Opini

Tarik-menarik Larangan Cadar

Jum, 8 November 2019 | 14:00 WIB

Tarik-menarik Larangan Cadar

Perdebatan biasanya bersimpul pada dua alasan: sosial-keamanan dan kebebasan berbagama. (Ilustrasi: daily.in)

Cadar kembali heboh. Menteri Agama Fakhrul Razi berencana melarang penggunaan cadar di instansi pemerintahan dengan alasan keamanan. Tidak hanya di Indonesia penggunaan cadar digugat. Di Arab Saudi, negara yang mempopulerkan cadar hingga menyebar ke pelbagai belahan dunia pun kini digugat. Di Era kekuasaan Muhammad bin Salman, cadar yang semula ‘wajib’ (dlaruri) bukan pilihan (ikhtiyari) di kalangan wanita di negara itu, kini direvisi oleh sang putra mahkota.

 

Dalam keputusan Mahkamah Umum Riyadh tahun 2017 tentang busana pengacara wanita disebutkan bahwa syarat busana mereka cukup memakai hijab tanpa niqab atau cadar. Muhammad bin Salman pada Maret 2018 mempertegas bahwa busana wanita berdasarkan syariat Islam haruslah pakaian yang pantas dan terhormat seperti halnya pakaian lelaki. Wanita tidak harus menggunakan Abaya (jubah hitam) dan cadar, kata sang putra mahkota.

 

Perlawanan terhadap cadar di Saudi terus berlanjut. Aksi pembakaran cadar dipertontonkan di Youtube yang tentu menuai banyak respons panas. Di Twitter juga demikian, pada 9 Agustus kemarin terjadi kampanye penolakan cadar hingga dalam satu jam bersahutan 20 ribu cuitan seputar cadar.

 

Demikian juga di Mesir, terjadi perdebatan pelarangan penggunaan cadar di masyarakat. Anggota parlemen Mesir Ghadah ‘Ajmi bersama 60 rekannya mengajukan rancangan undang-undang pelarangan penggunaan cadar dan hukuman denda 1000 Pound Egypt (setara Rp870 ribu) dan penambahan denda jika terus dipakai di tempat umum seperti rumah sakit, sekolah, dan kantor pemerintahan. Rencana pelarangan itu didasarkan atas pertimbangan sosial dan keamanan dan bukan keagamaan, kata sang pengusul.

 

“Di saat negara sedang menghadapi ancaman terorisme, negara berhak melarang cadar karena ia menyembunyikan identitas penggunanya. Telah terjadi ia digunakan oleh penjahat untuk membawa barang terlarang dan menculik bayi.” Di Indonesia pun telah terjadi pencurian uang di ATM oleh lelaki bercadar dan berdaster hitam besar selain tragedi penusukan atas Menkopolhukam, Wiranto, yang salah satu pelakunya bercadar.

 

Jika diringkas, secara umum penolakan atas cadar didasarkan atas pertimbangan sosial dan keamanan. Sementara yang membela berargumen bahwa cadar adalah bagian dari kebebasan beragama yang dijamin oleh konstitusi. Tarik-menarik antara keduanya adalah proses yang jamak terjadi untuk menuju keputusan terbaik.

 

 

Kebebasan beragama adalah sesuatu yang sangat dijunjung tinggi oleh demokrasi. Tapi, kebebasan berkeyakinan bukan tanpa batasan. Jika ada keyakinan yang membahayakan keselamatan penganutnya, seperti keyakinan orang zaman dahulu yang mengorbankan manusia untuk persembahan dewa, tentu pemerintah harus turun tangan melarangnya.

 

Akan lebih baik jika pelarangan itu muncul dari kalangan agamawan sendiri bukan dari pemerintah. Khususnya terkait hal-hal yang tidak urgen, maka kaum agamawan bisa berijtihad sendiri untuk meniadakan atau mengalihkannya ke yang lain yang memungkinkan demi kepentingan bersama. Seperti yang dilakukan oleh Sunan Kudus yang mengganti penyembelihan sapi dengan kerbau untuk korban di hari raya Idul Adha karena sapi adalah binatang mulia bagi kalangan Hindu dan penyembelihannya menyakitkan perasaan mereka. Konflik Hindu-Islam di India sebagian dipicu oleh praktik ini, di mana sebagian muslim memaksakan melakukannya tanpa mempertimbangkan alternatif lain yang nir masalah sosial.

 

Dalam banyak hal, ajaran agama tidaklah hitam-putih. Ada alternatif-alternatif yang bisa diambil demi menaatinya. Alternatif itu bisa memang dari asalnya bersifat opsional, seperti berkurban antara tujuh kambing dan satu sapi, atau dalam mazhab Hanafi zakat fitrah boleh dengan bahan makanan pokok (gandum atau beras) atau uang. Atau karena faktor eksternal yang memungkinkannya menggantinya dengan yang lain. Seperti faktor geososial dan geografis yang berpengaruh dalam praktik pelaksanaan ibadah shalat Jumat. Jumlah jamaah yang sangat minim (di bawah 40 sesuai mazhab Syafi’i) dan kondisi hujan lebat memungkinkan gugurnya kewajibannya dan menggantinya dengan shalat Dhuhur. Artinya, ada peluang pilihan dalam ketaatan beragama tanpa harus melanggar konsistensi.

 

Dalam hal berbusana pun demikian. Ia bukanlah tanpa pilihan dan bukan tanpa pertimbangan sosiokultural. Aurat lelaki atau bagian tubuh yang harus ditutupi adalah dari pusar sampai lutut. Meski demikian, adakah orang yang shalat dengan telanjang dada tanpa berpakaian? Tidak ada meski syariat membolehkannya.

 

Ketika shalat di masjid, hendaknya menggunakan pakaian yang baik (Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap [memasuki] masjid… [QS. 7:31]). Apakah orang yang berpakaian lusuh dan jelek dilarang berjamaah di masjid? Tidak dilarang. Di sini umat Islam mampu menimbang sendiri terkait kepatutan berbusana dalam shalat. Tidak bertelanjang dada dan tidak melarang yang berpakaian lusuh sebab kewajiban shalat berjamaah lebih utama daripada perintah berbusana baik saat shalat.

 

Pertimbangan-pertimbangan geososial dan geografis ada dalam cara berbusana kaum wanita. Kondisi kerawanan sosial, keamanan dan kondisi alam ada di situ. Di Eropa dan Amerika, meski mereka non-Muslim, kalau sedang musim dingin, semuanya menutupi tubuh kecuali muka bahkan hanya mata yang terbuka untuk melihat (persis bercadar). Hidung ditutup dan telapak tangan yang oleh Islam diperbolehkan dibuka, oleh mereka ditutup karena suhu dingin yang ekstrem.

 

Faktor kerawanan sosial juga yang menyebabkan turunnya perintah memanjangkan hijab: “Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, ‘Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang” (QS 33:59).

 

Jikalau perintah menutup aurat terkait dengan kondisi sosial yang ada, maka masalah pemakaian cadar juga tidak bisa dilepaskan dari aspek tersebut. Apalagi cadar, penutup muka, bukanlah aurat yang harus ditutupi menurut jumhur (mayoritas) ulama di dunia. Yang induk saja (aurat wanita seluruh anggota tubuh kecuali muka dan telapak tangan) tidak lepas dari pertimbangan sosial apalagi yang cabang, pemakaian cadar.

 

Rencana pelarangan cadar di Indonesia yang didasarkan pada aspek sosial dan keamanan dengan demikian memiliki legalitasnya secara syariat. Wajah adalah identitas utama manusia selain ciri khas fisik seperti tahi lalat dan pertanda fisik yang lain yang membedakan seseorang dengan yang lain. Ia adalah alat komunikasi utama manusia. Sebab tanpanya, orang tidak mengenal lawan bicara apalagi jika sangat membutuhkan.

 

Masalah wajah wanita yang dianggap menggoda lelaki yang dijadikan alasan menutup muka, tidaklah urgen jika dibandingkan dengan kebutuhan umum mengenal identitas seseorang. Zaman dahulu yang lelakinya beringas saja tidak diwajibkan menutup wajah wanita apalagi zaman sekarang yang semua orang sudah mengenyam bangku pendidikan. Andaikan itu benar bahwa wajah wanita bisa menggoda lelaki sehingga harus ditutup, maka wajah lelaki juga bisa menggoda wanita. Apa kemudian orang laki-laki harus bercadar juga?

 

 

Achmad Murtafi Haris, dosen UIN Sunan Ampel Surabaya