Opini

Kebangkitan Nasional, Perspektif Politik Global

Kam, 20 Mei 2021 | 01:00 WIB

Kebangkitan Nasional, Perspektif Politik Global

Ilustrasi: pergerakan nasional mengalami percepatan penyikapan terhadap kolonialisme.

Oleh: Adhi Ayoe Yanthy

Penetapan hari Kebangkitan Nasional 20 Mei, adalah tanggal berdirinya Organisasi Budi Utomo pada  20 Mei 1908 oleh Soetomo dan beberapa Mahasiswa Kedokteran di Sekolah Pendidikan Dokter Hindia (STOVIA) di Jakarta bersama dengan seorang Dokter senior Wahidin Sudirohusodo.

 

Sementara perayaan memperingati hari kebangkitan Nasional dimulai sejak Presiden Soekarno pada  16 Desember 1959, dengan Keputusan Presiden Nomor 316 Tahun 1959 Tentang Hari-Hari Nasional Yang Bukan Hari Libur,  adalah Hari Kebangkitan Nasional  20 Mei.

 

Hikmah dan ketauladanan apa yang bisa dipelajari dari sejarah berkumpulnya kelompok muda terdidik di zamannya, menyikapi kolonialisme ketika itu?

 

Pertama, adalah keinginan memperluas akses pendidikan yg terbuka untuk laki dan perempuan, yakni dengan menggunakan keyakinan terhadap 'ilmu pengetahuan' sebagai alat perubahan. Sekaligus upaya untuk menyesuaikan identitas diri, sebagai anak Bumi Putera dengan perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan saat itu.

 

Penggagas serta pelakunya merupakan 'pembaharu' atau mujtadid, walau dalam pendirian awal kesempatan itu ditujukan untuk wilayah dan kelompok masyarakat Jawa, pola kesadaran dianggap mampu menginspirasi kelompok masyarakat daerah lainnya mengagregasi kelompoknya berlandaskan ilmu pengetahuan dan jalan perluasan akses pendidikan.

 

Kedua, kesadaran terhadap kondisi kemasyarakatan di bawah tekanan pemerintah kolonial dikontruksi dengan ketertiban dan disiplin organisasi. 

 

Budi Utomo, sebagai organisasi 'modern' pertama yang didirikan oleh Bumi Putera, telah membuat dan memiliki perangkat lengkap sebuah organisasi. Seperti, Tujuan, Keanggotaan, Iuran anggota, Aturan Pertemuan dan Rapat, serta Laporan.

 

Dengan dua modal di atas, pergerakan nasional mengalami percepatan penyikapan terhadap kolonialisme. Perspektif 'Negara' pascakolonial mulai dibicarakan dan dipersiapkan, dengan berbasis kesempatan sama dan kesetaraan akses pendidikan, tanpa diskriminasi.

 

Pada praktiknya kesetaraan mengalami hambatan kultural yaitu alam 'feodalisme', sehingga tradisi bekerja dan bertindak berlandaskan ilmu pengetahuan berhenti, bahkan sebatas status sosial privillege untuk sekelompok warga masyarakat. Sehingga, solusi yang dipilih masyarakat dalam memandang permasalahan sosial yang dialaminya tidak lagi berbasis ilmu pengetahuan, melainkan ilmu pengetahuan yang diperoleh mengeksploitasi kelompok lainnya.

 

Visi atas kesetaraan tanpa diskriminasi Budi Utomo adalah ide hadirnya nasionalisme anak pribumi, juga perihal 'Negara' nasional yang mengakomodir kebhinekaan atas sistem nilai serta tradisi yg ada di wilayah Hindia Belanda.

 

Dalam hal ini, institusi 'Negara', adalah organisasi sebagai perwujudan 'harga diri' sekaligus martabat dan kedaulatan kewarganegaraan suatu bangsa. Sehingga permasalahan bangsa mendatang adalah masalah bersama, sebagai Indonesia yang utuh. 

 

Fakta dan realitas keterserpihan kelompok  bisa tercermati terhadap peristiwa di Libya, Suriah, juga Palestina hari ini, sebagai peristiwa kebangsaan yang retak karena tiadanya persatuan.

 

Kebangkitan Nasional menginterpretasikan keindonesiaan dalam khasanah ilmu pengetahuan sebagai ruang kesadaran dan kebersamaan. Juga bisa menjadi arena kecerdasan dan kesejahteraan--sebagaimana tujuan bernegara, yang diselenggarakan berdasar riset ilmu pengetahuan. Kesejahteraan yang harus diwujudkan tidak semata dengan mitos, jargon maupun sebatas orasi yang utopia.

 

Kebangkitan nasional, merupakan nasionalisme yang dipimpin ilmu pengetahuan, yang menggunakan kesetaraan dalam proses pendidikan sebagai penghadiran 'Indonesia' yang berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi tetapi tetapi tetap berkepribadian Indonesia. Semoga!

 

Jakarta, 20 Mei 2021.

 

Penulis adalah Sekjen DPP Pergerakan Sarinah