Opini

Tarikan Budaya dan Islam di Banten

Sel, 11 Februari 2020 | 03:00 WIB

Tarikan Budaya dan Islam di Banten

Situs Banten lama. (Foto: Banten News)

Oleh Akhmad Basuni

Sosiolog kenamaan Clifford Geertz menyebut Islam Jawa sebagai Islam pinggir. Geertz bicara demikian karena tolak ukurnya Islam fundamentalis dalam hal ini Saudi Arabia sebagai representasi. Jika sebelumnya Geertz mengkaji tradisi spiritual Islam al-Hallaj, Jalaluddin Rumi, pun Al-Ghazali. Tentu tidak menyimpulkan Islam  Jawa  Islam yang melunak kasarnya Islam yang mengalah. Dari itu konklusi yang dibangun oleh Clifford Geertz banyak yang membantahnya. Semisal Mitsuo Nakamura dan Bambang Pranowo.

Kulturalisasi Islam  bukan berarti tercerabutnya ajaran pokok Islam Al-Qur'an juga As-Sunnah. Karena ajaran pokok Islam sampai kapanpun, dan dimana pun tidak akan berubah, itulah yang disebut syariat bersifat ajeg. Contohnya dalam hal ini rukun iman dan rukun Islam, bilangan rakaat shalat lima waktu. Kalangan awam kadang memandang fiqih sebagai syariat padahal tidak demikian. Fiqih muncul sebagai jawaban atas permasalahan yang timbul saat itu, dan di situ. Karena itu fiqih bersifat dinamis.

Kulturalisasi Islam, sebagai kekhasan dalam aspek furu’iyah, juga dalam hal budaya dan akulturasi. Dari itu memiliki ciri khas tersendiri, dan yang khas itu tidak bertentangan dengan wahyu ilahi yang suci pun hadits Nabi sebagai sumber hukum kedua.

Berangkat dari itu, di Banten ada tradisi "Panjang Mulud" dalam rangka mengenang kelahiran insan mulia nabi akhir zaman yaitu Nabi Muhammad Saw, sekaligus sebagai sedekah bagi sesama. Panjang mulud sesungguhnya kreativitas seni yang direstui ulama banten tempo dulu, sekaligus dikaitkan dengan religiusitas masyarakat. Menilik kulturisasi Islam di Banten tentu tidak hanya "Panjang Mulud", Banten juga terkenal dengan "budaya debusnya".

Dalam tirakat ngelmu, debus di sana terjadi perkawinan tradisi mistik lokal dalam hal ini hindu dengan tradisi mistik Islam seperti dalam sufism. Kembali kepada kulturisasi Islam, ia berkelindan dengan Islam Nusantara, yaitu mengaktualisasikan nilai-nilai luhur Islam dalam aras lokal.

Islam disajikan sebagai hidangan sekaligus sumber nilai. Dari itu mampu bargaining dengan kebaikan darimana pun asalnya. Ini yang disebut nilai universalitas Islam (rahmatan lil 'alamin). Dengan demikian, semangat berislam bersifat dinamis, tidak kaku dan rigid, memandang segala sesuatu hitam putih, halal, haram tanpa melihat kontekstualnya. Konsepsi ajaran Islam menyangkut ubudiyah sesungguhnya sudah selesai dibahas oleh imam mazhab.

Islam Nusantara dalam bermazhab tidak terikat satu mazhab, melainkan memadukan empat mazhab yang mu’tabar. Ini bisa disaksikan dalam penyelenggaraan jenazah di Nusantara dari memandikan, mengafani, menguburkan, menshalatkan, hingga tahlilan dan mengaji Al-Qur'an di makam jenazah.

Dalam prosesi penyelenggaraan jenazah jika diteliti, itu sesungguhnya perpaduan dasar asasi Islam dan ijtihad ulama, karena jika konteksnya Al-Qur'an dan sunnah saja,  tentu hanya terhenti sampai menguburkan. Tetapi, di Nusantara tidak berhenti sampai disitu ada tahlilan, membaca Al-Qur'an yang dihadiahkan pahalanya bagi jenazah. Ini dasarnya adalah atsar ulama, sebagai perbuatan baik, bukan mewajibkan. Semangat berislam itu mengedepankan esensial ajaran nilai Islam bukan terjebak pada simbolisme dan pada akhirnya lupa esensi Islamnya.

Kulturisasi Islam menyerap apa-apa yang dipandang baik, dari itu dikenal tembang ilir-ilir. Padahal tembang tadinya identik dengan budaya Jawa  yang Hindu, tetapi Wali Songo mengisi tembang dengan esensi ajaran Islam, menggunakan budaya sebagai instrumen, yaitu bahasa Jawa. Jika tembangnya langsung berbahasa Arab tentu orang Nusantara asing, dan sulit menerima pesan yang ingin disampaikan. Dari itu Islam di Nusantara pun Banten tetap eksis karena menyatu dengan budaya setempat, dan masyarakat merasa memiliki.

Kulturisasi Islam juga mempengaruhi kedudukan perempuan di ranah publik. Dari itu, Islam diaktualisasikan begitu kompatibel dengan semangat zaman. Tercatat Banten pelopor pertama memiliki Gubernur perempuan, dari kepeloporan Banten, banyak srikandi-srikandi Nusantara kini menjadi Bupati/Walikota di NKRI.

Teranyar tentang pengangkatan kaum hawa sebagai Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Jika melihat sejarah pelopor hakim perempuan di dunia Islam pada pengadilan agama itu dipelopori Indonesia, atas kebijakan Menteri Agama era ayahnya Gus Dur, KH Wahid Hasyim.

Atas kebijakan itu dibuka kran kebebasan bagi kaum hawa  untuk mengenyang pendidikan tinggi pada fakultas keagamaan. Salah satunya kaum hawa itu ibunda Gus Dur. Islam memberikan kebebasan dalam mengembangkan keilmuan dan pengetahuan sehingga wanita tidak hanya beraktivitas dalam zona domestik, "pupur", kasur dan sumur, sebagai mana di kebanyakan belahan bumi Arab. Wanita terkurung dalam tembok bahkan untuk menampakkan muka secara wajar pun tidak ada kesempatan.

Padahal sesungguhnya Al-Qur'an mewartakan, laki-laki dan perempuan yang melakukan amalan baik tidak ada perbedaan.Islam awal begitu familiar terhadap perempuan. Pada fase awal Islam tepatnya era Rasulullah Saw sayidatina Aisyah ra tampil sebagai perawi hadits, dan mentransmisikan ilmunya pada kaum Adam. Ribuan hadist bersanad pada Aisyah ra.

Perbedaan utama lelaki perempuan hanya secara kodrati. Perempuan memiliki rahim sementara lelaki tidak. Lelaki perempuan diciptakan oleh Allah untuk saling melengkapi bukan untuk menguasai salah satunya. Dalam konteks agama sama sekali tidak ada kewajiban seorang perempuan memasak , mencuci dan urusan pekerjaan rumah tangga lainnya. Demikianlah kulturisasi Islam mendialogkan agama dengan budaya, bukan saling menghilangkan satu sama lain. Wallahu a’lam
 

Penulis adalah Ketua Lakpesdam PCNU Kabupaten Tangerang, Banten