Tangerang Selatan, NU Online
Kenapa kalangan santri begitu intensif dan berkomitmen kuat dalam membela bangsa dan negara? Pertanyaan tersebut dilontarkan oleh Wakil Sekjen PBNU KH Abdul Munāim Dz, Rabu (22/2) dalam diskusi yang digelar Islam Nusantara Center, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten.Ā
Munāim mengutip potongan-potongan ayat dalam surat Al-Balad berbunyi, la uqsimu bihadzal balad, faqqur roqobah, au ithāamun. Maqrabah.
āMakanya aneh jika ada yang mengharamkan nyanyi lagu padamu negeri, itu kan mereka tidak membaca surat ini. Allah saja bersumpah pada negeri, kok kita berjanji pada negara tidak boleh,ā terang penulis buku Fragmen Sejarah NU ini.
Kemudian, lagu kebangsaan Shubbanul Wathan yang diciptakan oleh KH Wahab Chasbullah semakin memperkuat komitmen kebangsaan santri. Berisi seruan pembelaan terhadap tanah air dan ancaman jika ada yang berani mengganggu negeri Indonesia.
Lebih lanjut, Kiai Munāim menjelaskan kenapa NU begitu kuat memegang tradisi. Dalam Aswaja ada kaidah Al-āAdah Muhakkamah, sebagaimana juga dikutip dari Al-Imam asy-Syafiāi dalam Kitab al-Umm, Jilid 7, hal. 246 yang berbunyi, āDalam setiap membangun komunitas muslim, di dalamnya selalu terdapat budaya yang telah mapan, maka hormatilah tradisi yang Ā telah berjalan tersebut.āĀ
Oleh karen itu, sejak dulu para Wali dan ulama di Nusantara sudah paham betul dalam menyikapi tradisi yang kuat di wilayah penyebaran Islam. Para wali punya strategi dakwah menghormati budaya nasional, yaitu tadrij: bersifat gradual tidak instan, taklilut taklif: tidak memberatkan masyarakat, āadamul haraj: tidak mengancam siapapun.
Keakraban dengan tradisi lokal tersebut menjadi modal kuat perjuangan para ulama-ulama selanjutnya. Sehingga tidak heran jika para ulama mengajarkan kecintaan terhadap tanah air dan menolak segala bentuk penajajahan.
āArtinya sanad perjuangan itu terus bersambung. Ini berkaitan dengan sanad tadi, Sanad itu perlu disambung, tidak hanya berhenti di Bung Karno. Bagaimana Islam Nusantara itu anti terhadap kolonialisme,ā tukas Munāim.
Untuk membuktikannya Kiai Munāim menjelaskan garis besar sejarah ketersambungan sanad perjuangan itu. Ia menyebutkan bahwa Anti kolonialisme ini sudah dimulai sejak perjuangan awal para wali dan pejuang Islam abad ke 16 hingga abad ke-19 Pangeran Diponegoro. Kemudian dilanjutkan oleh para pasukkannya di mana Pesantren menjadi pusat perlawanan. (Red: Fathoni)