Opini

Jerat Hukum Para Pelengser Gus Dur (Bagian 2)

Sel, 4 Februari 2020 | 11:15 WIB

Jerat Hukum Para Pelengser Gus Dur (Bagian 2)

KH Abdurrahman Wahid. (Foto: Dok. Pojok Gus Dur)

Oleh Muhtar Said

Ada perkataan menarik dari Tan Malaka di dalam bukunya yang berjudul Madilog, "Kebenaran tidak bisa ditutup-tutupi karena kebenaran adalah kebenaran itu sendiri karena sang waktu yang akan berbicara tentang kebenaran itu sendiri". Begitu pula dengan peristiwa pelengseran Gus Dur, meskipun direkayasa sedemikian rupa, lambat laun waktu yang akan berbicara soal kebenaran itu.
 

Gus Dur dilengserkan oleh para pejabat, intelektual bahkan para ulama yang atur oleh para politisi sehingga memunculkan stigma Gus Dur telah menyalahgunakan wewenangnya sebagai Presiden, melakukan tindak pindana dan diwacanakan tidak mampu memimpin negeri ini. Stigma yang dibuat oleh HMI Connection (meminjam istilah Virdika Rizky Utama, penulis buku Menjerat Gus Dur) ternyata mampu menggulingkan Gus Dur dari kursi Presiden RI.

Meskipun demikian, pada akhir tahun 2019 sang waktu berbicara berbeda, Gus Dur dilengserkan dengan menggunakan strategi-strategi “haram” karena dalam strategi yang digunakan oleh HMI Connection jauh dari sifat politik yang berbudaya Indonesia karena memasukan unsur fitnah dan makar. Sedangkan fitnah dan makar adalah tindakan yang dilarang oleh Undang-Undang.

Menghalalkan segala cara, begitulah adagium politisi, seolah-olah politik itu kejam tidak memberikan ruang bagi nilai-nilai kebudayaan dan Islam. Apapun itu, fitnah adalah perbuatan yang dilarang oleh agama. Namun oleh HMI Connection digunakan untuk menumbangkan seorang ulama dari kursi Presiden dengan cara-cara yang bathil. Dalam agama tindakan tersebut merupakan dosa besar, tetapi oleh para pelengser Gus Dur pelajaran mengenai perbuatan dosa tidak diindahkan hanya demi sebuah jabatan.

Beberapa orang, yang ada dalam dokumen pelengseran Gus Dur, terlihat duduk manis hadir di acara Haul Gus Dur pada akhir tahun 2019. Wajah-wajah tersebut terlihat tidak ada rasa bersalah, datang dengan senyum bahkan sampai sekarang tidak ada perkataan “maaf” yang muncul dari mulut para pelaku pelengser Gus Dur.

Hal ini mengindikasikan apa yang mereka lakukan dianggap benar. Jika tradisi ini dibiarkan dan tidak ada tindakan nyata dari penegak hukum untuk melakukan penyelidikan terhadap pelengseran Gus Dur maka akan mencoreng wajah perpolitikan nasional karena merusak nilai-nilai suci profesi politisi. Mengapa?

Politik berasal dari kata dasar policy yang bermakna kebijakan. Sedangkan dalam kebijakan ada unsur kebijaksanaan. Jika para politisi (khususnya politis Nahdliyin) tidak ada yang mempersoalkan pelengseran Gus Dur yang menggunakan cara-cara haram maka cara-cara haram ini diposisikan sebagai cara yang bijak. Jika sudah demikian maka hancurlah negeri ini karena tidak ada politisi yang menggunakan hati nurani dan syariat agama hanya dijadikan jargon tanpa bisa dilaksanakan.

Politisi Nahdliyin Menggugat

Model pelengseran Gus Dur dari kursi Presiden hampir mirip dengan sifat politik keluarga Medici dalam buku Sang Penguasa karya Niccolo Machiavelli. Dalam ceritanya, keluarga Medici merupakan salah satu anggota kelompok aristokrat yang mencoba bermain di air keruh dengan memanfaatkan keresahan sosial untuk merebut tahta dari keluarga Guelphi. Cosimo de’ Medici dengan bekal pengetahuan sejenis psikologi massa dan setumpuk modal uang, berhasil memanaskan kesadaran rakyat kecil.

Begitu pula dengan cerita pelengseran Gus Dur, para pelengser Gus Dur itu bukan orang sembarangan, mereka mempunyai kemampuan untuk memanipulasi psikologi massa dengan cara membuat wacana-wacana Gus Dur tidak mampu memimpin, dan wacana itu cenderung mengandung unsur fitnah. Ditambah dengan kekuatan setumpuk uang mereka melakukan rencana makar (membeli dollar) dan fitnah. Hal ini dilakukan untuk merebut kursi kekuasaan dari kaum nadhliyin. Tidak senang kaum nahdliyin berkuasa maka harus dilengserkan.

Ada perbedaan mencolok dari cerita keluarga Medici dalam merebut kursi kekuasaan dengan HMI connection dalam merebut kekuasaan dari kaum nahdliyin yakni, dalam keluarga Medici memang memanipulasi keadaan namun untuk mempengaruhi suara dalam pemilu yang akan datang. Sedangkan HMI connection memanipulasi suara untuk menjatuhkan tanpa menunggu pemilu dilaksanakan. Model seperti ini merupakan model yang bisa dibilang sangat jahat karena menghalalkan segala cara.

Membaca bukunya Virdika seharusnya politisi nahdliyin melakukan gugatan kepada Negara karena Negara dianggap tidak mau melakukan tindakan atau melakukan permintaan maaf, sehingga Negara bisa dikatagorikan telah melakukan perbuatan melawan hukum. Politisi nahdliyin cukup mempunyai alasan untuk melakukan gugatan tersebut karena Gus Dur merupakan simbol kaum nahdliyin yang martabatnya direndahkan oleh orang-orang diluar nahdliyin, sehingga politisi nahdliyin merasa dirugikan dengan tindakan para pelengser Gus Dur.

Sehingga memunculkan stigma politisi dari kalangan nahdliyin tidak bisa bertindak secara profesional dan bisa saja mendapat stigma politisi amatiran karena tidak mampu membendung tindakan-tindakan jahat. Padahal tugas politisi adalah menghilangkan sifat jahat pada pejabat Negara sehingga kebijakannya penuh dengan kebijaksanaan.

Menabrak Tap MPR

Alasan politisi nahdliyin menggugat selain dirugikan karena tidak mampu melindungi Gus Dur dari perbuatan makar dan fitnah juga diperkuat dengan mekanisme pelengseran Gus Dur yang inkonstitusional.

Sebelum mengarah ke perbuatan inkonstitusional maka kita jelaskan terlebih dulu mengenai anggapan Gus Dur lengser dari Presiden. Banyak yang beranggapan Gus Dur tumbang karena kasus korupsi. Padahal dalam krisis konstitusional itu ada dua opsi yang ditawarkan oleh Gus Dur: pertama, pelimpahan tugas konstitusional dan kedua, menggunakan Tap MPR Nomor III tahun 1978. (Arie Sulistyoko: 2016)

Dalam opsi pertama dibentuk semacam tim perncari fakta kemudian Gus Dur mengundurkan diri dan melimpahkan kepada Wakil Presiden. Ini adalah bentuk sifat negarawan seorang Gus Dur namun opsi ini ditolak, padahal opsi ini merupakan opsi konstitusional karena dibenarkan oleh konstitusi.

Kemudian opsi kedua yakni menggunakan mekanisme yang tercatat dalam Tap MPR No III tahun 1978, dimana dugaan-dugaan kesalahan yang dialamatkan kepada Gus Dur supaya dibuktikan terlebih dulu di Pengadilan. Jika Gus Dur terbukti melakukan tindakan pidana maka MPR atas nama hukum sah memecat Gus Dur dari krusi presiden.

Namun, para pelengser Gus Dur tidak menginginkan kedua cara tersebut, padahal cara-cara di atas merupakan cara-cara yang dibenarkan dalam konstitusi. Untuk itu para pelengser Gus Dur memang berniat untuk menjatuhkan nama Gus Dur dengan label “Gus Dur dipecat sebagai Presiden”.

Kata “pecat” dalam kamus manapun bermakna negatif. Seolah-olah para pelengser Gus Dur memang mempunyai niat untuk menjatuhkan martabat Gus Dur dan warga Nahdliyin. Seolah-olah politisi dari nahdliyin tidak bisa berbuat apa-apa dalam kancah perpolitikan nasional dan stigma itu sampai sekarang tetap terbukti. Buktinya sudah berkali-kali diadakan pemilu tidak ada perwakilan dari kaum nahdliyin yang mampu menjadi Presiden.

Ada solusi menarik dari kasus ini dan untuk meredakan situasi perpolitikan nasional yakni Negara meminta maaf kepada warga nahdliyin dan mencantumkan dalam sejarah nasional pelengseran Gus Dur sebagai Presiden adalah perbuatan inkonstitusional.

Banyak Negara maju menerapkan itu, misalnya Jerman. Pemerintah Jerman dengan sadar juga mengakui ada peristiwa pembunuhan masal terhadap etnis Yahudi dan itu dicantumkan dalam sejarah nasional sebagai peristiwa kelam perjalanan Negara Jerman. Hal ini bisa jadi bahan pelajaran pada genarasi yang akan datang supaya kejadian tersebut tidak berulang kembali.
 

Penulis adalah Peneliti Pusat Studi Pendidikan dan Antikorupsi, Dosen Hukum Administrasi Negara Ilmu Hukum UNUSIA