Opini

Jumlah Santri Menurun: Alarm Pudarnya Pesona Pesantren?

NU Online  ·  Senin, 11 Agustus 2025 | 14:15 WIB

Jumlah Santri Menurun: Alarm Pudarnya Pesona Pesantren?

Para santri di sebuah pondok pesantren (Foto: LP Ma'arif Jateng)

Kabut tipis menyelimuti halaman sebuah pesantren di Jawa Timur pada pagi itu. Di antara suara ayam berkokok dan burung yang berkicau, terdengar lantunan ayat-ayat Al-Qur’an dari surau kecil di pojok kompleks. Santri-santri bersarung, sebagian memanggul kitab kuning yang lusuh di sudutnya. Seorang guru berpeci hitam menatap mereka dengan senyum, siap akan memulai pengajian sorogan pagi itu.


Pemandangan semacam itu biasa ditemukan di banyak pesantren. Dari Aceh hingga Papua, jumlah pesantren meningkat pesat dalam dua dekade terakhir. Data Kementerian Agama pada 2024 mencatat 42.433 pesantren yang tersebar di seluruh provinsi. Angka itu bukan sekadar statistik; ia mencerminkan betapa pesantren telah menjadi salah satu pilar utama pendidikan di negeri ini. 


Survei Alvara Research pada tahun yang sama menunjukkan bahwa 63,2 persen warga Nahdlatul Ulama (NU) berminat memondokkan anaknya. Minat sebesar itu memberi harapan bahwa pesantren tetap relevan, bahkan di tengah derasnya arus globalisasi.


Namun, di balik geliat itu, sebuah berita yang kurang baik muncul. Sejumlah indikasi menunjukkan pada tahun 2025 penerimaan santri baru di berbagai pesantren justru menurun, meski baru sebatas indikasi yang perlu didalami kebenarannya, tapi fenomena ini perlu diantisipasi dengan serius.


Apa penyebabnya?

 

Jawabannya tentu tidak tunggal. Ada perubahan pola pikir orang tua, ada bayang-bayang isu kekerasan yang mencoreng citra, dan ada persaingan antar-lembaga pendidikan yang kian sengit.


Dulu, nama besar seorang kiai pengasuh menjadi faktor utama dalam memilih pesantren. Karisma, sanad keilmuan yang terjaga, dan reputasi moral menjadi jaminan bagi orang tua. Mereka percaya, dengan menitipkan anak kepada kiai tertentu, bukan hanya ilmu yang akan diperoleh, tetapi juga keberkahan. 


Kini, di tengah derasnya arus informasi dan meningkatnya mobilitas sosial, orang tua memiliki pertimbangan yang lebih beragam. Mereka membandingkan fasilitas, kurikulum, dan peluang masa depan anak. Laboratorium sains, akses internet cepat, ekstrakurikuler kreatif, hingga penguasaan bahasa asing menjadi faktor penentu. Figur kiai tetap penting, tetapi bukan lagi satu-satunya alasan.


Perubahan ini beriringan dengan hantaman isu kekerasan dan pelecehan seksual di beberapa pesantren yang menjadi sorotan media nasional. Meski hanya segelintir kasus, dampaknya menyentuh reputasi seluruh ekosistem pesantren. 


Dalam dunia yang serba cepat menyebarkan informasi, satu kasus bisa meruntuhkan kepercayaan publik yang dibangun puluhan tahun. Sekali retak, memulihkannya tidak cukup dengan penjelasan, tetapi membutuhkan langkah konkret. Sistem perlindungan santri harus dibangun, saluran pengaduan yang aman perlu disiapkan, dan mekanisme penanganan yang berpihak pada korban wajib ditegakkan. 


Di sinilah pesantren diuji, apakah nilai-nilai akhlak yang diajarkan di kelas benar-benar tercermin dalam budaya internalnya.


Sementara itu, persaingan memperebutkan calon santri semakin ketat. Tidak hanya antarpesantren, tetapi juga dengan sekolah Islam terpadu, madrasah unggulan, bahkan sekolah umum yang menambahkan porsi pendidikan agama. 


Di era ini, reputasi masa lalu saja tidak cukup. Pesantren yang ingin tetap eksis harus memikirkan strategi komunikasi publik. Branding dan pemasaran yang bijak bukanlah hal tabu, melainkan kebutuhan. Cerita tentang prestasi santri, kisah inspiratif alumni, program unggulan, dan kehidupan pesantren yang dinamis perlu dikisahkan kepada publik. Media sosial, kanal YouTube, dan podcast bisa menjadi jendela dunia untuk menampilkan wajah pesantren yang inspiratif.


Transformasi yang dibutuhkan bukanlah mengganti akar dengan sesuatu yang asing, melainkan merawat akar sambil menumbuhkan sayap. Nilai-nilai luhur seperti kedisiplinan, kemandirian, kesederhanaan, dan rasa kebersamaan tetap menjadi fondasi. 


Namun, pesantren juga perlu membuka diri terhadap inovasi. Kurikulum yang ada harus menggabungkan keunggulan kajian kitab kuning dengan literasi digital, bahasa asing, kewirausahaan, dan keterampilan abad 21. Fasilitas fisik seperti ruang kelas yang nyaman, asrama yang bersih, perpustakaan digital, laboratorium sains, dan lapangan olahraga yang memadai bukanlah kemewahan, melainkan syarat untuk bertahan di tengah persaingan.


Tata kelola pesantren juga memerlukan pembaruan. Pengelolaan anggaran yang lebih transparan, evaluasi kinerja pengajar yang terukur, serta perencanaan jangka panjang yang matang akan memberi stabilitas dan kredibilitas. Manajemen modern tidak berarti menghilangkan nuansa kekeluargaan yang menjadi ciri khas pesantren, tetapi melengkapinya dengan sistem yang rapi dan dapat dipertanggungjawabkan.


Memang, transformasi seperti ini tidak mudah. Banyak pesantren yang masih terbatas dalam sumber daya, baik finansial maupun SDM. Tidak semua bisa melakukan perubahan besar sekaligus. Tetapi langkah kecil yang konsisten bisa membawa perubahan signifikan. Memperbaiki fasilitas dasar, memperluas jejaring kemitraan dengan lembaga pendidikan lain, atau mengundang tenaga ahli untuk memberikan pelatihan adalah langkah awal yang realistis.


Indonesia memiliki modal sosial yang luar biasa. Dengan populasi Muslim terbesar di dunia, pesantren memiliki panggung besar untuk menunjukkan perannya. Jika pesantren mampu memadukan kekuatan tradisi dan inovasi, ia tidak hanya akan menjadi pilihan utama warga NU, tetapi juga masyarakat luas. Di masa depan, pesantren bisa tampil sebagai lokomotif pendidikan yang melahirkan generasi berkarakter, cerdas, dan siap menghadapi tantangan global.


Bayangkan sebuah pesantren yang pada pagi hari santrinya mengaji kitab klasik, siang mengadakan eksperimen sains, sore berlatih bahasa asing, dan malam berdiskusi tentang etika teknologi. Di situ, nilai spiritual, pengetahuan modern, dan akhlak mulia bersinergi membentuk pribadi utuh. Itulah gambaran pesantren masa depan—pesantren yang menyalakan lentera nilai di tengah gelapnya zaman, sekaligus memberi sayap bagi santrinya untuk terbang menembus cakrawala.


Transformasi pesantren adalah keniscayaan. Ia bukan sekadar strategi untuk memenangkan persaingan merebut calon santri, tetapi amanah zaman untuk memastikan pesantren tetap menjadi mercusuar peradaban. Seperti dikatakan KH Hasyim Asy’ari lebih dari seabad lalu, "Bangsa tidak akan jaya jika warganya bodoh. Hanya dengan ilmu suatu bangsa menjadi baik".

 

Hasanuddin Ali, Founder and CEO Alvara Research Center