Opini

Virus Corona dan Pembelajaran Kaidah Fiqih bagi Publik

Sel, 21 April 2020 | 14:00 WIB

Merebaknya wabah virus Corona yang hingga kini di Indonesia telah menelan korban jiwa lebih dari 590 orang membawa hikmah tersendiri bagi publik berkaitan dengan pembelajaran kaidah fiqih. Hal ini disebabkan imbauan peniadaan shalat Jumat di masjid dan shalat maktubah berjamaah untuk sementara waktu sebagaimana difatwakan para ulama terkemuka mendapat tanggapan pro dan kontra di tingkat bawah atau umat. Pro dan kontra itu memunculkan artikel-artikel yang mengulas dan mendukung fatwa ulama tersebut.

 

Pada umumnya kaidah fiqih hanya dipelajari oleh mereka yang menekuni ilmu agama di lembaga-lembaga tertentu seperti pesantren, madrasah, atau prodi studi Islam di PTKI (Perguruan Tinggi Keagamaan Islam ) seperti UNU, IAIN, UIN, dan sebagainya. Namun dengan dipublikasikannya artikel-artikel yang mengulas dan mendukung fatwa ulama tersebut lewat berbagai media terutama media sosial menjadikan publik mengetahui setidaknya tiga kaidah fiqih yang mendasari fatwa ulama itu. Ketiga kaidah itu adalah sebagai berikut:


Pertamaدَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ (Upaya menolak kerusakan harus didahulukan daripada upaya mengambil kemaslahatan). 
 

Kaidah ini digunakan sebagai argumentasi dalam fatwa ulama dan artikel-artikel yang mengulas dan mendukungnya seperti dalam fatwa yang dikeluarkan oleh PBNU, MUI dan Ikatan Ulama Besar al-Azhar Kairo Mesir dan sebagainya. Fatwa itu sebagaimana disebutkan di atas berisi imbauan umat Islam meniadakan shalat Jumat di masjid untuk sementara waktu dan mengggantinya dengan shalat dzuhur di rumah. Argumentasinya adalah bahwa upaya melindungi keselamatan jiwa manusia agar terhindar dari wabah virus Corona yang sangat berbahaya itu harus diutamakan daripada upaya untuk terlaksananya kewajiban shalat Jumat.

 

Kedua hal tersebut, yakni menghindari wabah virus Corona demi keselamatan jiwa dan terlaksananya perintah shalat Jumat di masjid sama-sama merupakan perintah agama yang bertemu secara bersamaan dalam situasi yang sama sehingga menjadi dilema. Oleh karena itu harus ada solusi yang benar menurut syariat. Dalam situasi seperti ini upaya melindungi jiwa manusia harus diutamakan karena bersifat mendesak dibandingkan dengan pelaksanaan shalat Jumat yang bisa diganti dengan shalat dzuhur karena terhalang adanya uzur, yakni ancaman wabah virus Corona itu sendiri yang sangat berbahaya.

 

Kaidah ini sangat penting untuk dipahami oleh publik dan dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari berkaitan dengan urusan-urusan ibadah mahdhah maupun ghairu mahdhah termasuk dalam urusan duniawi seperti sosial, ekonomi, hingga politik. Contoh lain, jika seseorang menghadapi dua masalah sekaligus seperti antara tuntutan memperbaiki rumah yang hampir roboh dengan keinginan beribadah umrah ke Tanah Suci. Dalam situasi seperti ini tentu saja upaya memperbaiki rumah yang hampir roboh itu wajib didahulukan karena mendesak dan bisa menimbulkan korban jiwa bagi seluruh penghuni rumah daripada berangkat ke Tanah Suci yang hukumnya sunnah dan bisa diundur waktunya.


Keduaلَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ (Tidak boleh melakukan sesuatu yang membahayakan diri sendiri dan orang lain) 

 

Kaidah ini juga digunakan sebagai salah satu landasan argumentasi dalam fatwa ulama dan artikel-artikel yang mengulas dan mendukungnya. Kaidah ini mengandung maksud bahwa seseorang harus berhati-hati baik untuk kepentingan diri sendiri maupun orang lain. Dalam kaitan dengan wabah virus Corona orang sehat tidak boleh dekat-dekat dan melakukan kontak langsung dengan orang lain yang telah terjangkiti virus itu karena bisa membahayakan dirinya sendiri. Disamping itu kaidah ini juga mengandung maksud bahwa orang yang sudah terjangkiti virus Corona haram hukumnya menghadiri shalat Jumat di masjid karena bisa membahayakan orang-orang yang telah melakuan kontak langsung dengannya.

 

Kaidah ini juga sangat penting untuk dipahami oleh publik dan dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari berkaitan dengan urusan-urusan ibadah mahdhah maupun ghairu mahdhah termasuk dalam urusan duniawi seperti sosial, ekonomi hingga politik. Contoh lain adalah ketika berkendara atau mengemudi. Setiap orang yang mengendarai sepeda motor atau bahkan sepeda onthel atau mengemudi mobil, bus, atau truk harus berhati-hati dalam melaju kendaraannya. Ia tidak boleh mengendara atau mengemudi dengan kecepatan sangat tinggi terutama saat lalu lintas padat atau sedang turun hujan deras sebab hal ini bisa membahayakan diri sendiri, misalnya jatuh, selip atau rem blong. Juga ia bisa membahayakan orang lain karena bisa menabraknya dan mengancam keselamatan jiwa kedua belah pihak.

 

Ketiga, المَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ (Kesulitan menyebabkan adanya kemudahan)

 

Kaidah ini juga digunakan sebagai salah satu landasan argumentasi dalam fatwa ulama dan artikel-artikel yang mengulas dan mendukungnya. Kaidah ini mengandung maksud bahwa kesulitan yang ditimbulkan oleh suatu keadaan tertentu bisa menjadikan seseorang mendapatkan kemudahan hukum. Contoh konkret adalah di tengah cengkraman wabah virus Corona ini berkerumun dalam jumlah besar dan saling berdekatan tidak dianjurkan atau dilarang karena membahayakan keselamatan jiwa. Dalam istilah medis ini disebut social distancing.

 

Shalat Jumat di masjid sulit dihindarkan dari adanya kerumunan banyak orang karena shalat wajib 2 rakaat di siang hari ini justru mengharuskan adanya jumlah orang tertentu yang menurut Imam Syafi’i minimal 40 orang. Ketentuan ini berbenturan dengan aturan social distancing di tengah ancaman wabah virus Corona sehingga menimbukan dilema apakah akan mengutamakan social distancing atau mengutamakan shalat Jumat.

 

Dalam situasi seperti itu, mematuhi aturan social distancing demi menghindari bahaya yang dapat mengancam jiwa harus diutamakan sehingga kewajiban shalat Jumat itu sendiri bisa ditiadakan. Alasannya dalam situasi sulit atau bahaya seperti ini kita mendapatkan kemudahan atau rukhshah (keringanan hukum) dari Allah subhanahu wata’ala, yakni diperbolehkan tidak melaksanakan shalat Jumat namun harus menggantinya dengan shalat dzuhur di rumah.

 

Kaidah ini juga sangat penting untuk dipahami oleh publik dan dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari berkaitan dengan urusan-urusan ibadah mahdhah maupun ghairu mahdhah termasuk dalam urusan duniawi seperti sosial, ekonomi hingga politik. Contoh lain adalah orang sakit luka di wahjahnya dan oleh dokter dilarang terkena air sebab dikhawatirkan akan memperparah sakitnya atau setidak-tidaknya akan menghambat proses penyembuhan. Dengan adanya larangan itu, maka orang tersebut mendapatkan kemudahan hukum atau rukhshah untuk tidak berwudhu ketika hendak melaksanakan shalat tetapi ia harus bertayamun agar dapat memenuhi syarat sahnya shalat.

 

Kemudahan hukum atau rukhshah yang diberikan Allah merupakan salah satu wujud kasih sayang Allah kepada para hamba-Nya. Rukhshah itu sendiri hukumnya bermacam-macam dari wajib, sunnah, mubah hingga makruh. Rukhshah yang terkait dengan ancaman wabah virus Corona untuk daerah yang sudah dinyatakan zona merah oleh pihak yang berwenang hukumnya wajib. Karena bersifat wajib maka rukhshah dalam hal ini bukan lagi pilihan untuk dimanfaatkan atau tidak, tetapi sudah menjadi taklif (kewajiban) yang harus dilaksanakan demi menghindari bahaya yang mengancam keselamatan jiwa manusia karena menghindari bahaya itu sendiri hukumnya wajib.

 

Demkianlah tiga kaidah fiqih yang umum dijumpai dalam fatwa ulama dan artikel-artikel yang mengulas dan mendukung fatwa itu berkaitan dengan imbauan meniadakan shalat Jumat dan jamaah shalat maktubah di masjid untuk sementara watu selama masih ada ancaman nyata wabah virus Corona untuk daerah yang sudah dinyatakan zona merah. Ketiga kaidah tersebut sangat penting untuk diketahui dan dipahami oleh publik karena dapat diterapkan juga dalam kehidupan sehari-hari lepas dari persoalan wabah virus Corona. Inilah sisi lain, yakni sisi positif atau hikmah yang muncul dari kasus wabah virus Corona yang telah menjadi fenomena global di abad ini.

 

 

Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta.