Opini

Tentang Harta Karun Kerajaan Sriwijaya di Sekitar Karhutla

Sen, 7 Oktober 2019 | 14:00 WIB

Tentang Harta Karun Kerajaan Sriwijaya di Sekitar Karhutla

Salah satu penemuan pemburu harta karun Kerajaan Sriwijaya. (Foto: detikcom)

Di tengah hiruk-pikuk bencana asap yang diakibatkan kebakaran hutan dan lahan (karthutla) di sejumlah kawasan di provinsi Sumatera dan Kalimantan, masyarakat dihebohkan dengan beberapa jenis harta karun yang diduga sebagai peninggalan Kerajaan Sriwijaya di Sumatera Selatan. Harta karun tersebut bermunculan seiring dengan kebakaran hutan. Di antara peninggalan itu ialah manik-manik bahkan material logam berlapis emas.

Mengetahui material emas bermunculan di sekitar karhutla, masyarakat berbondong-bondong menggali harta karun secara ilegal bahkan menjualnya dengan harga Rp35 juta hingga Rp60 juta. Harta karun tersebut banyak terdapat di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Warga sekitar dibuat geger karena dengan menggali sedalam satu meter saja, material harta karun tersebut bermunculan.

Masyarakat Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, berbondong-bondong memburu harta karun di lahan bekas kebakaran hutan dan lahan. Menurut arkeolog, temuan itu memiliki nilai sejarah tinggi karena usianya bisa jadi sebelum masa Kerajaan Sriwijaya ada.

Tapi masyarakat pemburu harta karun, memilih untuk menjualnya ke toko emas demi mendapatkan uang kontan. Perbuatan tersebut menurut Kepala Balai Arkeologi Sumatera Selatan, Budi Wiyana dalam BBC Indonesia bisa berdampak menghilangkan jejak-jejak masa lalu, karena terputusnya mata rantai sejarah. Mata rantai ilmu pengetahuan itu bisa tidak nyambung, putus, katanya.

Kerajaan Sriwijaya diyakini menjadi kerajaan terbesar di Nusantara yang menguasai perdagangan di kawasan Asia Tenggara. Bukti awal keberadaan kerajaan ini berdasarkan catatan seorang biksu asal Tiongkok, I Tsing pada 671 Masehi. Sriwijaya berkuasa hingga abad ke-10. Kemunculan Kerajaan Sriwijaya ini memiliki hubungan dengan Kerajaan Melayu Funan di delta Sungai Mekong. Kerajaan Funan merupakan kerajaan terkuat di Asia Tenggara pada awal Masehi hingga abad ke-6 masehi.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Balai Arkeologi Sumatera Selatan, tiga Kecamatan di Kabupaten OKI, yaitu Karang Agung, Selapan dan Cengal merupakan kawasan permukiman serta pelabuhan pada masa kerajaan Sriwijaya. Sehingga, tiga lokasi itu banyak ditemukan perhiasan seperti emas, manik-manik maupun logam mulia.

Arkeolog dari Balai Arkeologi Sumatera Selatan, Retno Purwanti seperti dilansir Kompas mengatakan, fenomena perburuan harta karun tersebut telah berlangsung sejak kurun waktu satu bulan terakhir. Berbagai macam benda bersejarah yang selama ini terpendam di dalam lahan gambut muncul ke permukaan karena lokasi tersebut terbakar.

Lahan gambut pun menjadi tolok ukur peristiwa sejarah yang bisa dirangkai untuk mencari tahu jejak kerajaan Sriwijaya. Semakin dalam gambut maka akan semakin lama pula nilai sejarah benda atau perhiasan yang ditemukan.
 
Dari sumber lainnya, Retno dalam laporan jurnalistik Kompas yang dibukukan, Jelajah Musi: Eksotika Sungai di Ujung Senja (2010) menerangkan bahwa melalui identifikasi yang ia lakukan atas benda-benda peninggalan Sriwijaya seperti botol merkuri, uang timah, uang tembaga, arca, dan perhiasan emas-perak; semuanya menunjukkan kemajuan perdagangan Sriwijaya sebagai penghasil emas.

“Emas tersebut mungkin saja diperdagangkan secara lintas wilayah. Beberapa mungkin tenggelam di dasar Sungai Musi karena (kapal) karam atau ada alasan lain,” ujar Retno. Maka, kisah Sulaiman sedikit banyak dapat dibuktikan kebenarannya karena ia mencatatkan hubungan seputar emas dan peradaban sungai di Sribuza (Sriwijaya).

Kerajaan Sriwijaya yang didirikan sekitar abad ke-7 M merupakan sebuah kesatuan politik bersifat maritim. Kuasa hegemoninya yang turut mencakup wilayah Melayu Semenanjung menunjukkan kemampuan militer unggul. Sehingga kerajaan ini sempat berhadapan dengan kekuatan politik yang kuat di Jawa yakni Kerajaan Medang seperti yang terungkap dari Prasasti Anjuk Ladang bertarikh 937 M. Perseteruan ini disebabkan persaingan menguasai jalur perdagangan di Asia Tenggara.

Lebih luas dari lingkup Nusantara maupun Asia Tenggara, Kerajaan Sriwijaya turut menjalin hubungan dengan Kekhalifahan Islam di Timur Tengah yakni Bani Umayyah. Surat pertama yang dikirimkan oleh Sriwijaya kepada Khalifah Muawiyah (661-680 M) terdapat dalam sebuah diwan (arsip) kerajaan oleh Abd Al-Malik Ibn Umayr. Isi dari pembukaannya berbunyi, “Dari Raja Al-Hind yang kandang binatangnya berisikan seribu gajah, (dan) istananya terbuat dari emas dan perak.” Sriwijaya kemudian dikenal sebagai Sribuza atau Zabag dalam sumber Arab.

Tradisi surat-menyurat dalam dunia kerajaan memang kerap ditemukan penggunaan bahasa hiperbola (dibesar-besarkan). Tujuan dari pemakaian bahasa seperti itu tidak lain adalah untuk menimbulkan rasa kagum dari negara sahabat atas apa yang dimiliki oleh kerajaan itu sendiri. Sederhananya, belum tentu Khalifah Muawiyah akan memeriksa langsung keadaan di Sriwijaya mengenai “istananya (Raja Sriwijaya) yang terbuat dari emas.”

Sriwijaya yang kaya akan emas akhirnya dicatatkan oleh seorang pedagang Arab bernama Sulaiman sekitar tahun 851 M. Sulaiman mencatatkan bahwa Maharaja Zabag yang istananya menghadap talag (kata talag mengacu kepada Muara Sungai sebagaimana yang ada di Tigris, sungai yang mengalir antara Baghdad dan Bashrah di Irak). Talag itu memiliki sebuah danau kecil sebagai tempat dimana para pelayan raja akan melemparkan batangan-batangan emas setiap paginya.

Pada saat air pasang, air danau akan menutupi batangan emas yang ada di talag. Sedangkan saat sungai surut, batangan emas itu akan muncul dan berkilauan oleh sinar matahari. Saat raja mangkat, batangan emas itu akan dihitung dan dilebur, untuk kemudian dibagikan kepada para keluarga kerajaan laki-laki dan perempuan, kepada para pejabat sesuai pangkatnya. Sisanya akan dibagikan kepada orang-orang miskin dan yang kurang beruntung. Anthony Reid dalam Witnesses to Sumatra, A Travellersʻ Anthology (1995) menjelaskan bahwa emas yang dimaksud oleh Sulaiman itu berasal dari pegunungan Bukit Barisan.

Penulis: Fathoni Ahmad
Editor: Abdullah Alawi