Balitbang Kemenag RISET BALITBANG KEMENAG

Nilai Didaktis pada Legenda Sangiang Serri Masyarakat Bugis

Sen, 7 September 2020 | 10:00 WIB

Nilai Didaktis pada Legenda Sangiang Serri Masyarakat Bugis

Masyarakat suku Bugis. (Foto: Indephedia)

Sebuah legenda lahir bukan dalam kekosongan, namun ada nilai edukatif yang terkandung di dalamnya. Nilai-nilai tersebut bermanfaat bagi kehidupan setiap individu maupun masyarakat. Legenda Sangiang Serri adalah salah satu dari sekian ribu legenda yang bertebaran di belahan bumi. Sayangnya, keberadaan legenda ini tidak lagi dipandang sebagai sebuah produk budaya yang bernilai sehingga cenderung diabaikan oleh masyarakat pendukungnya.

 

Untuk mengungkapkan kembali nilai-nilai yang terdapat pada legenda Sangiang Serri, Balai Litbang Agama (BLA) Makassar Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI pada tahun 2019 mengadakan penelitian Nilai-nilai Didaktis dalam Ritual dan Legenda Sangiang Serri.

 

Para peneliti mendasarkan penelitian pada teori tradisi lisan dan ritual yang masing-masing merujuk pada pendapat Amin Sweeney dan Turner. Ritual, menurut Turner (1967: 93) adalah perilaku dan ucapan tertentu pada kesempatan tertentu di luar rutinitas biasa yang didasari atas keyakinan religius masyarakat terhadap kekuatan-kekuatan supranatural


Data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh secara lisan di lapangan yang bersumber dari penuturan beberapa informan yang ditetapkan. Pengumpulan data penelitian dilakukan melalui dua tahap, yaitu pengumpulan data pustaka, kemudian pengumpulan data lapangan. Teknik yang digunakan dalam proses pengumpulan data adalah perekaman dan pencatatan. Adapun lokasi penelitian adalah Desa Mamminasae, Kecamatan Lamuru, Kabupaten Bone.


Temuan
Dalam kehidupan masyarakat Bugis agraris di Desa Mamminasae, ritual maddoja bine adalah sebuah ritual pertanian yang penyelenggaraannya saban akan memasuki musim tanam padi atau sebelum turun sawah. Ritual ini dilaksanakan dalam tiga tahap. Pertama, persiapan dengan mencari hari baik dan menyiapkan keperluan pelaksanaan ritual.

 

Kedua, pelaksanaan, dengan menyiapkan makanan ritual (pappanre bine) berupa sokkopute dan sokkobolong, telur, serta palopo (gula merah dimasak dengan santan hingga mengental) di atas talam. Sanroase lalu memulai ritual dengan memohon berkat Dewata Seuwae. Setelah itu, pelantunan sureq Meong Mpalo Karellae yang berisi kisah tentang Sangiang Serri. Ketiga, penutupan, berakhirnya pembacaan sureq dan benih padi siap dibawa ke persemaian kala fajar mulai menyingsing.


Para peneliti menyebutkan, beberapa nilai didaktis yang terdapat dalam ritual adalah bijaksana, menghargai tradisi, membangun sikap kebersamaan dan kekeluargaan, memelihara dan menjaga alam, dan pandai bersyukur. Adapun nilai-nilai didaktis dalam legenda Sangiang Serri adalah mengetahui hal baik dan hal buruk, tidak takabur, sabar, dan tidak pelit.


Rekomendasi
Ritual dan legenda Sangiang Serri yang dihadirkan dalam kelompok masyarakat Bugis agraris di Maminasae adalah sebuah komunikasi yang mengandung pesan-pesan spiritual, moralitas, dan ekologi. Ini merupakan salah satu contoh dari banyaknya tradisi masyarakat Bugis yang mengandung nilai-nilai pendidikan yang baik diterapkan kepada anak-anak. 

 

Menurut para peneliti, jika dikaji secara cermat, kita akan tercengang betapa luar biasanya orang-orang tua dulu mengemas ajaran-ajarannya untuk ditanamkan kepada anak-anaknya. Mereka tidak memilih cara-cara doktrinasi, tetapi melalui laku ritual ataupun bertutur dengan cara-cara yang bernilai rasa tinggi. Demikianlah seharusnya pendidikan moral dan budi pekerti diberikan kepada anak-anak sehingga nantinya akan terbentuk karakter-karakter yang positif pada diri anak.

 


Penulis: Kendi Setiawan

Editor: Musthofa Asrori