Opini

Imam as-Suyuthi dan Teori Kekebalan di Masa Pandemi

Kam, 7 Oktober 2021 | 08:30 WIB

Imam as-Suyuthi dan Teori Kekebalan di Masa Pandemi

Imam As-Suyuthi dengan jeli mengamati dan melengkapi teori kedokteran tentang kekebalan di masa pandemi.

Indonesia telah melalui gelombang kedua pandemi Covid-19. Allah SWT telah melimpahkan rahmat dan kasih sayangnya sehingga bangsa Indonesia dapat melalui gelombang kedua pandemi hingga saat ini. Sejak bulan September 2021, kondisi pandemi jauh menurun dibandingkan pada bulan-bulan sebelumnya. Namun, situasi ini tidak boleh menjadikan kaum Muslimin lengah. Segenap masyarakat, khususnya kaum Muslimin perlu ikhtiar lahir dan batin agar teguh menghadapi pandemi dengan optimal.

 

Salah satu upaya antisipasi yang telah diterima untuk menghadapi pandemi adalah vaksinasi. Meskipun masih ada sebagian masyarakat yang belum menerima vaksinasi, tetapi sebagian besar kaum muslimin telah menerimanya sebagai upaya yang rasional dan tidak bertentangan dengan sunnatullah. Bahkan, tidak hanya masyarakat yang belum pernah terinfeksi, mereka yang berstatus sebagai penyintas Covid-19 juga diupayakan mendapatkan vaksinasi.

 

Sebagian orang yang memilih upaya kesehatan selain vaksinasi memiliki alasan tersendiri. Salah satu alasan yang mengemuka adalah tidak adanya contoh langsung dari Nabi maupun para sahabat dan ulama terdahulu yang mencontohkan upaya vaksinasi. Upaya yang dicontohkan Nabi adalah dengan bahan alamiah untuk meningkatkan kekebalan tubuh, meskipun tidak spesifik untuk pandemi.

 

Apabila dilihat secara komprehensif, vaksinasi tidak bisa dianggap bertentangan dengan sunnah Nabi karena justru sesuai dengan sunnatullah. Pengobatan Islami yang dikembangkan oleh para ulama setelah masa Nabi dan para sahabat membuktikan bahwa ilmu kesehatan yang berkaitan dengan pandemi dan penanganannya terus berkembang. Vaksinasi sebagai salah satu upaya mencapai kekebalan diterima oleh ilmu kedokteran dan diakui oleh ulama Islam.

 

 

Ulama Islam bahkan lebih dulu mencetuskan adanya hasil pengamatan bahwa seseorang yang telah sembuh dari pandemi masih dapat terinfeksi kembali dengan penyakit yang sama. Salah satu tokoh pengobatan islami yang juga seorang ahli hadits, Imam Jalaluddin As-Suyuthi menuliskan hasil observasinya tentang pandemi:

 

“Tersebar kabar di tengah-tengah manusia bahwa seseorang yang pernah terkena thaun lalu sembuh, maka setelah itu bila terkena lagi maka dia akan tetap sehat. Hal ini menjadi kesimpulan penelitian para dokter. Kemudian saya melihat bahwa sebagian dokter memberikan alasan bahwa kondisi itu terjadi karena badan yang kebal” (Imam Suyuthi, Ma Rawahu al-Waun fi Akhbar ath-Thaun, Damaskus: Darul Qalam, tanpa tahun, h. 173).

 

Imam As-Suyuthi tidak menolak teori kedokteran yang berkembang saat itu. Seseorang yang menjadi kebal setelah selamat dari wabah thaun menjadi teori kedokteran yang diakui di masyarakat. Imam As-Suyuthi sebagai ulama yang memahami ilmu pengobatan islami melanjutkan observasinya sebagai berikut:

 

“Akan tetapi, saya melihat pada tahun ini ada sekelompok orang yang terkena thaun lalu saya mendapatkan kabar bahwa mereka terkena thaun kembali dengan gejala seperti yang menimpanya pada saat thaun yang terdahulu. Tentu saja hal ini dapat merusak kesimpulan penelitian para dokter itu. Kemudian aku melihat adanya hal-hal yang mendukung benarnya kesimpulan ini” (Imam Suyuthi, Ma Rawahu al-Waun fi Akhbar ath-Thaun, h. 174).

 

 

Informasi tersebut mengungkapkan bahwa kesimpulan dokter tentang suatu teori ternyata masih dapat diperbarui. Menurut dokter pada zaman itu, seseorang yang telah terkena thaun akan kebal dan tetap sehat bila terpapar kembali. Namun, Imam As-Suyuthi dengan jeli mengamati dan melengkapi teori kedokteran tentang pandemi tersebut. Beliau berpendapat bahwa sembuhnya seseorang dari thaun yang pertama bukanlah jaminan kebalnya terhadap paparan thaun yang kedua.

 

Berdasarkan keterangan Imam As-Suyuthi tersebut, kekebalan alami yang muncul karena pernah terkena penyakit pada masa pandemi tidak berlaku mutlak. Artinya, kekebalan bisa menurun seiring dengan waktu dan perlu ditingkatkan untuk mengantisipasi adanya gelombang baru pandemi. Di sinilah pentingnya vaksinasi untuk memunculkan kekebalan spesifik agar tetap dapat mengantisipasi kemungkinan paparan pandemi di gelombang berikutnya.

 

Upaya vaksinasi menjadi pilihan untuk mendapatkan kekebalan spesifik saat pandemi. Meskipun kekebalan yang muncul tidak lebih kuat dibandingkan dengan kekebalan alami yang muncul pada penyintas, tetapi tetap bermanfaat selama jangka waktu tertentu. Salah satu manfaat vaksinasi adalah mengurangi resiko beratnya gejala saat seseorang yang telah divaksin terpapar oleh pandemi. Meskipun hal ini juga tidak mutlak, setidaknya ada upaya untuk menghindari penyakit yang berat.

 

Apabila penyintas yang telah memiliki kekebalan alami perlu waspada, maka orang yang telah divaksinasi juga tetap perlu waspada. Upaya antisipatif untuk meningkatkan imunitas tubuh tetap perlu dilakukan. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila para penyintas juga perlu divaksin. Beberapa hal yang mendukung protokol kesehatan juga masih diperlukan untuk mencegah penularan karena virus penyebab pandemi masih dapat bermutasi.

 

Upaya menggunakan bahan alami dan nutrisi bisa menjadi upaya alternatif dalam menghadapi pandemi. Suatu upaya alternatif hendaknya menjadi pilihan di saat kondisi serba terbatas. Vaksin yang masih terbatas di Indonesia dapat dilengkapi dengan herbal, nutrisi serta protokol kesehatan. Namun, bagi yang mendapatkan kesempatan untuk divaksin hendaknya tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut.

 

Semua upaya untuk memperbarui kekebalan tubuh masih relevan di tengah situasi pandemi yang belum berakhir. Tidak perlu ada pertentangan antara vaksinasi dan upaya alternatif selain vaksinasi. Bahan alami atau herbal dan nutrisi tetap dapat digunakan tanpa meminggirkan peran vaksin dan sebaliknya. Para ulama Islam juga telah membahas berbagai macam bahan alam yang bermanfaat untuk meningkatkan imunitas.

 

Imunitas ini sangat penting untuk diperbarui dan ditingkatkan di masa pandemi. Upaya untuk mencapai imunitas yang baik bisa dengan berbagai cara. Vaksinasi, bahan alami atau herbal, dan nutrisi hanya beberapa cara yang telah diketahui. Bahan alam yang dibahas para ulama tidak hanya dari jenis yang digunakan oleh Nabi, tetapi juga dari bahan-bahan lainnya. Jika bahan alamiah yang tidak spesifik menghasilkan kekebalan saat pandemi dianggap sebagai solusi dari Nabi, tentu vaksin yang bersifat spesifik juga menjadi pilihan antisipasi. Ilmu membuat vaksin merupakan salah satu hikmah, yaitu farmasi dengan menerapkan imunologi dan bioteknologi. Hikmah ibarat barang yang hilang dari seorang mukmin, maka di mana saja dia menemukannya, hendaklah mengambilnya. Hal ini menjadi bukti kebijakan ilmu dalam khazanah Islam untuk menjadi rahmat bagi semesta alam, khususnya ketika menghadapi pandemi.

 

Yuhansyah Nurfauzi, apoteker dan peneliti di bidang Farmasi