IPK Tinggi, Mutu Runtuh: Darurat Inflasi Nilai Akademik
NU Online · Senin, 4 Agustus 2025 | 00:00 WIB
Abdul Wachid B.S.
Kolomnis
Dalam berbagai prosesi wisuda yang kini marak diadakan oleh lembaga pendidikan, baik sekolah menengah maupun perguruan tinggi, terpampang deretan nama lulusan dengan predikat “cumlaude”. Nilai-nilai Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) yang mendekati sempurna—bahkan mencapai angka 4,00—menjadi hiasan yang membanggakan dalam buku wisuda dan baliho-baliho kelulusan. Fenomena ini tidak hanya terjadi di kota-kota besar, tapi juga di pelosok daerah. Bahkan, sekolah-sekolah swasta dan kampus-kampus milik ormas keagamaan seperti Nahdlatul Ulama pun mulai terjangkit euforia ini.
Namun di balik angka-angka yang tampak mencolok itu, masyarakat justru menunjukkan gejala keprihatinan. Banyak lulusan dengan IPK tinggi yang ternyata kesulitan menunjukkan kompetensinya secara nyata di dunia kerja maupun kehidupan bermasyarakat. Para pelaku industri, birokrat, bahkan kalangan pendidik sendiri mulai bertanya-tanya: apakah angka-angka tinggi itu betul mencerminkan kualitas?
Kondisi ini memunculkan istilah yang cukup menggugah: inflasi nilai akademik. Mirip dengan inflasi dalam dunia ekonomi, inflasi nilai akademik menggambarkan penurunan nilai substansial dari angka akademik itu sendiri. Nilai menjadi semacam formalitas yang mudah dibumbui, dirapikan, atau bahkan direkayasa. Di banyak tempat, proses pendidikan terjebak dalam ritual administratif yang menomorsatukan pencitraan—akreditasi, peringkat, dan kelulusan tepat waktu—ketimbang mutu proses dan kejujuran ilmiah.
Di sinilah persoalan utama mengemuka. Ketika IPK tinggi tidak lagi menjamin mutu, ketika cumlaude tidak lagi mencerminkan kemuliaan ilmu dan adab, maka pendidikan kita sedang menghadapi ancaman serius. Mutu lulusan bisa runtuh diam-diam, tanpa alarm, karena semua sibuk memoles angka, bukan membentuk jiwa.
Sebagai lembaga pendidikan Islam yang berakar pada tradisi ilmu dan akhlak para ulama, sekolah dan kampus-kampus Nahdlatul Ulama tidak boleh larut dalam arus ini. Kita mesti merenung, memperbaiki, dan meluruskan kembali niat mendidik: bukan sekadar mencetak lulusan dengan gelar dan angka, tapi membentuk manusia yang jujur, bertanggung jawab, dan amanah dalam keilmuannya.
Gejala Inflasi Nilai dan Sistem yang Melegitimasi
Inflasi nilai akademik bukan sekadar fenomena statistik, melainkan realitas yang kian nyata di ruang-ruang kelas dan podium wisuda. Setiap semester, jumlah mahasiswa dengan indeks prestasi kumulatif (IPK) mendekati angka sempurna semakin membengkak. Bahkan, dalam banyak wisuda di perguruan tinggi, barisan cumlaude seolah membentuk mayoritas, bukan lagi pengecualian istimewa.
Fenomena ini tidak bisa dilepaskan dari sistem evaluasi pendidikan yang semakin longgar dan terobsesi pada capaian angka. Banyak institusi pendidikan, termasuk perguruan tinggi swasta, terdorong untuk "memperindah" statistik lulusannya demi kepentingan akreditasi, reputasi, dan pemasaran kelembagaan. Akibatnya, terjadi semacam inflasi nilai yang tidak selalu sebanding dengan kualitas sesungguhnya.
Dr. Toto Rahardjo dalam salah satu tulisannya mengingatkan: “Ketika capaian akademik didikte oleh sistem angka, maka pendidikan kehilangan dimensi kebatinannya.” (Rahardjo, Menggugat Pendidikan Kaum Muda, Yogyakarta: Insist Press, 2013)
Angka bukan lagi cerminan mutu, tetapi justru menjadi kedok. Guru dan dosen, dalam banyak kasus, menghadapi dilema: apakah akan mempertahankan standar objektif yang ketat, atau menyesuaikan dengan iklim institusional yang mendorong pemurahan nilai demi kelulusan massal dan status akreditasi. Tidak sedikit lembaga pendidikan yang secara sistemik mendorong agar mahasiswa lulus tepat waktu dengan IPK tinggi, meski kualitas tugas akhir atau skripsi biasa-biasa saja, bahkan tidak layak secara intelektual.
Di sinilah sistem pendidikan kita—termasuk di lingkungan Nahdlatul Ulama—perlu melakukan evaluasi mendalam. Apakah kita sedang membentuk insan intelektual yang siap menjadi pemimpin peradaban, atau sekadar mencetak lulusan bertoga dengan angka indah tapi kosong makna?
Dalam tradisi pendidikan pesantren yang diwarisi NU, penilaian tidak hanya didasarkan pada hafalan atau ketuntasan materi, tetapi lebih pada adab, proses, dan kedalaman penguasaan. Maka menjadi ironi jika lembaga-lembaga pendidikan NU kini turut larut dalam euforia indeks, kehilangan warisan integritas yang telah menjadi jiwanya.
Dampak Sosial dan Kultural Inflasi Nilai
Inflasi nilai akademik membawa dampak serius yang merambat ke berbagai lini kehidupan sosial dan kultural masyarakat. Ketika nilai akademik tidak lagi sepadan dengan kompetensi sejati, maka yang terjadi adalah krisis kepercayaan terhadap lulusan perguruan tinggi. Dunia kerja tidak lagi menjadikan IPK tinggi sebagai jaminan kualitas. Bahkan, dalam banyak kasus, perusahaan atau lembaga justru lebih percaya pada portofolio kerja dan integritas personal ketimbang deretan angka di transkrip nilai.
Fenomena ini melahirkan semacam paradoks sosial: makin tinggi angka capaian, makin besar pula kecurigaan publik terhadap keabsahan capaian tersebut. Mahasiswa dengan IPK 4.00 tidak otomatis dianggap cemerlang secara pemikiran atau kemampuan problem-solving. Ia mungkin fasih menjawab soal pilihan ganda, tetapi gagap dalam menulis argumen ilmiah atau menghadapi dinamika sosial nyata.
Sosiolog Karel Veeger dalam Realitas Sosial dan Ilmu Sosial (2002) mencatat bahwa: “Ketika simbol kehilangan makna substansialnya, ia hanya akan menjadi ornamen yang mengaburkan realitas.” (Veeger, Realitas Sosial dan Ilmu Sosial, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002)
Dalam konteks pendidikan, IPK tinggi tanpa substansi adalah simbol yang kehilangan makna substansialnya. Ia menjadi ornamen yang justru membingungkan, bukan menjelaskan. Ini bukan semata soal statistik, melainkan soal kejujuran sistem dan tanggung jawab moral lembaga pendidikan.
Lebih jauh, inflasi nilai juga mengubah karakter mahasiswa. Alih-alih mengejar ilmu dan kebijaksanaan, sebagian mahasiswa justru terjebak dalam budaya instan: cukup dengan membeli tugas, meniru skripsi, atau mengandalkan relasi untuk lulus dengan nilai tinggi. Nilai akademik yang tinggi tanpa jerih payah menciptakan generasi “pintar angka” tapi miskin makna, generasi yang merasa layak diberi tempat, tapi tak siap memikul tanggung jawab sosial dan intelektual.
Di sinilah sesungguhnya tantangan besar pendidikan tinggi di lingkungan NU: bagaimana menjaga martabat akademik tanpa terjebak dalam perlombaan angka. Bagaimana membangun generasi muda yang tidak hanya unggul secara administratif, tetapi juga matang secara spiritual dan sosial.
Jalan Kembali ke Tradisi Keilmuan yang Bernurani
Dalam khazanah keilmuan Islam, termasuk yang berkembang di lingkungan pesantren-pesantren NU, ilmu tidak pernah dipisahkan dari adab dan tanggung jawab moral. Keilmuan bukan semata penguasaan materi atau angka, tetapi juga kematangan jiwa, kebeningan niat, dan kesediaan untuk menanggung beban kebenaran.
Dalam kitab Ta‘lîm al-Muta‘allim Tariq at-Ta’allum, yang menjadi salah satu bacaan wajib di banyak pesantren, Syekh Az-Zarnûjî menekankan bahwa: “Tujuan utama belajar adalah untuk mendapatkan petunjuk dan kemanfaatan, bukan untuk kebanggaan dan kedudukan.” [Az-Zarnûjî, Ta‘lîm al-Muta‘allim Tariq at-Ta’allum (Terj. K.H. Siradjuddin Abas), Surabaya: Pustaka Amani, t.t.]
Pernyataan ini menohok zaman sekarang, saat sebagian kampus menjadikan nilai akademik sebagai alat promosi institusi dan bukan lagi sebagai cerminan integritas ilmu. Akibatnya, muncul kebijakan yang memperlonggar standar agar semakin banyak “bintang akademik” yang bisa dipajang dalam brosur penerimaan mahasiswa baru, walaupun kualitas keilmuannya meragukan.
Kembali ke tradisi keilmuan yang bernurani berarti mengembalikan orientasi pendidikan ke arah pencarian makna, bukan semata pencapaian angka. Artinya, perlu ada pembenahan paradigma: guru tidak hanya sebagai penyampai materi, tapi juga penuntun jiwa. Mahasiswa tidak cukup hanya menjadi pelahap informasi, tapi juga pencari hikmah. Dan kampus tidak boleh hanya berfungsi sebagai pabrik gelar, tapi sebagai taman pemupukan akal dan karakter.
Langkah-langkah konkret bisa dimulai dari:
1. Menegakkan kembali standar akademik yang sehat, meski harus menghadapi risiko “tidak populer”;
2. Mendorong dosen untuk lebih jujur dan adil dalam penilaian, serta menjadikan tugas akhir sebagai momen pembuktian orisinalitas dan kedalaman berpikir;
3. Membangun budaya akademik yang menghargai proses, bukan hanya hasil.
Dengan begitu, nilai-nilai akademik tidak sekadar menjadi angka dalam ijazah, tetapi menjadi pantulan dari proses panjang penempaan ilmu, pengalaman, dan pertumbuhan batin.
Menjaga Martabat Ilmu di Tengah Godaan Sistemik
Inflasi nilai akademik adalah alarm yang harus didengar bersama. Ia bukan sekadar problem teknis administratif, melainkan krisis etika yang mengancam martabat dunia pendidikan. Bila nilai bisa dimanipulasi, bila IPK bisa dibentuk demi pencitraan institusi, maka yang rusak bukan hanya reputasi kampus, tetapi juga integritas keilmuan secara keseluruhan.
Apalagi dalam konteks Nahdlatul Ulama, yang memiliki ribuan lembaga pendidikan dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, tanggung jawab ini menjadi semakin besar. Pendidikan dalam tradisi NU bukan sekadar transmisi pengetahuan, melainkan transformasi adab dan kepribadian. Maka, membiarkan inflasi nilai terus berlangsung tanpa koreksi adalah bentuk pengkhianatan terhadap ruh pendidikan Islam itu sendiri.
Para pendidik di lingkungan NU, baik di pesantren maupun di kampus, dituntut untuk mengambil sikap tegas: tidak tergoda untuk ikut arus "industri nilai", tidak tunduk pada tekanan pasar, dan tetap menjunjung tinggi kejujuran akademik. Di sinilah sesungguhnya makna kiai intelektual dan guru ruhani diuji: bukan karena banyaknya karya ilmiah atau gelar, tetapi pada keberanian menjaga nilai kebenaran di tengah sistem yang semakin permisif.
Kita tidak anti pada prestasi akademik tinggi. Tapi prestasi sejati hanya bisa lahir dari proses yang jujur dan matang. Mari jaga agar setiap nilai mencerminkan perjuangan, bukan sekadar formalitas. Agar kelak, ketika para lulusan berdiri di tengah masyarakat, mereka bukan hanya membawa ijazah, tetapi juga membawa kemuliaan ilmu yang mencerahkan dan menenteramkan.
Maka lembaga pendidikan NU harus menjadi teladan dalam menjaga kejujuran akademik, menjunjung adab, dan memuliakan ilmu sebagai cahaya, bukan sebagai hiasan. Inilah amanah keulamaan yang diwariskan dari pesantren ke kampus, dari langgar ke ruang kuliah—dan kini menanti kita untuk menghidupkannya kembali.***
Abdul Wachid B.S., penyair dan Ketua Lembaga Kajian Nusantara Raya (LK Nura) di Purwokerto
Terpopuler
1
Ramai Bendera One Piece, Begini Peran Bendera Hitam dalam Revolusi Abbasiyah
2
Pemerintah Umumkan 18 Agustus 2025 sebagai Hari Libur Nasional
3
Pengetahuan tentang HKSR Jadi Kunci Cegah Kekerasan Seksual, Begini Penjelasannya
4
Bukan Hanya Kiai, Mustasyar PBNU: Dakwah Tanggung Jawab Setiap Muslim
5
Fatwa Haram Tak Cukup, Negara Harus Bantu Atasi Akar Ekonomi di Balik Sound Horeg
6
Gus Yahya: NU Bergerak untuk Kemaslahatan Umat
Terkini
Lihat Semua