Opini

Tiada NU dalam Pelajaran Sejarah di Sekolah

Sel, 20 April 2021 | 22:00 WIB

Tiada NU dalam Pelajaran Sejarah di Sekolah

Sulit memahami bahwa beliau tidak memandang bahwa KH Hasyim Asyari lebih penting untuk disebut dalam kamus sejarah versi pemerintah daripada Van Mook (gubernur Jenderal Hindia Belanda) atau Sekar Maji Kartosuwiryo (Imam DI/TII).

Oleh Iman Zanatul Haeri


NU di Sekolah

Buku elektronik Kamus Sejarah Indonesia Jilid I 1900-1950 menuai kontroversi karena tidak terdapat nama tokoh besar NU, KH Hasyim Asyari dalam kamus tersebut. Sementara, misal, tokoh kontroversi seperti Amien Rais dan Abu Bakar Ba'asyir malah tercantum. Tidak hanya buku resmi dari pemerintah, bahan ajar yang disediakan untuk pelajaran sejarah di sekolah juga sangat minim menampilkan peran NU dalam kancah pergulatan kebangsaan Indonesia. Hal ini sebenarnya mengungkap persoalan lama tentang sulitnya gerbong ‘Islam Tradisional’ untuk masuk ke dalam narasi sejarah sekuler yang diajarkan di sekolah. 


Mungkin sampai hari ini masih banyak kalangan awam yang menganggap pertempuran Surabaya hanya soal pidato Bung Tomo, pekik takbir dan Mobil Jendral WS Mallaby yang terbakar. Kemudian Pecahlah perang yang dinobatkan menjadi Hari Pahlawan tepat 10 November 1945. Anggapan ini merupakan warisan pelajaran sejarah di sekolah yang memang didominasi oleh narasi sekuler dan Islam Modern. Sekuler disini adalah narasi kaum nasionalis dan yang dimaksud Islam Modern tentu saja tokoh-tokoh pergerakan awal Islam seperti Sarekat Islam, Muhammadiyah dan belakangan Masyumi. 


Seandainya KH Agus Sunyoto tidak berupaya keras untuk mengadakan penelitian sejarah dan mencari dokumen otentik bahwa KH Hasyim Asyari memobilisasi para santrinya untuk bergabung dalam Pertempuran Surabaya, mungkin saja narasi ‘Resolusi Jihad’ tidak akan sampai ke permukaan. Seolah-olah Nahdlatul Oelama tidak punya kontribusi besar dalam perang kemerdekaan. 


Meskipun sudah banyak sejarawan NU yang yang mengupas peran para kiai, nyai, pesantren dan para santrinya dalam pembentukan kesadaran Nasional, upaya mempertahankan Kemerdekaan dan komitmen terhadap kebangsaan pada masa kritis,--narasi tersebut tetap saja belum masuk dalam pelajaran sejarah di sekolah. 


Persoalan ini penulis temui sendiri saat mengajar di Madrasah Aliyah (MA) kelas XII untuk mata pelajaran Sejarah Indonesia. Pada saat membahas materi peran Pemuda sejak zaman kolonial hingga reformasi, peran NU dan para tokohnya dalam pelajaran ini sangat minim sekali. Sebagai contoh dalam satu buku paket terbitan swasta, peran pemuda dan organisasi-organisasinya hanya menyebut organisasi pemuda sekuler-nasionalis dan Islam modernis seperti Haji Samanhudi dari Sarekat Islam, Dr Soetomo (Budi Otomo), Tan Malaka, Moh Yamin, Mohamad Natsir (Masyumi), Silas Papare dan lainnya. 


Para tokoh tersebut perannya memang luar biasa, namun penempatannya tidak seimbang mengingat soal kepemudaan tahun 1934 sudah berdiri Anshoru Nahdlatul Oelama (ANO) yang didirikan oleh KH Abdul Wahab. Jika dilacak lebih jauh, Mbah Wahab sudah mendirikan Subhanul Wathan (Pemuda tanah Air) sebagai cikal bakal Anshor sejak tahun 1924 sebelum Kongres Pemuda II. Meskipun Anshor sempat disebut, namun porsinya tidak begitu besar. Padahal dalam kompetensi dasar (KD) materi sejarah Indonesia kelas XII membahas perjuangan tokoh Nasional dan Daerah dalam mempertahankan kemerdekaan (KD 3.2 & 4.2) dan peran Pemuda dalam perubahan politik di Indonesia (KD. 3.7 & 4.7). Harusnya ada banyak nama-nama tokoh NU yang bisa disebut dalam pelajaran sejarah di sekolah. 


Beruntung, para santri yang belajar di madrasah dari tingkat MTs dan MA mendapatkan materi sejarah NU melalui mata pelajaran lain, yakni Ke-NU-an. Namun ini khusus untuk Madrasah dibawah naungan LP Ma'arif NU. Persoalannya, para siswa di sekolah tidak pernah mengetahui peran NU sehingga besar kemungkinan narasi moderat yang ditawarkan NU seolah-olah keluar dari jalur sejarah resmi yang diajarkan sekolah. Meski demikian, terdapat alternatif agar peran NU setidaknya masuk dalam sejarah resmi di sekolah. 


Magis Sejarah


Guna melengkapi kekurangan mata pelajaran (mapel) Sejarah Indonesia, kurikulum 2013 (Kurtilas) menyediakan mapel Sejarah Peminatan untuk mengisi kekosongan tersebut. Misal dalam KD 3.8 & 4.8 berkaitan akar Nasionalisme, dan KD 3.10 & 4.10 mengenai strategi pergerakan nasional di kelas XI berpeluang besar untuk menjelaskan peran NU dalam narasi sejarah di sekolah yang tidak dijelaskan mata pelajaran sejarah Indonesia. 


Bahkan untuk memperkuat argumen bahwa masyarakat Islam di Indonesia tidak sepenuhnya mendukung gerakan Pan-Islamisme yang bersemi pada awal abad ke-20 dalam KD 3.5 &4.5, keputusan NU untuk membentuk Komite Hijaz telah membuktikan penolakan terhadap gerakan Islam Transnasional yang berseberangan dengan pergerakan Nasional. Sayangnya, fakta bahwa NU lebih mendukung kedudukan pergerakan Nasional daripada gerakan komite Khilafah tidak dibayar dengan cara menyebutkannya dalam pelajaran sejarah yang didominasi tokoh nasionalis sekuler.


Meskipun peran NU terhadap narasi kebangsaan sangat besar, hal itu tidak menghentikan Kemdikbud menyusun buku kamus sejarah yang tidak mencantumkan pendiri NU dan tokoh yang paling dihormati tersebut. Padahal sebagai editor kamus tersebut, Sejarawan Susanto Zuhdi sempat diundang dalam Simposium Islam Nusantara yang diadakan PBNU pada awal tahun 2020 untuk memberikan pendapatnya mengenai konsepsi yang dicetuskan NU dalam membentengi bangsa Indonesia dari narasi Islam Transnasional. Sulit memahami bahwa beliau tidak memandang bahwa KH Hasyim Asyari lebih penting untuk disebut dalam kamus sejarah versi pemerintah daripada Van Mook (gubernur Jenderal Hindia Belanda) atau Sekar Maji Kartosuwiryo (Imam DI/TII). Di mana keduanya justru tokoh yang paling menghambat gagasan kebangsaan dan kemerdekaan Indonesia malah terdapat dalam kamus tersebut.


Meskipun peluang masuknya peran NU dalam narasi sejarah di sekolah terbuka lebar melalui sejarah peminatan, namun melalui kebijakan penyederhanaan kurikulum, mata pelajaran Sejarah Peminatan direncanakan akan dihapus. Artinya hanya akan ada narasi tunggal soal kebangsaan yang disediakan mata pelajaran sejarah Indonesia. 


Hilangnya mata pelajaran sejarah peminatan akan berpengaruh terhadap potensi masuknya peran NU dalam narasi sejarah resmi di sekolah. Ironisnya, pembuat kebijakan tersebut dan mereka yang berperan terhadap minimnya porsi NU, para tokohnya dan pemikiran moderasi Islam dalam sejarah Indonesia di sekolah dulunya adalah siswa-siswi sekolahan yang sejak awal tidak mendapatkan pemahaman tentang pentingnya komitmen kebangsaan organisasi Islam terbesar di dunia ini. Alasan utamanya karena pada masa lalu narasi kebangsaan NU hanya diajarkan di pondok pesantren dan memang bukan konsumsi sekolah. 


Sementara di sekolah penjelasan sejarah kebangsaan semakin kering karena kehilangan spirit magis dan terikat oleh birokrasi standar pendidikan yang meniadakan tutur sejarah sebagai penghormatan atas menyimak masa lalu. Jika peran NU yang minim dalam buku sejarah sekolah dibiarkan maka, narasi nasionalis sekuler akan makin mengeras karena sulit menemukan daya magis. Mirip ratusan monumen yang dibangun negara namun tetap ditinggalkan oleh generasi baru karena ‘mereka’ tidak merasa terlibat di dalamnya. Rasa bosan yang terus beregenerasi karena rasa hilang tanpa jawaban. Situasi ini akan berbahaya jika terus diturunkan pada generasi berikutnya. Kita sedang menyaksikan pengulangan sejarah dan akan menderita karena membiarkannya. 


Penulis adalah guru sejarah, alumnus Pesantren Al-Ihya Kaduronyok, Pengajar di MA Al-Tsaqafah dan sekarang aktif sebagai Kabid Advokasi Guru Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G)