Opini

Mengukur Dampak PSBB Total DKI terhadap Pemulihan Ekonomi Nasional

Sen, 14 September 2020 | 14:45 WIB

Mengukur Dampak PSBB Total DKI terhadap Pemulihan Ekonomi Nasional

Dalam kondisi normal pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta bisa mencapai sebesar 6.17 persen.

Jakarta merupakan satu di antara empat provinsi Indonesia yang menyumbang pendapatan terbesar ke kas negara. Ketiga provinsi lainnya adalah Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Banyak pusat-pusat industri dan perbelanjaan yang didirikan di wilayah tersebut.


Secara nasional, rekaman data Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa pada awal tahun 2018, pertumbuhan GDP (Gross Domestic Product) nasional, disumbang oleh Pulau Jawa sebesar 58,49 persen dengan tingkat pertumbuhan ekonomi sebesar 5,61 persen. 


Dari total agregat keterpengaruhan terhadap GDP nasional sebesar 58,49% itu, DKI Jakarta menyumbang dengan angka yang paling besar di antara tiga provinsi lainnya, yaitu sebesar 17,2%. Padahal waktu itu, pertumbuhan ekonomi regional Jakarta, tercatat sebesar 6.17 (yoy), lebih rendah dari tahun sebelumnya sebesar 6.20 (yoy). Meski menunjukkan trend penurunan, namun angka 6.17% itu juga merupakan angka yang cukup tinggi dibanding dengan nilai pertumbuhan nasional sebesar 5.61%. 


Awal tahun 2019, berdasarkan data yang tercantum dalam laporan tahunan Bank Indonesia, tercatat bahwa pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta mencapai 6.0%. Berarti ada tren penurunan kembali sebesar 0,17%. Meski demikian, angka itu masih menunjukkan skala pertumbuhan yang cukup tinggi. 


Berdasar laporan yang disampaikan oleh pemerintah DKI Jakarta pada Februari 2020, pertumbuhan ekonomi Jakarta triwulan IV tahun 2019, masih menunjukkan tren peningkatan. Ekonomi Provinsi DKI Jakarta terekam tumbuh sebesar 5,96% (yoy), yang kedudukannya lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan di triwulan III 2019 sebesar 5,89% (yoy). 


Angka pertumbuhan ekonomi ini merupakan yang lebih tinggi dari agregat pertumbuhan ekonomi nasional, yaitu sebesar 4,97% (yoy). Meski menunjukkan catatan yang lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi nasional, namun angka 5.96% itu juga mencatatkan papan penurunan sebanyak 4 digit. 


Pada Agustus 2020, DKI Jakarta terekam mencatatkan data laporan pertumbuhan perekonomiannya yang memiliki tren penurunan sebesar -8,22% (yoy) dengan rincian: 

 

  1. Pada Triwulan I 2020, DKI Jakarta mampu menabelkan pertumbuhan sebesar 5.06% (yoy).
  2. Selanjutnya, pada Triwulan II, angka pertumbuhan itu tiba-tiba jatuh merosot sedalam -8.22% (yoy). Padahal waktu itu, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sudah menerapkan PSBB transisi akibat wabah Panemi Covid-19. Artinya, mandeg roda perekonomian wilayahnya, namun tidak secara total. 


Lantas, apa nilai pentingnya data-data di atas terhadap PSBB?


PSBB total (Pembatasan Sosial Berskala Besar) merupakan bagian dari kebijakan lockdown total. Artinya, semua aktivitas masyarakat akan ditutup sementara dalam rangka menghambat siklus penyebaran Covid-19. 


Sudah barang tentu, berbekal rekaman data peranan DKI Jakarta dalam menyumbang GDP Nasional ini, kita tidak bisa memungkiri bahwa hambatan besar akan terjadi pada langkah pemerintah dalam mencanangkan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). 


Bila dengan angka pertumbuhan regional sebesar 6.17 persen saja, DKI Jakarta mampu menyumbang penyerapan GDP nasional sebesar 17.2% dari total agregat penyerapan, maka bagaimana bila kemudian pertumbuhannya menjadi terpuruk sedalam -8,22%, yang berarti merupakan palung terdalam dari pertumbuhan ekonominya. 


Dan yang lebih penting dicatat, adalah bahwa angka -8,22% ini muncul pada masa PSBB Transisi, yang artinya kurang lebih sama dengan kebijakan normal baru (new normal). Jadi, PSBB Total belum dilaksanakan dan baru diwacanakan. 


Oleh karenanya, potensi keterpurukan itu juga menjadi terbuka lebar sehingga tidak akan berhenti pada kisaran -8,22%. Angka itu bisa menjadi semacam bola liar. Sampai kapan akan berhenti. Tergantung berapa lama masa PSBB total itu akan dilaksanakan.


Jika kita asumsikan bahwa pada pertumbuhan ekonomi normal sebesar 6.17% saja DKI Jakarta mampu menyumbang GDP sebesar 17.2%, maka pada -8.22%, kita dapat asumsikan bahwa penggerusan ke GDP akan berlangsung sekitar −22.915%. 


Dengan demikian, ini ibarat sebuah alarm alam bagi kebijakan PEN yang mentargetkan pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 3%, setidaknya pada Kwartal III atau IV nanti. Padahal angka tersebut  masih berupa hitungan di atas kertas dengan angka riil yang sudah ada. Sebab, potensi terjun ke jurang yang lebih dalam itu masih terbuka lebar karena PSBB total belum dilaksanakan.


Dalam kondisi semacam ini, kita memang tidak bisa lagi untuk mengelak. Kita hanya bisa berharap, agar The Invisible Hand (Allah Yang Maha Kuasa) segera melepaskan negeri ini dari jerat dan jurang-jurang terjal yang harus ditempuhnya, di usianya yang baru saja menginjak 75 tahun. Sebuah usia yang seharusnya cukup tua dan bisa  berlaku lebih bijaksana. Wallahu a’lam bish shawab.

 

Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jawa TImur