Balitbang Kemenag

Akulturasi Keagamaan Suku Tionghoa di China Benteng Tangerang

Kam, 17 Juni 2021 | 02:00 WIB

Terdapat beberapa model adaptasi suku Tionghoa dalam konteks budaya dan agama di Indonesia. Pertama, model membangun kesadaran budaya dan semangat nasionalisme ke-Indonesia-an dan dalam waktu yang sama mereka bertahan dengan agama mereka, Konghucu.

 

Kedua, melebur dengan budaya dan nasionalisme ke-Indonesia-an dan diikuti dengan konversi keagamaan mereka pada agama mayoritas di Indonesia, yaitu Islam. Ketiga, menjadi warna tersendiri atau tetap bertahan dengan idetitas budaya dan mencoba menjadi bagian dari keragaman kesukuan, budaya dan agama di Indonesia.

 

Demikian temuan penelitian oleh Elma Haryani yang tertuang dalam artikel Masyarakat Cina Benteng Kota Tangerang dan Model Ketahanan Budaya Keagamaan. Artikel dimuat dalam Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 18, No. 2, 2020 yang diterbitkan Balitbang Diklat Kemenag tahun 2020. 

 

Elma juga mengungkapkan, masyarakat China Benteng mulai menempati lokasi bantaran Sungai Cisadane kurang lebih sejak tahun 1830. Mereka dikenal sebagai masyarakat dengan taraf kehidupan yang rendah akan tetapi setia dalam melestarikan adat-istiadat dan tradisi leluhur mereka, bahkan mereka juga mau berdialog dengan budaya lokal.

 

"Berbagai peristiwa politik di tanah air yang melibatkan mereka perkembangan pembangunan di Indonesia, kemajuan pendidikan dan teknologi telah membawa perubahan pada masyarakat China Benteng. Namun, perubahan yang terjadi tersebut tidak serta merta menghabisi budaya dan tradisi China Benteng," tulis Elma Haryani.

 

Selain itu, ada penemuan terbaru bahwa suku Tionghoa yang tinggal di Kota Tangerang hampir seperempat dari keseluruhan jumlah penduduk Kota Tangerang. Banyaknya warga Tionghoa di Tangerang ini telah memunculkan fenomena bahwa Tangerang merupakan salah satu daerah konsentrasi suku Tionghoa di Indonesia.

 

Keberadaan etnis Tionghoa di Tangerang telah menyebar sedemikian rupa. Beberapa keturunan Tionghoa bertebaran di Tangerang seperti Teluk Naga, Mauk, Pasar Kemis, Sepatan, Kresek. Mereka hadir ke wilayah itu melalui jalur sungai. Sedangkan mereka yang datang dari daratan (Jakarta) kebanyakan tinggal di Kecamatan-kecamatan seperti Tangerang, Cipondoh, Batu Ceper, Cikupang, Ciledug, Cipondoh, Serpong, Pondok Aren, Curug, Jatiuwung, Ciputat, Legok, Tigaraksa dan Balaraja.

 

Peneliti menyebutkan dalam literatur lain disebutkan, mereka datang bertepatan dengan kedatangan ekspedisi Panglima Cheng Ho ke Nusantara. Disebutkan dalam buku profil Kota Tangerang bahwa sebuah perahu datang dari China membawa sekitar 100 orang dan terdampar di muara Sungai Cisadane, kedatangan warga Tionghoa besar-besaran terjadi lagi ketika di negara China mengalami revolusi tahun 1920-1930. Mereka datang secara bergelombang meninggalkan negara China dan mendatangi daerah-daerah tertentu di Tangerang.

 

Hal ini diketahui bahwa, mereka tinggal di tiga gang, yang sekarang dikenal sebagai Gang Kalipasir, Gang Tengah (Cirarab), dan Gang Gula (Cilangkap). Pada akhir tahun 1800-an, sejumlah orang China dipindahkan ke kawasan Pasar Baru dan sejak itu mulai menyebar ke daerah-daerah lainnya. Pasar Baru pada tempo dulu merupakan tempat transaksi (sistem barter) barang orang- orang China yang datang lewat sungai dengan penduduk lokal.

 

Disebutkan juga, warga China Benteng memiliki keyakinan yang beragam, seperti Buddha, Konghucu, dan Tao. Terdapat pula berbagai rumah ibadah seperti kelenteng, vihara, demikian juga masjid. Dari jumlah penduduk, suku Tionghoa di Sukasari berjumlah 30 persen dari total jumlah penduduk kecamatan itu 19.279 jiwa pada tahun 2010.

 

Menariknya peneliti juga menemukan, bahwa dengan seiring dengan perjalanan waktu, komunitas Tionghoa ini mencoba membaur dengan orang lokal dan sebagian melakukan perkawinan dengan orang lokal. Maka kemudian lahirlah generasi China Benteng yang berkulit hitam yang sedikit membedakan dengan keturunan Tionghoa lainnya seperti Tionghoa totok yang berkulit putih.

 

Percampuran warga Tionghoa dengan lokal menghasilkan budaya unik. Saat pernikahan misalnya, perempuan Betawi biasanya menggunakan kembang goyang, sedangkan lelaki Tionghoa memakai topi dengan rambut yang diikat. Selain itu percampuran budaya tersebut melahirkan seni budaya perpaduan seperti cokek, musik gambang kromong, dan lontong cap gomeh.

 

Peneliti menggunakan pendekatan etnografis. Pendekatan ini diharapkan memperoleh deskripsi yang memadai sekaligus tafsir serta makna yang mendalam untuk memahami keberadaan komunitas China Benteng. Komunitas China Benteng dipilih sebagai kasus mengingat komunitas ini mempunyai karakteristik khusus yaitu kampung tempat konsentrasi komunitas Tionghoa yang sudah berjalan berabad-abad. Komunitas China Benteng juga merupakan simbol eksistensi keturunan Tionghoa di Kota Tangerang dan sekitarnya.

 

Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk melihat secara proporsional bagaimana sebaiknya bangsa Indonesia memandang kehadiran suku Tionghoa dalam konteks kebudayaan di Indonesia. Tujuannya untuk melacak konstruksi akulturasi keagamaan yang terjadi antara suku Tionghoa dan kelompok sosial lain di China Benteng Tangerang, Banten. Kajian ini penting untuk memahami keberadaan suku Tionghoa yang belakangan ini sering disorot sebagai stimulan baru sekaligus ancaman baru bagi sebagian orang Indonesia.

 

Penulis: Rahmad Salam
Editor: Kendi Setiawan