NU Online sebagai Jalan Kebudayaan: Revitalisasi Sastra di Era Digital
NU Online · Rabu, 16 Juli 2025 | 15:18 WIB
Abdul Wachid B.S.
Kolomnis
NU bukanlah gerakan politik kekuasaan. Ia bukan partai, bukan pula kendaraan untuk rebutan kursi dan jabatan. Sejak awal berdirinya, NU lebih merupakan gerakan kultural dan kerakyatan yang menanamkan nilai-nilai Islam Ahlussunnah wal Jamaah melalui jalan tradisi, pendidikan, dan ekspresi kebudayaan. Inilah watak dasar NU yang membedakannya dari organisasi-organisasi lain: ia tumbuh dari akar budaya masyarakat dan menyapa umat dengan bahasa yang mereka pahami.
NU Online, sebagai media resmi digital Nahdlatul Ulama, semestinya meneguhkan jalan kebudayaan ini. Perannya tidak cukup hanya sebagai penyampai berita dan opini keagamaan formal, tetapi juga sebagai rumah bagi ekspresi-ekspresi kultural yang menjadi bagian dari dakwah NU selama berabad-abad.
Dalam konteks ini, politik NU adalah politik kebudayaan—yakni politik yang membangun kesadaran, bukan kekuasaan; yang menumbuhkan, bukan merebut; yang menyapa dan merangkul, bukan memaksa. Sebagaimana dijelaskan Ariel Heryanto, politik kebudayaan bukanlah soal seni atau warisan budaya semata, melainkan “segala bentuk artikulasi nilai dan makna yang membentuk identitas dan relasi kuasa di masyarakat” (Heryanto, Ariel. Pop Culture and Competing Identities in Indonesia. Routledge, 2010).
Sejarah membuktikan bahwa dakwah para Wali Songo pun bukan dengan mimbar politik, melainkan dengan pendekatan budaya: seni, sastra, gamelan, tembang, pertunjukan rakyat, dan laku spiritual yang membumi. Di sinilah titik temu antara dakwah dan kebudayaan, antara pesan agama dan sastra rakyat.
Dalam sejarah kontemporer NU, kita menyaksikan bagaimana jalan kebudayaan ini dilakoni dengan penuh keluhuran oleh para kiai sekaligus sastrawan dan budayawan. Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari menanamkan nilai-nilai keulamaan yang lembut namun teguh dalam pengajaran dan laku hidup.
Begitu juga KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) secara eksplisit menjadikan kebudayaan sebagai strategi peradaban dan pembebasan. KH Saifuddin Zuhri menulis dengan gaya naratif-historis yang kuat dalam Guruku Orang-Orang dari Pesantren, membuka ruang imajinasi santri tentang jati dirinya. KH A. Mustofa Bisri (Gus Mus) dengan puisi-puisinya menyampaikan nilai cinta, welas asih, dan kebijaksanaan Islam. KH D. Zawawi Imron membumikan sastra sebagai napas spiritualitas kampung. KH Ahmad Tohari menyuguhkan cerita-cerita rakyat dengan kedalaman religiositas sosial. Emha Ainun Najib menghubungkan sufisme, seni, dan kritik sosial dalam satu panggung. Mereka adalah teladan hidup dari bagaimana sastra dan kebudayaan bukan hanya menjadi pelengkap dakwah NU, tetapi jantungnya.
Maka menjadi penting bagi NU Online untuk memberi porsi yang lebih besar pada ranah kebahasaan, kesastraan, dan kebudayaan. Ranah-ranah ini bukan hanya sebagai pelengkap, tetapi sebagai poros penting dalam menyampaikan nilai-nilai Aswaja secara halus, mendalam, dan menyentuh rasa.
Sastra sebagai Medium Dakwah
Sastra pesantren adalah warisan besar yang telah menjadi ruh dari ekspresi keislaman tradisional di Indonesia. Ia tidak melulu dalam bentuk kitab kuning atau syair-syair Arab klasik, tetapi juga tumbuh dalam bentuk prosa liris, tembang macapat, syair-syair Jawa, cerita-cerita rakyat bernuansa sufistik, hingga humor-humor khas kiai kampung. Semua itu membentuk kosmologi sastra NU: sastra yang bertaut dengan zikir, dengan hikmah, dengan laku hidup.
Baca Juga
NU Online dan Transformasi Ritmisnya
Namun hari ini, sastra pesantren cenderung terpinggirkan. Ia kalah oleh gegap gempita politik dan narasi besar yang kerap tak menyentuh kehidupan umat secara ruhaniah. Sastra dianggap terlalu "ringan", padahal justru di sanalah letak kekuatannya: menyampaikan yang rumit dengan sederhana, menyentuh yang abstrak dengan konkret, menghubungkan hati dengan hikmah.
Dalam perspektif Clifford Geertz, budaya bukan hanya ekspresi simbolik, tetapi sistem makna yang dihayati secara kolektif dan menjadi “kerangka tafsir untuk memahami dunia” (Geertz. The Interpretation of Cultures. Basic Books, 1973). Sastra dalam konteks pesantren adalah penafsir kehidupan yang penuh makna dan nilai.
Karena itu, NU Online perlu merevitalisasi sastra pesantren. Tidak cukup dengan sesekali menampilkan satu dua puisi atau cerpen, tetapi dengan membangun rubrik khusus yang secara berkelanjutan menampung karya-karya: cerpen dan puisi bertema ke-NU-an dan pesantren, esai kebahasaan dan kesastraan, kajian kebudayaan pesantren.
Media Literasi Santri dan Generasi Muda
Revitalisasi ini bukan hanya penting bagi kesinambungan nilai-nilai NU, tetapi juga sangat relevan untuk literasi generasi muda NU di era digital. Banyak santri dan pelajar NU yang memiliki minat besar dalam dunia tulis-menulis, tetapi mereka kekurangan ruang yang bisa mengapresiasi karya mereka dengan semangat ke-NU-an.
Rubrik sastra dan kebudayaan ini bisa menjadi ruang kaderisasi literasi santri. Bukan hanya ruang ekspresi, tetapi juga ruang pembelajaran dan pengasahan bakat. Dari sinilah akan lahir para penulis, penyair, esais, dan budayawan muda yang menyerap nilai-nilai tradisi sekaligus berbicara dalam bahasa zamannya.
Sebagaimana ditegaskan oleh Paulo Freire, literasi bukan hanya kemampuan membaca dan menulis, tetapi “tindakan sadar untuk mengubah dunia” (Freire. Pedagogy of the Oppressed. Continuum, 1970). Maka, literasi santri melalui sastra adalah bentuk transformasi sosial yang subtil dan berakar.
Dakwah yang Menyapa Akal dan Rasa
Satu hal yang sering dilupakan dalam dakwah digital hari ini adalah pentingnya menyentuh akal dan rasa secara bersamaan. Terlalu banyak dakwah yang bersifat rasional normatif, namun kehilangan daya pikat estetis dan kedalaman rasa. Padahal, dalam sejarah Islam, para sufi dan ulama besar selalu memadukan antara hujjah dan hikmah, antara teks dan konteks, antara syariat dan cinta.
Sastra memiliki keistimewaan dalam menyampaikan nilai-nilai spiritual tanpa terasa menggurui. Ia menawarkan hikmah dalam bentuk cerita, pelajaran dalam bentuk keindahan. Dalam puisi, misalnya, tersimpan kekuatan dzikir; dalam cerpen, terkandung kisah teladan; dalam esai budaya, hidup renungan tentang hidup dan mati.
Susan Sontag menyebut bahwa karya sastra dan seni mampu "menghadirkan empati dan memperluas batas kesadaran moral" melalui pengalaman estetis yang dalam (Sontag. Regarding the Pain of Others. Farrar, Straus and Giroux, 2003).
Karena itu, NU Online harus melihat sastra bukan sebagai “selingan” dari konten keagamaan yang serius, melainkan sebagai jalan dakwah yang menyentuh. Dengan menyapa rasa, kita justru bisa menumbuhkan kesadaran yang lebih dalam.
Menjadi Medan Kebudayaan yang Hidup
Akhirnya, NU Online perlu menjadikan dirinya bukan hanya sebagai media informasi, tetapi sebagai medan kebudayaan yang hidup. Sebuah ruang di mana bahasa, sastra, musik, simbol, dan tradisi mendapat tempat terhormat. Sebuah ruang di mana santri merasa memiliki rumah bagi ekspresi dan imajinasinya. Sebuah ruang di mana masyarakat bisa melihat wajah NU yang lembut, mendalam, dan kreatif.
Sebagaimana dikatakan Raymond Williams, kebudayaan adalah medan perjuangan makna yang selalu hidup dan berubah (Williams. Marxism and Literature. Oxford University Press, 1977). Maka, menjadikan NU Online sebagai rumah kebudayaan berarti ikut menjaga medan perjuangan makna Islam Nusantara dari reduksi ideologis yang sempit.
Gerakan kebudayaan adalah ruh NU. Bila ruh ini dirawat dengan serius, maka NU Online akan tumbuh bukan hanya sebagai media besar, tetapi sebagai cahaya kultural yang menyinari ruang-ruang batin umat. Dan sastra adalah pelita kecil yang menuntun jiwa ke arah cahaya itu.
Abdul Wachid B.S., penyair, Guru Besar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, dan Ketua Lembaga Kajian Nusantara Raya (LK Nura) di Universitas Islam Negeri Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto.
Terpopuler
1
Santri Kecil di Tuban Hilang Sejak Kamis Lalu, Hingga Kini Belum Ditemukan
2
Pastikan Arah Kiblat Tepat Mengarah ke Ka'bah Sore ini
3
Sound Horeg: Pemujaan Ledakan Audio dan Krisis Estetika
4
Perbedaan Zhihar dan Talak dalam Pernikahan Islam
5
15 Ribu Pengemudi Truk Mogok Nasional Imbas Pemerintah Tak Respons Tuntutan Pengemudi Soal ODOL
6
Operasional Haji 2025 Resmi Ditutup, 3 Jamaah Dilaporkan Hilang dan 447 Meninggal
Terkini
Lihat Semua