bahwa pesantren berpotensi besar untuk menjadi gerakan pendidikan yang radikal. Dengan kejujuran ilmiah, dapat disimpulkan bahwa pesantren dengan tradisi dan jaringannya telah berkontribusi besar dalam sejarah perjuangan bangsa yang tidak bisa dipandang sebelah mata.
Sejak dulu, sejarah pesantren terjalin erat dengan peristiwa-peristiwa penting dalam dinamika peradaban Nusantara. Fakta ini mengungkapkan bahwa perjuangan para tokoh kebangsaan yang berkonfrontasi dengan Belanda dan bangsa Eropa tidak terlepas dari pengaruh pesantren.
Sayangnya, sedikit sekali catatan dan dokumen resmi yang menceritakan "benang merah" sejarah yang sangat berharga ini. Namun, belakangan muncul kesimpulan bahwa minimnya peran pesantren dalam wacana sejarah resmi disebabkan oleh upaya sistematis dari kekuasaan kolonial dan rezim berikutnya yang sengaja mengaburkannya.
Oleh karena itu, dalam dokumen sejarah nasional, dunia pesantren dengan segala keunikan, kearifan, khazanah keilmuan, perjuangan, dan universalitas pengetahuannya sengaja dikaburkan dan "dikuburkan" oleh rezim pengetahuan yang dominan.
Dua peristiwa besar yang umum diketahui adalah pecahnya Perang Jawa (perlawanan rakyat dipimpin Pangeran Diponegoro pada 1925-1930) dan peristiwa kolosal Perang 10 November 1945. Kedua kejadian bersejarah ini cukup untuk membuktikan dinamika pergerakan pesantren.
Kedua peristiwa penting ini bukanlah kebetulan. Terdapat upaya gerakan yang terencana secara strategis, terukur, dan didukung oleh pergerakan kultural pendidikan yang menyesuaikan situasi politik.
Bentuk upaya transformasi ini sering disebut sebagai jaringan Islam tradisional yang berpusat di banyak pesantren. Gerakan ini didasarkan pada proses internalisasi pengetahuan di tengah ketidakadilan dengan keyakinan ketauhidan yang mendalam.
Harus diakui bahwa setelah liberalisasi pendidikan Barat dengan instrumen Politik Etis, hanya dunia pesantren yang mampu melakukan resistensi dan relatif belum terkontaminasi oleh arus sekulerisme kolonial. Hal ini terlihat jelas sebelum munculnya gelombang modernisasi pasca-kemerdekaan.
Pada dasarnya, paradigma pendidikan pesantren bersumber pada kaidah besar keilmuan, yaitu akidah, fikih, tasawuf, dan kepemimpinan moralitas yang khas dan independen. Dari empat hal besar inilah pesantren membentuk "subkultur sendiri" di tengah dinamika masyarakat. Keunikan dan kekuatan pesantren tidak hanya pada pengajaran akademik, tetapi juga pada pertalian dan empati sosial kulturalnya yang luas, menjadikannya lembaga yang sulit direplikasi ke dalam kaidah pendidikan modern dan formal.
Dalam rentang historis yang panjang, pesantren telah melalui pergumulan peradaban yang bersinggungan langsung dengan konstelasi sosial, ekonomi, kebudayaan, dan pergolakan politik. Peran dan kontribusi pesantren dalam merumuskan upaya penyelamatan kebangsaan yang bermartabat terbukti nyata.
Dari gambaran di atas, jelas bahwa sistem pendidikan pesantren secara integral memadukan beberapa unsur mendasar, yaitu: sistem nilai transformatif yang diidealkan di antaranya teologi ketauhidan yang mendalam, spirit kaidah sosial yang kuat, praksis kepemimpinan karismatik, jejaring lintas budaya dan generasi yang terus bergerak dan dinamis.
Beberapa hal yang menjadikan pesantren begitu otoritatif sebagai "subkultur" adalah: pertama, kebijakan pendidikan yang independen, tidak bisa diintervensi oleh institusi luar. Kedua, kekuatan nilai historis yang berkesinambungan hingga ke sumber aslinya yang bermuara pada legitimasi kenabian yang otentik.
Ketiga, jaringan yang luas dan kuat yang terjaga efektif hingga kini. Keempat, paradigma yang longgar, inklusif, toleran, dan empatis terhadap perubahan sosial. Kelima, kepemimpinan karismatik yang lahir dari pergumulan serius dan konsisten, sulit ditemukan pada praktik pendidikan formal.
Berangkat dari lima unsur ini, pesantren berpotensi menjadi media dan wadah alternatif sebagai prototipe pendidikan transformatif yang mampu dipadukan dengan wacana dari luar. Dengan arus disrupsi teknologi dan informasi yang begitu cepat, pesantren dapat menjadi "saringan" yang mampu memfilter dan mengolahnya menjadi suguhan yang konstruktif bagi peserta didik.
Namun, hal ini kembali pada integritas para pengampu pesantren secara internal untuk berbenah dan merombak cara pandang, serta melakukan "ijtihad sosial" secara konsisten.
Bukanlah harapan yang berlebihan untuk melihat pesantren menjadi "agen besar" perubahan sosial, seperti yang telah dilakukan oleh para pendahulunya. Sosok Gus Dur tetap relevan dan layak dijadikan "lanskap pemikiran" atau bahkan ideologi model keislaman yang progresif dan revolusioner. Kiprahnya telah mampu mendinamisasi berbagai sektor yang kompleks.
Dalam ranah pendidikan, khususnya di dunia pesantren yang merujuk pada kelompok Islam tradisional, ia telah berhasil mendorong pesantren menjadi kekuatan dinamis yang diperhitungkan dalam konstelasi nasional.
Pertanyaannya kemudian, mampukah program-program kebijakan pendidikan formal, khususnya yang berkaitan dengan usulan pemerintah tentang pelaksanaan program "sekolah rakyat," menjadikan khazanah pesantren sebagai rujukan alternatif?
Meskipun tidak secara utuh, minimal cita-cita luhur dari pesantren mampu dicangkokkan, walaupun hanya sekadar spiritnya.
Kusnun Daroini, penulis lepas, pemerhati sosial dan penggiat pertanian ramah lingkungan
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Meyongsong HUT RI dengan Syukur dan Karya Nyata
2
Jadwal Puasa Sunnah Sepanjang Agustus 2025, Senin-Kamis dan Ayyamul Bidh
3
Khutbah Jumat: Rawatlah Ibumu, Anugerah Dunia Akhirat Merindukanmu
4
Khutbah Jumat: Menjadikan Aktivitas Bekerja sebagai Ibadah kepada Allah
5
Khutbah Jumat: Dalam Sunyi dan Sepi, Allah Tetap Bersama Kita
6
Redaktur NU Online Sampaikan Peran Strategis Media Bangun Citra Positif Lembaga Filantropi
Terkini
Lihat Semua