Abi S Nugroho
Kolomnis
Pemerintah Kabupaten Pati, di timur laut Jawa Tengah, selalu bangga dengan slogan Bumi Mina Tani. Sebuah identitas yang melekat dalam simbol-simbol pemerintah, tugu, hingga pidato resmi para pejabat. “Mina” merujuk pada perikanan, “tani” pada pertanian. Dua sektor ini, secara historis, adalah nadi kehidupan warga. Sawah membentang. Deretan perahu nelayan dan pasar tradisional penuh hasil bumi.
Namun, beberapa bulan terakhir, citra itu terkoyak. Di balik slogan yang terdengar makmur, muncul suara-suara serak warga yang merasa diperas kebijakan, digusur tanahnya, dan ditinggalkan dalam kekeringan yang mengancam dapur mereka. Gelombang protes yang pecah di Pati tidak bisa lagi dilihat sebagai kemarahan karena satu kebijakan, melainkan letupan dari gunung es ketidakpuasan yang menumpuk bertahun-tahun.
Awalnya, isu yang memicu amarah publik adalah kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) sebesar 250%. Angka itu, dalam hitungan warga, terlalu mencekik di tengah harga beras yang naik dan panen yang tidak menentu. Pemerintah daerah berdalih, pajak tidak pernah naik 14 tahun, kas daerah butuh pendapatan untuk infrastruktur. Tapi bagi warga, logika itu terdengar seperti “memeras jeruk kering.”
Protes meledak. Bupati sempat menantang warga, “Kumpulkan saja 50 ribu orang, saya tidak takut!” Tantangan itu justru diterima publik sebagai undangan terbuka untuk parade perlawanan. Donasi logistik mengalir, ribuan kardus air mineral, makanan, bahkan berpikap-pikap penuh tandan pisang dari Desa Gunungsari dan desa lainnya. Posko dan dapur umum didirikan. Target peserta aksi 13 Agustus berpotensi mencapai 50 ribu, bahkan 100 ribu orang.
Ketika gelombang amarah tak terbendung, Bupati minta maaf dan mencabut kenaikan PBB. Namun, seperti api yang telanjur membakar ladang dan rumput kering, protes tak padam. Tuntutan mengalami eskalasi dengan sasaran, Bupati harus mundur. Dalam politik lokal, ini tanda krisis kepercayaan total, ketika warga merasa pembatalan kebijakan hanya “tambal sulam” dan bukan jawaban.
Kenaikan pajak hanyalah satu bab. Warga juga geram dengan pemutusan hubungan kerja 220 karyawan honorer RSUD RAA Soewondo, tanpa pesangon. Ironisnya, hanya berselang sebentar, rumah sakit membuka lowongan 330 pegawai baru. Bagi publik, ini seperti menendang orang keluar rumah lalu memanggil tamu baru untuk menempati kamar yang sama.
Tak berhenti di situ, kebijakan lima hari sekolah juga memukul banyak guru honorer. Restrukturisasi sekolah membuat mereka kehilangan jam mengajar dan gaji. Kebijakan yang mungkin dimaksudkan untuk efisiensi justru memperkuat kesan bahwa pemerintah daerah mengambil keputusan tanpa menimbang dampak kemanusiaan.
Bahkan, PCNU Pati merasa dijadikan sebagai stempel kebijakan tersebut. Dalam maklumatnya, Ahad, 10 Agustus, PCNU menegaskan bahwa Bupati harus meminta maaf khusus kepada PCNU Pati atas klaim sepihak terkait persetujuan kebijakan lima hari sekolah.
Dari tiga kebijakan ini, dalam nalar publik bahwa kenaikan PBB, PHK RSUD, dan lima hari sekolah menjadi paket lengkap alasan mengapa warga Pati merasa dikhianati. Menariknya, perlawanan ini tidak liar dan sporadis. Ia terorganisir. Ada koordinator donasi ada inisiator dan koordinator demo sebagai sosok penggerak. Donasi datang dari warga Pati di luar daerah, bahkan luar negeri. Solidaritas ini mengingatkan pada jaringan kultural masyarakat Jawa yang mampu menyatukan gotong-royong untuk tujuan politik.
Di sisi lain, pemerintah mencoba meredam. Satpol PP mengangkut donasi dari titik kumpul dengan alasan “membersihkan lokasi” untuk kirab Hari Jadi Kabupaten Pati dan perayaan HUT RI. Publik membaca ini bukan sebagai penataan ruang, tetapi upaya menekan aksi. Gesekan pun makin keras dan memanas.
Bupati menyebut aksi ini ditunggangi kepentingan politik. Itu pernyataan klasik dalam kamus krisis politik. Tapi fakta di lapangan menunjukkan, isu Pati memang cepat memantul ke Jakarta. Presiden Prabowo Subianto yang juga Ketua Umum Gerindra, partai Bupati, menginstruksikan agar kenaikan PBB dibatalkan. Pesan politiknya jelas, jangan sampai Pati meledak di bulan Agustus, menjelang HUT Kemerdekaan ke-80 RI.
Spanduk-spanduk protes bahkan ditujukan langsung kepada Prabowo, mengancam boikot Gerindra jika Bupati tidak mundur. Di sini kita melihat, isu lokal bisa dengan cepat bertransformasi jadi tekanan nasional ketika melibatkan kader partai penguasa.
Di balik krisis kebijakan ini, ada luka lama yang tak pernah sembuh. Konflik agraria di Pundenrejo, misalnya, sudah berumur puluhan tahun. Tanah yang awalnya milik leluhur petani, berpindah ke tangan militer pasca-1965, lalu ke korporasi. Kini, lahan itu ditanami tebu, meski izinnya hanya untuk bangunan. Sekitar 140 petani kehilangan tanah garapan, identitas, dan masa depan.
Krisis lingkungan menambah beban. Kekeringan Sungai Silugonggo/Juwana yang disebut terparah dalam 71 tahun, membuat nelayan menganggur berminggu-minggu. Pendapatan harian Rp50–150 ribu lenyap. Petani pun takut gagal panen. Warga percaya, pembangunan Bendung Karet berperan dalam memutus aliran air. Pemerintah daerah menyebut musim kemarau dan penyedotan air berlebihan sebagai penyebab. Namun, dalam politik persepsi, suara warga sering lebih nyaring daripada laporan teknis di meja para birokrat.
Rendeng raiso ndodok, ketigo raiso cewok adalah peribahasa yang menggambarkan nestapa masyarakat Jawa. Musim hujan tak bisa jongkok, musim kemarau tak bisa cebok, jadi kenyataan pahit bagi warga Pati. Di musim hujan, banjir menggenang. Di musim kemarau, air menghilang. Ini bukan sekadar kelakar. Ini metafora kehidupan di mana rakyat selalu terjepit, tanpa mengenal musim.
Kata-kata itu gentayangan di warung kopi, di sela tenda aksi, bahkan di media sosial warga. Ia jadi bahasa kolektif untuk mengkritik tata kelola yang gagal membaca realitas bumi yang mereka pijak.
Badai Perlawanan dari Empat Penjuru Mata Angin
Perlawanan rakyat Pati telah mencuat ke permukaan sebagai ledakan emosional akibat kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB-P2) sebesar 250%. Namun, ketika ditelisik lebih dalam, ledakan ini hanyalah puncak gunung es yang tertanam dalam empat lapisan krisis yang saling mengunci: tekanan ekonomi akut, luka struktural, krisis politik, dan identitas kultural yang terancam.
Pertama, tekanan ekonomi akut, bahwa peningkatan PBB-P2 dari pemerintah daerah menjelma dinamit. Kenaikan hingga 250% memukul langsung rumah tangga di 21 kecamatan. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Pati (2024), mencatat, bahwa kemiskinan yang dialami warga Kabupaten Pati terlihat dari terus meningkatnya garis kemiskinan selama lima tahun terakhir, mencerminkan semakin besarnya biaya minimum yang harus dikeluarkan masyarakat guna memenuhi kebutuhan dasar.
Pada 2019, garis kemiskinan tercatat sebesar Rp 423.922,- dan terus naik menjadi Rp 486.855,- pada 2022, lalu melonjak menjadi Rp 599.499,- pada 2024, dengan pertumbuhan tertinggi pada 2023 yang mencapai 9,38 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Kenaikan ini tidak hanya dipicu oleh meningkatnya harga kebutuhan pokok, tetapi juga oleh perubahan konsumsi hidup masyarakat yang memerlukan pengeluaran lebih besar, sehingga beban ekonomi keluarga semakin berat dan daya beli penduduk miskin semakin tertekan. Sementara itu, banyak rumah tangga menggantungkan pendapatan dari sektor pertanian dan perikanan yang sangat rentan terhadap musim dan harga pasar.
Kenaikan pajak ini datang berdekatan dengan guncangan lain, yakni PHK massal 220 pegawai honorer RSUD RAA Soewondo pada 1 Juli 2025. Banyak di antara mereka adalah pencari nafkah tunggal. Tanpa pesangon, mereka langsung jatuh ke jurang pengangguran, angka yang menurut BPS Pati 2023, meski selama 2019–2023, tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) di Kabupaten Pati terus naik dari 66,08 persen menjadi 73,10 persen, artinya semakin banyak penduduk usia kerja yang masuk ke pasar kerja.
Namun, tingkat pengangguran terbuka (TPT) juga mengalami kenaikan, dari 3,64 persen pada 2019 menjadi 4,29 persen pada 2023, meski sempat menurun di beberapa tahun. Hal ini menunjukkan bahwa meski lebih banyak orang bekerja, persoalan pengangguran belum sepenuhnya teratasi, dan masih perlu dilihat apakah mereka bekerja dengan jam kerja dan produktivitas memadai untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, atau kerja tanpa mengenal waktu yang melampaui batas 8 jam.
Kombinasi ini menciptakan tekanan ekonomi simultan. Bagi keluarga nelayan di Sungai Silugonggo, kehilangan pendapatan harian Rp50.000-Rp150.000 akibat kekeringan berarti tak ada uang untuk belanja harian. Sementara petani yang kehilangan lahan atau gagal panen akibat kekurangan air menghadapi hutang pupuk dan benih yang menumpuk.
Kedua, adanya beban struktural di level warga. Konflik agraria di Desa Pundenrejo adalah contoh klasik ketidakadilan struktural. Sekitar 7,3 hektare lahan yang sejak generasi kakek-nenek mereka digarap, berpindah tangan melalui rangkaian peristiwa pasca-1965, intervensi militer, dan akuisisi korporasi. Bagi 140 petani yang kini kehilangan tanah, dampaknya bukan hanya hilangnya sumber penghasilan tahunan, tetapi juga hilangnya warisan keluarga. Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menunjukkan, kasus serupa bukan satu-satunya di Pati pada 2022 terdapat setidaknya 4 konflik lahan aktif yang belum terselesaikan.
Krisis lingkungan menambah beban. Kekeringan Sungai Silugonggo, pertama dalam 71 tahun membuat ratusan nelayan dan petani di kecamatan Juwana, Pati, dan sekitarnya berhenti berproduksi. Menurut BPBD Pati, panjang sungai yang mengering mencapai 15 km, memutus akses air irigasi untuk ratusan hektare sawah.
Ketiga, adanya krisis kepemimpinan. Keputusan Bupati yang awalnya menantang warga untuk “mengerahkan 50 ribu orang” menciptakan jarak psikologis antara pemimpin dan rakyat. Pembatalan kebijakan PBB setelah intervensi Presiden Prabowo Subianto menunjukkan bahwa akuntabilitas politik Bupati lebih banyak bergantung pada tekanan vertikal dari pusat ketimbang dialog horizontal dengan konstituen atau warganya.
Tuntutan pengunduran diri Bupati adalah isyarat bahwa kontrak sosial telah retak. Dalam teori politik, ini menandakan legitimacy crisis, yakni ketika otoritas formal masih ada, tapi kepercayaan publik sudah runtuh.
Keempat, identitas kultural yang terancam. Semboyan Bumi Mina Tani adalah kebanggaan Pati. Namun, kenyataannya para petani kehilangan tanah, nelayan tak bisa melaut, dan harga-harga naik, membuat slogan itu terdengar seperti ironi yang getir. Dalam perspektif kultural, ini adalah krisis makna, bahwa simbol daerah tidak lagi mencerminkan realitas kehidupan warganya.
Peribahasa rendeng raiso ndodok, ketigo raiso cewok adalah kritik sosial. Ia menandakan siklus penderitaan warga yang terus menerus dan, dalam konteks ini, meski kebijakan dan kepemimpinan itu telah berganti.
Kombinasi krisis membentuk badai perlawanan yang sempurna. Ia tidak akan reda dengan satu keputusan pembatalan kebijakan, karena sumbernya terhubung dalam jejaring ekonomi-politik-kultural yang kompleks. Jika Pati ingin keluar dari pusaran ini, tata kelola harus bergeser dari memelihara simbolisme slogan ke substansi kebijakan, dari cara-cara reaktif ke tindakan proaktif, dan dari monolog kekuasaan ke dialog yang empatik dan terus menerus ke semua lapisan.
Pemerintah Kabupaten Pati butuh reformasi fiskal yang adil. Pajak disesuaikan dengan daya beli rakyat, dengan transparansi dalam pemanfaatan. Penyelesaian konflik agraria harus tegas dengan mengembalikan tanah atau beri kompensasi yang layak. Proyek infrastruktur harus diuji dampak lingkungannya dengan melibatkan warga, bukan hanya konsultan proyek. Dan terpenting, pemerintah harus membuka pintu dialog. Komunikasi ke banyak arah. Bukan semata-mata saat krisis, tetapi sebagai bagian dari tata kelola sehari-hari. Warga Pati sudah membuktikan kemampuannya mengorganisir diri. Pemerintah seharusnya melihat ini bukan sebagai ancaman, melainkan niat baik menciptakan partisipasi yang adil.
Slogan Bumi Mina Tani jangan sampai jadi kalimat hiasan dalam pidato, baliho, spanduk dan gapura. Ia harus kembali jadi janji yang ditepati. Pembangunan yang meminggirkan petani dan nelayan adalah pengkhianatan terhadap identitas warga Pati. Jika Pati ingin keluar dari siklus rendeng raiso ndodok, ketigo raiso cewok, maka kebijakan harus lahir dari pemahaman mendalam atas tanah dan air yang menjadi sumber hidup warga. Sejarah mencatat, masyarakat Pati pernah menjadi tulang punggung pangan dan perikanan Jawa Tengah. Potensi itu belum hilang. Tapi ia akan terkubur jika kebijakan lebih berpihak pada pendapatan kas jangka pendek ketimbang keberlanjutan hidup warga.
Gelombang protes ini mungkin akan surut, sebagaimana semua aksi massa pada akhirnya menemukan titik lelahnya. Namun, jangan sampai perlawanan berakhir jadi konten berita, melainkan ingatan kolektif bahwa rakyat Pati membangun keseimbangan kekuasaan. Bersuara lantang menuntut kebijakan berempati demi kemakmuran bersama. Ingatan perlawanan ini jadi benih bagi tata kelola baru, jika para pemimpinnya berani belajar dari pengalaman.
Abi S Nugroho, pengurus Lakpesdam PBNU
Terpopuler
1
5 Poin Maklumat PCNU Pati Jelang Aksi 13 Agustus 2025 Esok
2
Harlah Ke-81 Gus Mus, Ketua PBNU: Sosok Guru Bangsa yang Meneladankan
3
Innalillahi, A'wan Syuriyah PWNU Jabar KH Awan Sanusi Wafat
4
RMINU Jakarta Komitmen Bentuk Kader Antitawuran dengan Penguatan Karakter
5
Jumlah Santri Menurun: Alarm Pudarnya Pesona Pesantren?
6
Pesantren Jawaban Kebutuhan Pendidikan Karakter dalam Dinamika Kota Global
Terkini
Lihat Semua