Opini

Nilai Ibadah Pakai Masker di Masa Pandemi

Ahad, 2 Agustus 2020 | 00:00 WIB

Nilai Ibadah Pakai Masker di Masa Pandemi

Memakai masker merupakan ibadah dalam rangka menaati perintah Allah, Rasulullah, para ulama, dan umara.

Sejak Corona dinyatakan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebagai virus yang membahayakan jiwa manusia, banyak pihak seperti para dokter, ulama dan umara mengimbau agar masyarakat senantiasa memakai masker dalam beraktivitas sehari-hari di luar rumah. Namun, imbauan ini tampaknya diikuti dengan baik hanya oleh sebagian orang yang mau memahami bahwa virus ini memang berbahaya. Selain itu, mereka ingin menunjukkan ketataannya terhadap perintah agama yang mewajibkan untuk menjaga keselamatan jiwa (hifdzun nafs). 


Beberapa ulama seperti KH A Mustofa Bisri (Gus Mus), KH Said Aqi Siroj, dan sebagainya telah mengimbau masyarakat khususnya warga Nahdliyin untuk senantiasa memakai masker. Artinya memakai masker itu sebetulnya ibadah dan karenanya mendapatkan pahala dengan beberapa alasan sebagai berikut:


Pertama, memakai masker merupakan salah satu cara yang amat ditekankan oleh para ahli kesehatan dalam rangka menjaga keselamatan jiwa dari ancaman wabah virus Corona. Dilaporkan bahwa memakai masker sama efektifnya atau bahkan lebih efektif daripada menjaga jarak. Pernyataan ini sebagaimana dilontarkan penasihat Organisasai Kesehatan Dunia (WHO) Prof David Heymann CBE sebagai berikut:


"It might be that wearing a mask is equally as effective or more effective than distancing." (bbc.com, 2 April 2020).


Kedua, menjaga keselamatan jiwa (hifdzun nafs) hukumnya wajib. Kewajiban ini merupakan perintah langsung dari Allah subhanahu wa ta’ala sebagaimana termaktub di dalam Al- dalam surat Annisa’, ayat 29 sebagai berikut:


 وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا 


Artinya: "Dan janganlah kamu membunuh (membahayakan keselamatan) jiwamu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu." 


Ketiga, sebagai implikasi dari alasan kedua di atas, maka memakai masker hukumnya wajib. Hal ini berdasarkan kaidah fiqih sebagai berikut: 


مَا لاَ يَتِمُّ الوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ


Artinya: “Perkara wajib yang tidak sempurna kecuali dengannya, maka perantara itu menjadi wajib.”


Menjaga keselamatan jiwa hukumnya wajib dan memakai masker sebagai cara berlindung dari ancaman wabah virus Corona merupakan keharusan, maka berdasarkan kaidah fiqih ini hukum memakai masker adalah wajib. Masker merupakan sarana atau perantara yang amat penting dalam rangka mencegah penularan wabah virus Corona dari orang satu ke orang lain. 


Keempat, jika suatu perbuatan hukumnya wajib, maka menjalankan perbuatan itu diganjar dengan pahala oleh Allah subhanu wa ta’ala. 


Dr. Musa Syahin Lasyin dalam kitabnya berjudul Fathu al-Mun’im Syarh ٍhahih Muslim, (Dar al-Syuruq, Kairo, Cetakan I, 2002, Juz 8, hal. 195) menjelaskan tentang pahala dalam hubungannya dengan hukum wajib sebagai berikut:


الواجب الذي يثاب على فعله ويعاقب على تركه


Artinya: “Sesuatu yang hukumnya wajib akan diganjar dengan pahala ketika dilakukan dan diganjar dosa ketika meninggalkannya.”


Jadi sangat jelas bahwa memakai masker dalam rangka menjaga keselamatan jiwa akan diganjar dengan pahala sebagai implikasi dari hukum wajib yang melatarbelakanginya. Namun demikian banyak orang kurang memperhatikan masalah ini. Bahkan terkesan mereka mengabaikan pahala dari memakai masker ini. 


Banyaknya orang tidak memakai masker berakibat tingginya angka terinfeksi virus Corona. Setidaknya hal ini terjadi di beberapa kota di Jawa Timur seperti Surabaya, Sidoarjo dan Gresik sebagaimana dikemukakan oleh Gubernur Khofifah Indar Parawansa dalam suatu kesempatan di Surabaya (Okezone, 27 Juni 2020). Dikemukakannya bahwa di tempat-tempat ibadah termasuk masjid, gereja, dan pura masih ada 70 persen orang tidak menggunakan masker dan 84 persen tidak melakukan physical distancing.


Tentu saja fenomena tersebut menjadi aneh karena lazimnya orang-orang beragama cukup peduli terhadap hal-hal yang mendatangkan pahala dan berusaha meninggalkan hal-hal yang menimbulkan dosa. Apakah mereka telah mengabaikan hukum agama? Ataukah mereka tidak tahu bahwa hukum memakai masker sebagai bagian dari protokol ksesehatan adalah wajib selama masih ada wabah Covid-19 sebagaimana dikemukakan oleh KH Said Aqil Siraj? (NU Online, 15 Juli, 2020) 


Salah satu alasan yang dikemukakan Ketua Umum PBNU tersebut adalah “Jika tidak mengikuti protokol kesehatan akan mencelakakan diri sendiri dan orang lain. Hal itu jelas bertentangan dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala dan hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam” yang masing-masing berbunyi sebagai berikut:


وَلَا تُلْقُوا۟ بِأَيْدِيكُمْ إِلَى ٱلتَّهْلُكَةِ


Artinya: “Kamu jangan menjerumuskan masyarakat ke dalam jurang kecelakaan.” (QS: al-Baqarah, 195). 


لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ


Artinya: ”Tidak boleh melakukan sesuatu yang berbahaya dan menimbulkan bahaya bagi orang lain.” (HR. Ibnu Majah dan Ad-Daruquthni).


Kesimpulannya, memakai masker adalah wajib dan barang siapa memakainya akan mendapat pahala sebab hal ini merupakan ibadah dalam rangka menaati perintah Allah, Rasulullah, para ulama dan umara. Sebaliknya barang siapa sengaja menolak memakai masker dengan alasan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan, pasti Allah akan memperhitungkannya sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya berbunyi:


فَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُۥ 


Artinya: “Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (QS: al-Zalzalah, 7).


 وَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُۥ 


Artinya: “Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (QS: al-Zalzalah, 8).



Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta.