Opini

Ramadhan: Momentum Jihad Melawan Kemiskinan dan Kebodohan

NU Online  ·  Selasa, 3 Oktober 2006 | 09:03 WIB

Oleh: KH A Hasyim Muzadi

Perkataan jihad kembali menjadi wacana luas di kalangan masyarakat menyusul pro kontra merespon pernyataan Paus Benediktus XVI ihwal Jihad. Dalam kuliah umum di Aula Magna, Universitas Regensburg, Jerman, belum lama ini, Paus mengingatkan ihwal makna Jihad dalam Islam yang sering dikonotasikan dengan pedang untuk menyebarkan agama Islam. Menurut Paus, tafsiran tersebut merujuk pada pernyataan seorang Kaisar Bizantium, Manuel II Paleologus yang memaknai kata jihad dengan pedang. Maksudnya, agama Islam dikembangkan oleh para pemeluknya dengan menggunakan ’pedang’. Dalam konteks ini, pedang selalu dikonotasikan dengan jalan kekerasan atau adanya unsur pemaksaan kehendak dari satu pihak kepada pihak lain.

 

<>

Benarkah demikian? Agaknya kehadiran Ramadhan kali ini harus dijadikan momentum untuk kembali mengkaji makna dan eksistensi jihad dalam masyarakat Islam. Seperti jamak dipahami umat Islam, Ramadhan biasanya dijadikan momentum untuk penyucian diri (tazkiyah), mengingat Allah (dzikrullah) dan evaluasi (muhasabah) dalam setahun perjalanan hidup kita. Kita harus akui, bahwa di dalam komunitas Islam, penafsiran tentang makna jihad memang masih beragam. Ada yang saklek mengatakan bahwa jihad itu adalah perang secara fisik (qathl atau harb), ada pula yang menafsirkan jihad dalam bentuk lain. Kali ini, penulis ingin membahas jihad  dalam perspektif makna yang kedua itu, yaitu jihad melawan kemiskinan dan kebodohan. Karena problem seperti inilah yang riil dihadapi oleh umat dan bangsa Indonesia sekarang ini.

Secara harfiah, jihad berarti berusaha dengan sungguh-sungguh. Kemudian, ada konteks Jihad Fi Sabilillah yang sering dimaknai sebagai perjuangan di jalan Allah. Dalam hal ini, perjuangan bukan semata-mata perang, sebab ajaran Islam dalam hal jihad sebagaimana disampaikan Nabi Muhammad adalah Jihad melawan hawa nafsu, khususnya nafsu syaethoniyah. Salah satu nafsu yang patut diperangi adalah nafsu amarah, iri hati, syirik atas nikmat orang lain, sombong, termasuk nafsu serakah yang sering menempuh jalur korupsi dan manipulasi. Artinya, nafsu itu negatif itu merupakan sumber petaka yang tidak hanya akan merusak diri sendiri, tapi juga mengakibatkan kerugian yang tidak kecil bagi orang lain.

Sekedar contoh, berbagai bencana alam yang diakibatkan oleh ulah manusia seperti banjir, tanah longsor, kekeringan, kebakaran, muntahana lumpur panas di Sidoarjo serta yang lain itu merupakan buah dari keserakahan segelintir orang yang rakus. Bukankah illegal loging merupakan salah satu bentuk keserakahan yang patut diperangi agar tidak merugikan rakyat banyak, termasuk nyawa mereka? Jerit dan tangis para korban bencana ternyata hanya menjadi hiasan di layar kaca atau konsumsi berita belaka, tidak lebih dari itu. Tangisan dan nestapa mereka tak mampu menyentuh dinding kepekaan pemerintah yang telah disumpah untuk melindungi dan melayani kepentingan rakyatnya. Yang lebih tragis lagi, bencana justru menjadi komoditi yang sangat laris untuk dimuati dengan berbagai interes yang tidak merujuk pada kepentingan rakyat, khususnya korban bencana. 

Meminimalisir kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jihad. Kemiskinan yang diderita rakyat dan bangsa Indonesia, saat ini, bukan semata-mata karena kealpaan atau kesalahan mereka semata. Kebocoran anggaran, mark up project juga menjadi salah satu faktor yang cukup dominan bagi penyebaran kemiskinan karena tereduksinya secara besar-besaran kue ekonomi yang semestinya bisa dinikmati rakyat kecil. Kondisi tersebut masih diperparah oleh berbagai kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat kecil tak berdaya sehingga membuat akses mereka makin tertutup, termasuk akses ekonomi dan pendidikan. Kendati tanggungjawab utama untuk memerangi kemiskinan, kebohongan dan keterbelakangan itu berada pada pemerintah, namun partisipasi publik juga menjadi sebuah keniscayaan karena kondisi sekitar yang makin mendesak untuk segera ditangani. Semua ikhtiar yang sungguh-sungguh dalam melakukan pendampingan terhadap rakyat itu juga merupakan bagian dari jihad yang tidak kecil nilainya. Dengan kata lain, perang melawan kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan tidak perlu pedang karena misi utama Islam, antara lain juga terciptanya kehidupan rakyat yang sejahtera, tercerahkan, dan mempunyai kekuatan di berbagai aspek kehidupan agar umat Islam mempunyai harkat dan martabat yang tinggi agar bisa duduk sejajar dengan umat lain, bukan umat peminta-minta dan kriminal.

Dengan demikian, jihad dalam perspektif Islam bukan semata perang dalam pengertian ansich, melainkan sebuah ikhtiar yang sungguh