Mengantar Da'i sebagai Pendamping Masyarakat
NU Online · Sabtu, 30 September 2006 | 08:41 WIB
Oleh: Hamami Zada
Teologi Dakwah Transformatif
Teologi yang dibangun dalam dakwah transformatif didasarkan pada jejak-jejak Rasulullah dalam melakukan aktivitas dakwah dan basis doktrinal yang terdapat dalam al-Qur’an. Dakwah transformatif memiluiki argumentasi teologis yang kuat bahwa kerja dakwah ini bukan hanya pemikiran rasional semata, melainkan juga menjadi perhatian dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
Nabi Muhammad Saw di Mekah sudah sadar bahwa misi dakwah yang utama selain persoalan akidah juga bagaimana menjawab problem-problem sosial yang terkait dengan masalah kemiskinan, kefakiran, ketidakadilan ekonomi, rendahnya moralitas dan kemanusiaan, kezhaliman, dan ketidakdilan yang dilakukan masyarakat Arab. Problem konkret di masyarakat Arab ketika itu mengehendaki seorang da’i yang tidak hanya melakukan perubahan kepercayaan dan keimanan, tetapi yang secara konkret mampu membangun kesadaran baru untuk mengatasi problem ketidakadilan sosial, ekonomi, dan politik, yang dihadapi masyarakat Arab.
Dakwah Nabi Muhammad bukan hanya penyebaran akidah Islam, tetapi juga untuk mengubah struktur masyarakat yang sudah bobrok. Nabi Muhammad berbeda dengan pendakwah lain, tidak berminat mengajarkan moralitas individu di dalam tatanan sosial yang bobrok. Persoalan yang dia hadapi bukanlah moralitas bawaan individu semata; bagi dia persoalan moral juga merupakan persoalan sosial, dan dengan demikian moralitas barunya hanya bisa dibangun dengan jalan mengubah struktur sosial yang sudah usang.
Karena itulah, pembacaan terhadap perjalanan (sirah) Muhammad akan menghasilkan tiga jenis transformasi. Pertama, transformasi sosio-kultural. Sebelum Muhammad diutus Allah, struktur masyarakat Arab dikenal amat feodal dan paternal yang selalu melahirkan fenomena penindasan. Secara garis besar, mereka terbagi ke dalam dua kelas yang saling bertentangan; kelas terhormat yang menindas (syarif/the oppressor) dan kelas budak dan orang miskin yang tertindas (mustadh'afin/the oppressed).
Islam turun membawa pesan egalitarianisme di semua bidang kehidupan. Islam yang dibawa Muhammad tidak lagi mengenal polarisasi miskin-kaya, lemah-kuat, penindas-tertindas, penguasa-dikuasai, dan seterusnya. Tidak ada lagi perbedaan manusia berdasar warna kulit, ras, suku, atau bangsa. Yang membedakan mereka bukan hal-hal yang bersifat fisik, tetapi nilai keimanan dan ketakwaannya (QS. 48:13). Konsep transformasi yang dicetuskan 14 abad lalu itu amat revolusioner, bukan saja bagi masyarakat Arab, tetapi umat manusia secara keseluruhan yang cenderung bertindak rasis dan diskriminatif terhadap sesama.
Kedua, keadilan ekonomi. Sejak diturunkan, Al Quran amat menekankan pemerataan dan keadilan untuk semua, bukan untuk sekelompok orang. Ia amat menentang penumpukan dan perputaran harta pada orang-orang kaya saja (QS. 59:7), sementara orang miskin selalu tertindas secara struktural dan sistemik. Untuk keperluan ini, Al Quran juga menganjurkan orang berpunya menafkahkan sebagian hartanya kepada fakir miskin (QS 2:219). Bagi mereka yang tertindas, Allah tidak saja telah menganjurkan untuk melawan segala bentuk penindasan dan penjajahan, namun juga menjanjikan mereka kemenangan (QS. 28:5). Di negara kita, keadilan masih menjadi barang luxurious, terlebih bagi kalangan lemah-tertindas. Keadilan hanya milik kaum berpunya. Hal ini amat dirasakan manakala kita melihat kebijakan pembangunan yang selalu merugikan wong cilik.
Ketiga, sikap terhadap agama lain. Keterbukaan, toleransi, dan respek pada agama lain merupakan elemen liberatif lain dalam Islam. Al Quran telah membuat diktum secara tegas, tidak ada pemaksaan dalam beragama (QS 2:256), bagimu agamamu, bagiku agamaku (QS. 109:6), dan Al Quran telah mengajarkan penghormatan kepada semua Nabi yang diturunkan Allah ke dunia (QS. 4:150-51). Toleransi yang kuat dalam sejarah Islam di Madinah telah melahirkan sikap-sikap yang moderat dan pro perdamaian, sehingga terjadi masyarakat pluralistik yang damai.
Metodologi Dakwah Transformatif
Dakwah transformatif dilakukan dalam dua metode, yaitu metode refleksi dan aksi. Daur refleksi dan aksi ini meniscayakan bahwa dakwah transformatif bukan sekadar berada dalam arena verbal, melainkan juga dalam arena aksi. Selama ini memang yang menjadi basis gerakan dakwah adalah dakwah verbal dalam bentuk pengajian, majlis ta’lim, dan ceramah-dialog (radio da
Terpopuler
1
Soal Tambang Nikel di Raja Ampat, Ketua PBNU: Eksploitasi SDA Hanya Memperkaya Segelintir Orang
2
Meski Indonesia Tak Bisa Lolos Langsung, Peluang Piala Dunia Belum Pernah Sedekat Ini
3
Cerpen: Tirakat yang Gagal
4
Jamaah Haji Indonesia Diimbau Tak Buru-buru Thawaf Ifadhah, Kecuali Jamaah Kloter Awal
5
Jamaah Haji Indonesia Bersyukur Tuntaskan Fase Armuzna
6
Pentingnya Kematangan Pola Pikir dan Literasi Finansial dalam Perencanaan Keuangan
Terkini
Lihat Semua