Opini

Dampak Psikologis Program Deradikalisasi

Sen, 4 November 2019 | 02:30 WIB

Isu radikalisme seperti tidak ada habisnya. Sejak peledakan menara kembar WTC di New York tahun 2001 hingga kini masih menjadi isu hangat. Puncaknya pada tahun 2014, selain Al-Qaeda, Al-Jabhah Al-Nusra, Jamaah Islamiyah, ada satu gerakan radikalisme bernama Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) atau Da'isy yang mengagetkan dunia untuk menegakkan Khilafah Islamiyah. Pola gerakannya yang keras, kejam, dan membabibuta membuat hampir semua negara di muka bumi merasa "ngeri" dan terancam.

 

Tampilnya ISIS juga seakan membangkitkan kembali gerakan serupa setelah mendapat tekanan dunia. Meski ISIS lahir di Irak dan eksis di Syria (Suriah), keberadaannya benar-benar ditakuti. Apa pasal? ISIS dianggap memiliki "pesona" bagi kelompok kanan di dunia karena menjanjikan "Daulah Islamiyah" global. Efeknya, para pendukung ISIS berduyun-duyun untuk bergabung di medan perang Irak dan Suriah.

 

Selain itu, para pendukung atau simpatisannya bukan hanya berasal dari negara Islam atau negara mayoritas muslim, tetapi juga tidak sedikit dari negara-negara yang dianggap musuh, khususnya Barat. Yang lebih menakutkan lagi bahwa ideologi ISIS mampu menyatukan, at least, menginspirasi gerakan serupa di seluruh dunia dengan pola perlawanan massif dan mematikan.

 

Sasarannya pun bukan hanya di medan perang Irak dan Suriah, tetapi serangan bom bunuh diri terhadap objek-objek penting di penjuru dunia yang dianggap sebagai jantung atau simbol-simbol peradaban musuh-musuhnya. Peristiwa demi peristiwa terjadi dan korbang jiwa pun berjatuhan.

 

Selain bertindak langsung melakukan teror, kelompok radikal pimpinan Abu Bakr al-Baghdadi yang belakangan dikabarkan tewas ini telah menginspirasi pelaku teror di sejumlah negara. Beberapa peristiwa besar di seluruh dunia yang diklaim oleh ISIS selama kurun waktu 2014 hingga 2019 mencapai 3.588 korban meninggal dunia. Dari jumlah korban itu dilakukan oleh kelompok-kelompok serupa karena terinspirasi dari berbagai teror yang dilakukan ISIS.

 

Merespon fenomena "ISIS centris" ini lalu memunculkan program deradikalisasi di banyak negara untuk melawan radikalisme yang dipimpin Amerika. Tak terkecuali di Indonesia. Berbagai program deradikalisasi yang "dimotori" BNPT dan beberapa Kementerian/Lembaga, Ormas, dan LSM telah dilakukan.

 

Namun setelah sekian lama program deradikalisasi tersebut dilakukan, faktanya, aksi-aksi terorisme di tanah air seperti tidak kunjung usai. Terakhir kasus penusukan mantan Menko Polhukam Wiranto yang dilakukan oleh pendukung ISIS. Konon para pendukung atau simpatisan ISIS di Indonesia justru "membengkak" akibat program penanggulangan yang tidak tepat.

 

Lalu kenapa program deradikalisasi dinilai kurang berhasil? Banyak faktor yang menjadi penyebabnya, salah satunya adalah dampak psikologis yang kurang mendapat perhatian. Apa dampak psikologis program deradikalisasi yang diduga justru sebagai pemicu munculnya sel-sel jaringan radikalisme dari generasi ke generasi?

 

Dampak Psikologis

Perubahan seseorang menjadi radikal dalam segala bentuknya jelas tidak mungkin berdiri sendiri. Radikalisme muncul dari sebuah proses pemikiran atas dasar argumen dan konteks tertentu. Banyak hasil riset yang menyebutkan hal ini. Ada yang dilatarbelakangi oleh kemiskinan lalu putus asa, ada karena ingin mewujudkan romantisme sejarah dengan knowledge yang minim, ada pula karena idealitas nilai tertentu yang ingin ditegakkan seperti khailafah Islamiyah, Darul Islam, dan lain-lain.

 

Dalam konteks ideologi radikalisme berbasis agama jelas tidak dapat dilepaskan dari proses klaim pemikiran dan pemahaman terhadap sejarah masa lalu. Sejarah sering membentuk pemikiran, keyakinan, dan perilaku. Rerata para pengikut atau simpatisan kelompok radikal tidak memiliki kesadaran utuh bahwa konteks dan sejarah itu berbeda.

 

Konteks adalah situasi lingkungan yang terkait dengan kedisinian dan kekinian yang harus dipahami secara utuh. Sementara sejarah adalah pemahaman orang sekarang terhadap situasi masa lampau. Pemahamannya pun pasti terkait dengan berbagai konteks, termasuk kecenderungan aliran dan paham keagamaan. Itulah kenapa satu peristiwa sejarah sering dipahami dalam berbagai versi.

 

Pemikiran seseorang, actually, mempengaruhi paradigma (cara pandang) yang akan membentuk perilaku (aksi). Kelompok pendukung radikalisme nampak tidak mencoba membuka diri untuk melihat pandangan yang lain (the other). Dunia hanya dipandang dari kaca mata tunggal, yang ada hanya single idea, sementara orang lain atau yang berbeda itu salah.

 

Titik balik (starting point) perubahan dari tidak radikal menjadi radikal ada semacam proses inkubasi pemikiran setelah melalui jalan pencucian otak (brain washing). Khusus untuk korban remaja galau misalnya, menurut Abdurrahman Ayub, mantan Napi Teroris (Napiter) dapat dipengaruhi menjadi "pengantin" bom hunuh diri hanya cukup hitungan menit. Artinya, lompatan pemikiran didahului oleh proses menuju titik nol lalu diisi oleh doktrin radikal.

 

Namun demikian, cara pandang dan perilaku radikal sejatinya bisa diubah melalui Cognitive Behavioral Therapy (CBT). CBT merupakan salah satu bentuk psikoterapi yang bertujuan untuk membantu melatih cara berpikir atau fungsi kognitif dan cara bertindak (behavior). Pendekatan CBT dapat mengubah dari radikal menjadi normal, atau setidaknya mendekati normal.

 

Proses "pengembalian" arus pemikiran inilah substansi dari program deradikalisasi yang telah dan akan dilakukan pemerintah. Meski program ini mengalami pasang surut, namun momentum ini muncul kembali di era pemerintahan Jokowi jilid dua. Beberapa Kementerian/Lembaga mendapat mandat langsung presiden untuk melakukan program deradikalisasi, termasuk Kementerian Agama.

 

Tentu program ini akan menghasilkan output yang bagus selama dilakukan dengan baik dan tepat. Akan tetapi jika program ini tidak dilakukan dengan pendekatan yang pas dan dosis yang tepat akan berujung pada kegagalan, setidaknya tidak maksimal capaiannya. Belakangan telah banyak kritik terhadap program deradikalisasi karena dilakukan secara sporadis dan kurang sinergis dengan banyak pihak.

 

Jika dilihat dari aspek psikologi, program deradikalisasi memiliki kelemahan mendasar. Secara konseptual, program deradikalisasi itu cenderung "judgemental", yaitu tuduhan secara sepihak terhadap kelompok-kelompok yang dinilai berpotensi sebagai pelaku, khususnya kelompok Islam literalis (kanan).  Kenapa?

 

Sebagaimana yang sering disuarakan oleh beberapa pihak, khususnya kelompok Islam kanan bahwa program deradikalisasi bersifat stigmatis karena cenderung menyudutkan suatu kelompok tertentu, dalam hal ini Islam. Program deradikalisasi seakan menempatkan (sebagian) umat Islam sebagai "tersangka" tanpa kriteria yang jelas sehingga menimbulkan problem psikologis serius. Sementara karakteristik radikal-teroristik juga ada pada agama atau kelompok lain non-Islam.

 

Pendekatan program yang bersifat stigmatis inilah yang seharusnya menjadi evaluasi bagi pemerintah. Akibat dari pendekatan ini lalu program deradikalisasi "dituduh" sebagai proyek global yang ingin melemahkan umat Islam. Meski mendapat bantahan keras dari pemerintah, namun penggunaan dan pendekatan terminologi "deradikalisasi" menjadi  aspek yang perlu ditinjau kembali.

 

Setidaknya ada empat ekses psikologis dari program deradikalisasi, baik para tataran konseptual maupun praktik di lapangan. Pertama, stigmatis terhadap kelompok tertentu. Stigma adalah stempel negatif yang ditujukan pada seseorang/kelompok yang dianggap memiliki kriteria pelaku radikalisme sehingga hal-hal yang dianggap memiliki irisan dengan simbol, makna, identitas, idiom, dan lain-lain dengan dicap sebagai kelompok radikal.

 

Satu contoh konkrit yang sering mengemuka adalah terkait simbol celana cingkrang, jubah, jidat hitam, dan jenggot. Sementara simbol-simbol itu tidak identik dengan kelompok radikalisme karena dipakai juga oleh kelompok lain seperti salafi, jamaah tabligh, dan lain-lain, meskipun pada tataran tertentu ada beberapa irisan (kesamaan).

 

Menurut Edwin Lemert, stigma terhadap seseorang atau kelompok orang tercipta karena adanya primary deviance dan secondary deviance. Primary deviance ditunjukkan kepada perbuatan penyimpangan tingkah laku awal, sedangkan secondary deviance berkaitan dengan reorganisasi psikologis dari pengalaman seseorang sebagai akibat dari cap sebagai penjahat.

 

Dalam konteks ini, seseorang atau kelompok orang yang telah dicap atau dijuluki dengan sebutan tertentu oleh masyarakat merupakan tahap pada primary deviance. Tahapan selanjutnya julukan itu bisa menjadi kenyataan, yaitu secondary deviance. Sebagai contoh, jika seseorang atau kelompok orang diberi label sebagai kelompok radikal, maka ia atau kelompok tersebut akan merasa diperlakukan tidak adil dan akhirnya bisa benar-benar bertindak radikal. Bentuk label atau cap negatif ini justru dapat membentuk sikap dan perilaku senyatanya.

 

Kedua, munculnya prasangka atau anggapan buruk masyarakat terhadap seseorang atau kelompok tertentu meski belum tentu kebenarannya. Prasangka atau negative thinking adalah awal dari sikap tidak fair sebelum seseorang bersikap. Islam jelas melarang perilaku ini karena termasuk perbuatan dosa (QS: Al-Hujurat: 12). Jika stigma berada pada level labeling, sementara prasangka sudah mengarah pada asumsi yang lebih umum.

 

Prasangka dapat mengakibatkan hubungan dengan yang lain terganggu, bahkan dapat menimbulkan ketegangan kedua belah pihak secara terus-menerus, karena masing-masing memiliki praduga. Dalam konteks program deradikalisasi akan ada ketegangan antara pemerintah dengan sebagian kelompok Islam, dan ini bisa menjadi "api dalam sekam".

 

Gordon W. Allport dalam The Nature of Prejudice membagi lima perspektif terjadinya prasangka, yaitu (1) prasangka antara senior dan yunior. (2) prasangka akibat situasi dan kondisi tidak kondusif. (3) prasangka yang disebabkan seseorang yang frustrasi. (4) prasangka karena seseorang memandang secara berbeda pada lingkungan dan sekitarnya. (5) prasangka kepada objek, bukan orang yang berprasangka.

 

Ketiga, ekses diskriminasi. Stigma dan prasangka terhadap seseorang atau kelompok orang terhadap isu radikalisme akan menimbulkan perlakuan tidak adil. Perlakuan tidak adil inilah yang justru akan menjadi pemicu serius timbulnya kekecewaan dan dendam yang sulit diukur oleh waktu dan situasi. Perlakuan khusus dari pemerintah dan masyarakat kepada keluarga pelaku akan menyimpan dendam laten dari anak keturunannya. Demikian juga hal ini dapat menimbulkan solidaritas dari kelompok serupa yang bernasib sama.

 

Diskriminasi biasanya akan timbul pembedaan sikap dan perilaku yang kemudian muncul terminologi "kita" dan "kalian". Hal ini pernah  diucapkan oleh mantan presiden Amerika, Goerge W. Bush yang sangat terkenal pasca peledakan gedung WTC: "You are either with us, or with the terrorists". Mungkin bisa dipahami pernyataan Bush karena dalam situasi yang sangat emosional saat itu. Namun faktanya kebijakan Bush berlanjut dalam berbagai kebijakan kontra-terorisme di luar negeri hingga menimbulkan ekses politik yang panjang.

 

Keempat, ekses pengucilan. Stigma dan prasangka yang berlanjut dalam bentuk perlakuan terhadap seseorang atau kelompok orang akibat dituduh sebagai orang atau kelompok radikal akan menyebabkan perasaan terasing, ditolak, dan dijauhi dari pergaulan sehingga merasa tidak diterima lagi oleh orang-orang sekitarnya. Perasaan "dikucilkan" adalah situasi  psikologis yang dapat menimbulkan frustasi yang bisa diwujudkan dalam perilaku menyimpang.

 

Uraian tersebut menunjukkan ada persoalan terminologis terhadap program deradikalisasi. Hemat penulis perlu dicarikan istilah dan pendekatan yang tidak mengarah pada "judgement" jika benar-benar ingin menangkal kelompok radikalisme secara lebih tuntas. Memang akar radikalisme sangat kompleks, akan tetapi semua itu bersumber dari pemahaman doktrin keagamaan yang salah. Hakikat agama sesungguhnya adalah kedamaian (peace) dan harmoni (harmony).

 

Satu ide besar pemerintah yang dimotori Kementerian Agama sesungguhnya telah menawarkan konsep Moderasi Beragama (MB) yang dipelopori mantan Menag LHS. Konsep ini bahkan telah dijadikan landasan teknokratik RPJMN 2020-2024. Dalam pandangan penulis, program MB yang telah dicanangkan sebelumnya bermakna lebih positif dibanding program deradikalisasi karena mengajak kepada semua pihak menuju titik tengah. Yang kanan diminta menuju ke tengah, demikian juga yang kiri untuk melakukan hal sama.

 

Pendekatan MB tidak "judgemental" tetapi merangkul semua pihak untuk menyadari pentingnya berpikir, bersikap, dan bertindak adil dalam beragama. Tidak ada pihak yang menuduh dan tidak ada pula yang merasa dituduh. Semuanya diajak kembali pada hakikat dalam beragama untuk tidak saling menyakiti, apalagi saling meniadakan. Inilah tantangan buat Kabinet Indonesia Maju, khususnya bapak Menag Jenderal (Purn) Fachrul Razi. Wallahu a'lam bish-shawab.

 

Thobib Al-Asyhar, Dosen Psikologi Islam pada Sekolah Kajian Strategik dan Global, Universitas Indonesia, penulis buku, alumni pesantren Futuhiyyah Mranggen