Opini

Jihad, Ijtihad, dan Mujahadah sebagai Strategi Kebudayaan Santri

Ahad, 22 Oktober 2023 | 10:00 WIB

Jihad, Ijtihad, dan Mujahadah sebagai Strategi Kebudayaan Santri

Ilustrasi: santri Sirojuth Tholibin Brabo, Grobogan, Jawa Tengah. (Foto: Dok. Pesantren Sirojuth Tholibin Brabo)

Tema hari Santri tahun 2023 kali ini, “Jihad Santri Jayakan Negeri” menemukan relevansinya. Terutama dengan penetapan hari santri oleh pemerintah yang merujuk kepada Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 yang dikumandangkan oleh Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari. Bagi santri, jihad mememertahankan negeri yang telah merdeka dan berdaulat adalah bagian dari tugas keagamaan. 


Dari Resolusi Jihad pula menegaskan satu isyarat bahwa peran santri, kyai dan pesantren bukan semata asik di menara gading untuk memelajari khazanah Islam, sehingga lupa pada realitas di lapangan, tapi juga memiliki tanggung jawab bahkan amanat untuk mensyukuri sebuah negeri yang menjadi sajadah panjang para santri. Dalam konteks ini, Gus Dur pernah berujar, “Guru realitasku adalah spiritual; dan guru spiritualku adalah realitas.”


Tema “Jihad Santri Jayakan Negeri” juga membuka kembali serpihan-serpihan peristiwa keagamaan yang selama ini menjadi laku para santri dan kyai di pesantren. Karena saat kita mendekati kata jihad dalam perubahan derivasinya (tashrif) akan punya konsekuensi semantik sekaligus praktik. 


Pertama, jihad. Kata Jihad secara generik memiliki makna satu usaha keras, bekerja keras, kesungguhan, keuletan, sungguh-sungguh, bersedia bersusah payah, hingga berperang. Jika diamati, seluruh makna ini bertumpu pada kesiapan fisik (jasmani). Sehingga jihad dalam konteks ini, kesiapan dan kesediaan dari jasad para santri untuk melakukan kerja-kerja keras yang akan menguras energi fisik mereka, seperti menjaga berlatih kuda-kuda dalam dunia persilatan.


Kedua, ijtihad. Kata ini adalah derivasi lain dari jihad dan memiliki rumpun  makna yang sama yakni kesungguhan dan kerja keras. Jika kesungguhan jihad berangkat dari kesiapan fisik (body) atau jasmaniyyah, maka ijtihad adalah kesungguhan dan kerja keras yang berangkat dari kesiapan dan kesediaan pemikiran dan renungan (mind) atau nafsaniyyah atau aqliyyah. Di lingkungan fiqih, ijtihad digolongkan dalam ijtihad mutlak, dan ijtihad muqayyad, atau muntasib. 


Dalam ijtihad mutlak, berijtihad tak semata menggali hukum-hukum baru, tapi sekaligus menemukan metode baru yang orisinal. Nama-nama besar seperti Abu Hanifah (peletak mazhab Hanafi), Malik bin Anas (peletak mazhab Maliki), Muhammad bin Idris al-Syafi'i (peletak mazhab Syafi'i) dan Ahmad bin Hanbal (peletak mazhab Hanbali), adalah para mujtahid peletak mazhab yang masuk dalam golongan ijtihad mutlak.


Sementara ijtihad muqayyad, atau muntasib, adalah ijtihad yang terbatas pada upaya penggalian hukum (istinbath al-ahkam), dengan metodologi yang dipinjam dari hasil pemikiran orang lain. Karena mazhab merupakan metode penggalian hukum, bukan hukum yang diperoleh dengan metode itu sendiri.


NU yang berbasis di pesantren-pesantren hingga saat ini masih meneruskan tradisi ijtihad muqayyad melalui program bahtsul masail yang dilakukan secara berkala. Langkah ini jadi cermin bahwa pesantren sebagai wahana tarbiyah dan taklim punya tanggung jawab untuk memberi solusi terhadap problematika keumatan, masyarakat, hingga persoalan bangsa dan kemanusiaan. 


Tentu saja tradisi ijtihad dalam wilayah pemikiran ini mesti dipertahankan sekaligus dikembangkan lebih jauh dan lebih dalam lagi. Mengingat problem-problem sains dan pemikiran begitu cepat menyergap dan menyusup di relung-relung umat. Maka dalam konteks ini, para santri sejak awal mesti memiliki bekal cukup dalam menguasai kosmologi, metafisika, psikologi spiritual dan etika.


Ketiga, mujahadah. Mujahadah masih sama memiliki akar dari kata jihad. Kali ini, aksentuasi dalam mujahadah terletak pada kesungguhan, dan keuletan dalam menjalankan praktik-praktik ruhaniyyah (spiritual). Di antara ciri khas pesantren NU adalah praktik-praktik zikir dan wirid yang diajarkan kyai kepada para santri. Pada wilayah ini, santri diajak untuk mengenal wilayah ruhaniyah mulai dari yang bersifat teoritis hingga praktik-praktik mendalam seperti tradisi suluk dan tarekat di lingkungan NU.


Pembacaan satu miliar Shalawat Nariyah dalam perhelatan Hari Santri 2023 adalah bagian dari wilayah mujahadah. Begitu juga dengan kegiatan Ijazah Kubro yang dipelopori Pengurus Pusat Pagar Nusa NU pada momen Hari Santri 2023 kali ini. Kegiatan Ijazah Kubro mengandaikan bahwa amalan-amalan santri sehebat apapun harus memiliki transmisi (sanad) keilmuan yang jelas. 


Sebagaimana dalam ranah ijtihad, di wilayah mujahadah, keberadaan sanad menjadi sangat esensial karena menyangkut genealogi keilmuan. Melalui pandangan dan sikap demikian, santri dan kyai di pesantren adalah para penjaga, perawat sekaligus penerus transmisi keilmuan keislaman yang genealogis dan otoritatif.


‘Alaa kulli haal, ketiga prinsip di atas sejatinya strategi kebudayaan yang selama ini dijalankan santri-santri di pesantren. Ketiga diksi itu kemudian terwakili dalam diksi jihad. Dapat dibayangkan jika santri memiliki tiga prinsip di atas tentu memiliki karakter yang sangat kuat dalam menjawab problematika keumatan. Salah satunya adalah sikap Mbah Hasyim dalam merespon kedatangan sekutu yang diboncengi NICA di Surabaya saat itu.


Melalui Resolusi Jihad, Sang Pendiri NU itu menyeru dan menyatakan perang dengan siapapun yang merongrong kedaulatan negara. Maka tema “Jihad Santri Jayakan Negeri” sebenarnya menjadi cambuk sekaligus inspirasi bagi para santri untuk kembali merenungkan makna jihad yang tidak subyektif dan reduktif tapi lebih luas lagi mesti memberikan makna dan hikmah kepada negeri. Semoga.