Opini

Jerat Hukum Para Pelengser Gus Dur (Bagian 1)

Jum, 24 Januari 2020 | 07:00 WIB

Jerat Hukum Para Pelengser Gus Dur (Bagian 1)

KH Abdurrahman Wahid. (Foto: Dok. Pojok Gus Dur)

Oleh Muhtar Said

Desember 2019, publik digemparkan dengan terbitnya buku berjudul “Menjerat Gus Dur”. Buku karangan Virdika Rizky Utama merupakan hasil riset yang dilakukan oleh Virdika dengan berdasar pada dokumen-dokumen yang ia gali dan kaji.

Tidak disengaja, Virdika menemukan dokumen penting yang isinya catatan tentang strategi pelengseran KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Presiden RI. Bahkan dalam catatan yang ia dapat ditemukan ada perencanaan untuk memborong dollar guna merekayasa kekacauan ekonomi, melakukan beberapa strategi fitnah dibungkus dengan penggiringan opini yang melibatkan para intelektual dan para pejabat negara.

Strategi pelengseran Gus Dur sebagai Presiden yang diangkat secara konstitusional, apabila dilihat dari kaca mata hukum maka para pelaku pelengser Gus Dur bisa terjerat hukum karena strateginya bisa masuk ke ranah hokum pidana yakni makar dan fitnah. Jika demikian maka, strategi pelengseran Gus Dur bisa dibilang sebagai sebuah kejahatan karena ada unsur makar dan fitnah yang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) masuk dalam bab kejahatan bukan pelanggaran.

Dalam Pasal 105 KUHP menyatakan, “Makar yang dilakukan dengan niat hendak membunuh Presiden atau Wakil Presiden atau dengan maksud hendak  merampas kemerdekaannya atau hendak menjadikan mereka itu tiada cakap memerintah, dihukum mati atau penjara seumur hidup atau penjara selama-lamanya 20 tahun”.

Apabila dokumen yang ditemukan oleh Virdika itu memang benar adanya, maka para pelengser Gus Dur bisa dikategorikan telah melakukan tindakan makar karena telah memenuhi unsur “hendak menjadikan mereka itu tiada cakap memerintah”.

Niat Jahat

Perlu diketahui dokumen yang ditemukan Virdika itu memberikan indikasi adanya niat untuk memberikan stigma Gus Dur sebagai Presiden tidak bisa menjalankan roda pemerintahan karena dirasa tidak mampu memulihkan perekonomian yang sudah terpuruk di era Presiden sebelumnya. Niat jahat itu dibuktikan dengan sebuah tindakan rekayasa pemborongan dollar yang dilakukan oleh para pelengser Gus Dur.

Berkaca pada tindak pidana makar yang dilakukan oleh Eggi Sudjana yang mengancam Presiden Joko Widodo melalui orasi, maka bisa dijadikan rujukan penting untuk menindak para pelengser Gus Dur. Tindakan Eggi Sudjana yang mengancam Joko Widodo apabila dilihat dalam suasana saat Eggi mengutarakan statemennya bisa dibilang adalah sikap reaksioner saja, dan juga suatu hal yang mustahil bagi Eggi Sudjana sebagai warga biasa bisa melakukan ancaman pembunuhan, meskipun demikian Eggi tetap bisa dijerat dengan perbuatan makar.

Apalagi dalam kasus pelengseran Gus Dur sebagai Presiden yang merencanakan pelengseran bukanlah orang “biasa” karena berada dalam kelompok pejabat negara, pejabat tinggi negara, pengusaha dan para intelektual yang mempunyai kekuatan politik dan ekonomi yang kuat tentu lebih mudah untuk dikenakan pasal makar.

Kemudian dalam hal fitnah, masyarakat terus digiring supaya menganggap Gus Dur telah menyalahgunakan kekuasaan sebagai Presiden untuk memperkaya diri sendiri caranya dikaitkan dengan kasus “Buloggate” dan “Bruneigate”. Dimana alasan inilah yang digunakan oleh para pelengser untuk memakzulkan Gus Dur dari jabatan sebagai Presiden.

Sedangkan sampai sekarang Gus Dur tidak pernah terbukti melakukan perbuatan tersebut. Sehingga para pelengser Gus Dur berpotensi untuk dijerat pidana melalui Pasal 311 ayat (1) KUHP yang bunyinya “Barangsiapa melakukan kejahatan menista atau menista dengan tulisan, dalam hal ia diizinkan untuk membuktikan tuduhannya itu, jika ia tidak dapat membuktikan dan jika tuduhan itu dilakukannya sedang diketahuinya tidak benar, dihukum karena salah memfitnah dengan hukum penjara selama-lamanya empat tahun.”

Dari uraian di atas sudah bisa ditarik benang merahnya, unsur-unsur dari pasal 311 ayat (1) KUHP adalah Seseorang, Menista orang lain baik secara lisan maupun tulisan, dan orang yang menuduh tidak dapat membuktikan tuduhannya dan jika tuduhan tersebut diketahuinya tidak benar. Artinya para pelaku pelengser Gus Dur sampai saat ini tidak bisa membuktikan Gus Dur telah menyalahgunakan kekuasaanya dalam kasus Buloggate dan Bruneigate. Sehingga para pelengser Gus Dur berpotensi bisa terjerat pasal fitnah.

Siapa yang bisa menjerat?

Perbuatan makar dan fitnah mempunyai perbedaan karena makar masuk dalam kategori delik biasa, sedangkan fitnah masuk dalam kategori delik aduan. Namanya delik biasa siapapun bisa melakukan tindakan termasuk para aparat penegak hukum. Dalam delik biasa tidak membutuhkan pelapor, petugas hukum bisa langsung menindak pelaku.

Sedangkan dokumen yang ditemukan oleh Virdika bisa langsung ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum untuk melakukan pemanggilan kepada orang-orang yang terkait dalam pelengseran Gus Dur sebagai Presiden karena ada niatan untuk melakukan tipu daya dengan merekayasa perekonomian Indonesia terpuruk pada zaman Gus Dur sebagai Presiden dengan merencanakan adanya gerakan untuk memborong dollar.

Sampai sekarang belum ada aparat penegak hukum yang mempunyai niat untuk memanggil orang-orang yang bersangkutan. Hal ini akan menjadi bola liar sehingga memunculkan pertanyaan kepada aparat penegak hukum yang tidak bekerja pada negara melainkan bekerja pada penguasa. Jika aparat memang bekerja untuk negara maka sudah ada tindakan pasti dari aparat untuk menyelidiki skandal pelengseran Gus Dur sebagai Presiden.

Masih ada waktu bagi aparat penegak hukum untuk melakukan tugasnya sebagai penegak hukum, hal ini harus dilakukan karena untuk membuktikan hukum adalah panglima tertinggi di Republik Indonesia. Jika tidak segera dilakukan, maka akan membuat kesan negara melakukan pembiaran, sehingga akan menjadi preseden buruk bagi tatanan kenegaraan di Indonesia karena mekanisme pelengseran yang menjerumus kearah makar akan bisa terjadi kepada siapa pun yang menjadi Presiden Indonesia kelak.

Solusi selanjutnya supaya polemik pelengseran Gus Dur bisa diredam, maka lebih patut negara meminta maaf kepada keluarga Gus Dur atas ketidakmampuannya dalam mengungkap skema jahat yang dilakukan oleh pejabat negara terdahulu.

Terkait dengan perbuatan tindak pidana berupa fitnah, sudah dijelaskan di atas, fitnah masuk dalam kategori delik aduan. Jadi karena Gus Dur sudah wafat maka yang berhak melaporkan adalah ahli waris Gus Dur sendiri. Namun, statemen keluarga Gus Dur sudah terlihat tidak akan mengadukan orang-orang yang melakukan rekayasa terhadap pelengseran Gus Dur, dan patut dihormati sifat ini merupakan sifat negarawan yang dimiliki oleh ahli waris Gus Dur.   
 
                              
Penulis adalah Peneliti Pusat Pendidikan dan Antikorupsi (PUSDAK) dan Dosen Ilmu Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) Jakarta