Opini

Cadar, Jenggot, dan Celana Cingkrang, Adakah Hubungannya dengan Ekstremisme?

Sen, 4 November 2019 | 00:15 WIB

Cadar, Jenggot, dan Celana Cingkrang, Adakah Hubungannya dengan Ekstremisme?

Cadar, jenggot, dan celana cingkrang tak bisa digeneralisasi dengan konotasi tertentu. Namun juga bukan berarti tak berkaitan sama sekali.

Oleh M. Kholid Syeirazi

 

Adakah busana dan ciri fisik (cadar, celana cingkrang, dan jenggot) identik dengan radikalisme? Tidak! Banyak orang bercadar tetapi tidak takfiri. Banyak orang memanjangkan jenggot dan bercelana cingkrang tetapi bisa menerima perbedaan. Yang bercadar dan berjenggot bukan hanya orang Islam. Rabi Yahudi berjenggot dan berpeci, wanitanya bercadar. Mereka tidak radikal, apalagi teroris. Di Israel, zionisme justru hidup di kepala orang yang dagunya klimis.

 

Tetapi, apakah cadar, jenggot, dan celana cingkrang tidak terkait sama sekali dengan radikalisme? Ada hubungan, meski tidak identik. Cadar, celana cingkrang, dan jenggot dapat merupakan ekspresi dari ekstrimisme (الغلوّفى الديانة). Pada tahun ke-8 dan 9 H, Nabi menunjuk penghulu dan cikal bakal ekstremis. Namanya Dzul Khuwaisirah at-Tamimi. Hadits sahih Bukhari-Muslim menyebut ciri-ciri fisiknya: cekung matanya (غائر العينين), menonjol keningnya (مشرِف الوجنتين), lebar dahinya (ناشز الجبهَة), lebat jenggotnya (كث اللحية), plontos kepalanya (محلوق الرأس), dan congklang celananya (مشمَر الإزارِ). Pada tahun ke-37 H, Ibn Abbas menambahkah ciri fisik pengikut Dzul Khuwaisirah: tangannya kapalan (ايديهم كانهاثفن الابل), wajahnya tercetak noktah bekas sujud (وجوههم معلمة من اثار السجود). Mereka ahli agama. Tetapi, karena berlebih-lebihan dalam beragama, mereka keluar dari agama seperti anak panah keluar dari busurnya.

 

 

Batas aurat wanita adalah subjek perdebatan para ulama. Ulama membedakan aurat wanita dewasa, anak-anak, dan hamba sahaya. Ulama juga membedakan aurat wanita terhadap sesama wanita Muslimah dan non-Muslimah, aurat wanita terhadap lelaki mahram-nya selain suami, dan aurat wanita terhadap lelaki non-mahram. Ulama juga membedakan aurat wanita di dalam dan di luar salat. Namun, mayoritas mazhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) menyatakan wajah wanita dewasa bukan aurat, baik di dalam maupun di luar salat. Karena itu, sebagian ulama Malikiyah justru me-makruh-kan penggunaan cadar karena dianggap غلو alias berlebih-lebihan (Wizâratul Awqâf was Syu’ūnul Islâmiyyah Kuwait, Al-Mawsū’ah al-Fiqhiyah, 1983, Vol. 41: 134).

 

Dasar hukumnya adalah QS. An-Nur/24: 31):

 

ولايبدي نزينتهن إِلا ما ظهرمنهَا

 

...” dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka, kecuali yang tampak dari mereka.”

 

“Kecuali yang tampak itu” menimbulkan banyak penafsiran. Ada yang menafsirkan ‘yang biasa tampak.’ Artinya tergantung adat kebiasaan. Ini membawa pada batas yang lebih longgar. Aurat wanita, di luar salat, tergantung adat yang menoleransi batas kerawanan. Kerawanan aurat wanita, menurut ukuran orang Arab, bisa jadi beda dengan orang Jawa. Ada juga yang menafsirkan ‘yang perlu tampak.’ Artinya, sejauh dibutuhkan, misalnya untuk pekerjaan, wanita boleh menampakkan sebagian anggota badannya. Ada juga yang menafsirkan ‘yang terpaksa tampak.’ Ini pendapat yang paling ketat. Prinsipnya, semua tubuh wanita adalah aurat. Dalam keadaan darurat, wanita baru boleh menampakkan sebagian anggota badannya.

 

Aurat wanita harus ditutup. Al-Qur’an menggunakan beberapa jenis penutup: hijâb (QS. Al-Ahzab/33: 53), jilbâb/jalâbib QS. Al-Ahzab/33: 59), dan khimar/khumur (Qs. An-Nur/24: 31). Tidak ada istilah niqâb (cadar) dalam al-Qur’an. Istilah niqab muncul di dalam hadits, justru dalam bentuk larangan bagi wanita yang ihram:


« لا تنتقب المراة المحرمة ولا تلبس القفازين » (رواه احمد وبخاري)

 

“Tidak (dibenarkan) wanita yang ihram untuk mengenakan cadar dan kaus tangan.”
 

 

Ekstremisme lahir sebagian dari skripturalisme, yaitu cara baca teks yang kaku dan harfiah. Nabi pernah memerintahkan sahabat memangkas kumis dan memanjangkan jenggot.

 


« قصوا الشوارب وأعفوا اللحى خالفوا المشركين » (متفق عليه)
 

“Potonglah kumis, panjangkan jenggot, selisihilah orang-orang musyrik.”

 

Illat dari perintah ini adalah menarik perbedaan dari orang-orang Persia yang musyrik. Alih-alih mengakui bahwa tujuan dari perintah ini bersifat temporer, kelompok skripturalis menganggap ketetapan ini bersifat abadi, universal, berlaku sepanjang tempat dan masa.

 

Begitupun dalam memahami larangan menjulurkan celana di bawah mata kaki.

 


ما أسفل من الكعبين من  الإزار ففي النار (رواه البخاري)
 

“Apa yang menjulur di bawah mata kaki adalah di neraka.”

 

Teks ini dipahami secara harfiah tanpa menimbang illat hukumnya. Padahal, sebagaimana hadits tentang jenggot, Nabi juga menyelisihi tradisi busana orang-orang musyrik bangsa Romawi yang menjulurkan bajunya sebagai tanda kebesaran, kemewahan, dan kepongahan. Illatnya adalah pongah. Ini diperjelas dalam hadits lain.

 


« لا ينظر الله إلى من جر ثوبه خيلاء » (متفق عليه)
 

“Allah tidak memandang orang yang menjulurkan bajunya dengan cara congkak.”

 

Dalam cara baca yang tidak harfiah, berlaku kaidah:


الحكم يدور مع علته وجودا وعدما
 

“Hukum itu berubah sesuai dengan ada atau tidak adanya illat.”

 

Jika ‘illat-nya hilang, hilang pula ketetapan hukumnya. Orang Jawa menjulurkan celana di bawah atau tepat di mata kaki bukan karena pongah, tetapi karena kebiasaan. Dan mereka bukan musyrik (yang hendak diselisihi Nabi), tetapi kaum beriman.

 

Kelompok yang keras dalam pemurnian akidah dan ibadah menjelma dalam Wahabisme. Mereka anti-bid’ah garis keras dan menekankan keutamaan generasi lampau, karena itu disebut salafi. Namun, mereka non-politis. Meski keras dalam persoalan akidah dan fiqih syakhsiyah, mereka ‘moderat’ dalam urusan politik. Politik adalah soal ijtihâdât. Mereka tidak menyoal sistem mamlakah, imârât, atau khilâfat. Dakwah mereka murni menyerang ‘syirik kubur.’ Pusat mereka di Arab Saudi, dengan ulama-ulamanya yang terkenal: Ben Baz, Nashiruddin al-Albani, dan Saleh Utsaimin. Kelak, pengikutnya pindah ke Yaman, di bawah bimbingan Syekh Muqbil ibn Hadi al-Wadi’i. Mereka mengklaim sebagai salafi yang murni. Pengikutnya banyak: lelakinya memanjangkan jenggot dan memendekkan celana. Wanita-wanitanya bercadar sebagai anjuran, bukan kewajiban. Syeikh Nashiruddin al-Albani, muhaddist yang sangat dihormati di kelompok ini, berpendapat bahwa aurat wanita dewasa adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan (Nashiruddin al-Albani, Jilbâb al-Mar’ah al-Muslimah fi al-Kitâb wa al-Sunnah. Amman: Al-Maktabah al-Islâmiyah, 1993: 46).

 

Apakah mereka radikal? Kalau definisi radikal adalah aktivitas politik yang mengancam ideologi negara, jelas mereka bukan. Tetapi, kelompok salafi ini cenderung intoleran dalam perkara furu’. Mereka gampang membid’ahkan orang, bahkan takfiri. Ideologi takfiri jadi pangkal kekerasan.

 

Kelompok lainnya tidak terlalu menyoal urusan fiqih khilafiyah. Konsentrasi mereka adalah perjuangan politik. Asal-usulnya dari Wahabisme yang terpapar ideologi Ikhwan al-Muslimun (IM). Penetrasi IM ke salafi-Wahabi terjadi pada 1954-1970, ketika pegiat IM diburu Nasser di Mesir dan eksodus ke Arab Saudi. Oleh Raja Faesal, mereka ditampung dan mengajar di Universitas Islam Madinah dan Universitas King Abdul Aziz. Mereka meradikalkan Wahabisme dengan perjuangan politik, karena itu disebut dengan salafi-haraki. Tokohnya Muhammad Surur ibn Nayef Zainal Abidin, bekas aktivis IM Suriah. Pindah ke Arab Saudi pada 1965, tetapi kemudian dideportasi pada 1974. Perjuangan dan ideologi politiknya mengancam sistem kerajaan Arab Saudi. Dia pindah ke London dan mengecam para ulama Saudi (Ben Baz, Albani, dan Utsaimin) sebagai ulama ahli haid dan nifas. Ulama Arab Saudi balik menuding Surur mengembangkan ideologi hizbiyah yang sesat.

 

Karena konsentrasinya perjuangan politik, salafi-haraki-sururi tidak terlalu menekankan fiqih syakhsiyah. Mereka tidak menonjolkan jenggot, celana cingkrang, dan cadar. Mereka juga cenderung ‘moderat’ dalam persoalan fiqih khilafiyah. Tetapi, mereka cenderung keras dalam urusan politik, meski tidak membenarkan kekerasan atas nama jihad. Perjuangan mereka adalah meng-Islam-kan sistem politik, dengan jalan damai. Di Indonesia, ada parpol Islam dengan ideologi ini. Mereka tidak ‘anti-muludan.’ Pegiat-pegiatnya banyak yang klimis. Tetapi, perjuangan politiknya, pada akhirnya, adalah Islamisasi negara, sekurang-kurangnya formalisasi syariat Islam. Apakah mereka radikal? Radikal dalam prinsip politik, tetapi relatif moderat dalam perkara fiqih furū’iyah.

 

Kelompok lainnya keras dalam pemurnian akidah dan politik. Perjuangannya sekaligus memerangi ‘syirik kubur’ dan ‘syirik undang-undang.’ Agendanya simultan: purifikasi akidah, ibadah, dan politik. Mereka peduli dengan urusan cadar, jenggot, dan celana cingkrang sekaligus sistem politik. Demokrasi dianggap sebagai sistem yang menduakan kedaulatan Tuhan, karena itu syirik dan thâghât. Mereka membenarkan kekerasan atas nama jihad. Ideologi ini menjelma dalam Al-Qaeda, ISIS, Jama’ati Islam, dan Taliban. Embrionya adalah IM dan salafi-haraki garis keras. Di Indonesia,ideologi ini menjelma dalam JI dan pecahannya serta JAD dan anak turunnya. Apakah mereka radikal? Mereka adalah penjelmaan radikalisme yang paling nyata.

 

Tiga jenis salafi ini punya kekhasan dalam urusan cadar, jenggot, dan celana cingkrang. Mereka tidak seragam. Tidak jarang di antara sesama mereka saling mengkafirkan.

 

Ada juga kelompok keempat. Meski menolak bid’ah dalam urusan ibadah, tetapi fokus mereka bukan di situ. Dakwah mereka bukan pemurnian ibadah, karena itu tidak dimasukkan sebagai kelompok salafi. Dakwah mereka adalah mengembalikan sistem khilafah. Pegiat-pegiatnya banyak yang klimis, celananya tidak congklang, wanita-wanitanya tidak bercadar. Tetapi, mereka keras sekali dalam perkara politik. Mereka tergabung dalam HT/HTI. Apakah mereka radikal? Iya, kalau pengertian radikal adalah ingin merombak bentuk dan ideologi negara.

 

Alhasil, urusan cadar, jenggot, celana cingkrang, plus jidat hitam tidak bisa di-gebyah uyah (digeneralisasi). Tidak identik, tetapi ada persambungan dengan ekstrmisme. Karena itu, terapinya tidak bisa tunggal, harus dipilah-pilah.

 

 

 

Penulis adalah Sekretaris Umum PP ISNU