Nasional

Fakta Bertambahnya Beban Ganda bagi Perempuan Selama Pandemi Covid-19

Kam, 30 September 2021 | 13:30 WIB

Fakta Bertambahnya Beban Ganda bagi Perempuan Selama Pandemi Covid-19

Ilustrasi perempuan dengan beban ganda. (Foto: Dok. NU Online)

Jakarta, NU Online
Pandemi Covid-19 meninggalkan kisah dan trauma tersendiri yang nyatanya lebih dalam bagi kaum perempuan. Pandemi dalam setahun terakhir memperdalam ketimpangan yang sudah terjadi sebelumnya.


Di awal pandemi, perempuan tentu mengalami gejala stres ringan lantaran perubahan aktivitas sehari-hari dan beban ganda. Akademisi bidang Tafsir dan pendiri Ngaji KGI (Keadilan Gender Islam), Hj Nur Rofiah, membenarkan fakta bahwa perempuan terbukti lebih banyak memikul beban ganda terutama yang paling mencolok ialah bertambahnya peran sebagai guru. 


Selain itu, kata dia, keberadaan anak dan suami selama masa sekolah dan bekerja dari rumah juga menuntut perempuan membagi perhatian dan waktu. Hal-hal sederhana bisa menjadi indikasi.


“Dulu, saat suami bekerja dan anak sekolah, perempuan ibu rumah tangga memiliki waktu untuk dirinya sendiri (me time). Sekarang mereka kehilangan momentum tersebut,” kata Nur Rofiah dalam diskusi interaktif bertajuk Perempuan dan Pandemi, Rabu (29/9) malam.


Berbagai survei dan data menunjukkan bahwa perempuan terdampak jauh lebih buruk dibandingkan lelaki. Merujuk data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), disebutkan meskipun di tengah berbagai kesulitan tersebut, nyatanya peran perempuan tetap penting dalam pemulihan Covid-19.


Sementara Mastercard (2020) dalam laporannya juga menyatakan bahwa partisipasi dan kesetaraan bagi perempuan di dunia usaha sangat penting dalam pemulihan ekonomi dunia pasca pandemi Covid-19.


Nur Rofiah mengungkapkan, dalam menghadapi pandemi bekerja sama dan berbagi peran antarpasangan suami-istri menjadi sangat penting. Tidak hanya membagi pekerjaan domestik, urusan menemani anak mengerjakan tugas sekolah juga seharusnya dapat dilakukan bersama-sama.


“Hal itu dilakukan agar tidak terjadi ketimpangan dan sebagai upaya menjaga keharmonisan dalam rumah tangga,” ungkap perempuan yang menuntaskan pendidikan di Universitas Ankara Turki ini.


Menurut dia, pemikiran turun-temurun bahwa perempuan lebih rendah posisinya dibandingkan dengan lelaki menjadi akar masalah dari ketimpangan gender yang masih terjadi tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia.


“Karena sejak kecil memang laki-laki itu tidak dididik untuk merasa memiliki urusan domestik itu,”  tutur perempuan yang kini aktif menjadi Dosen Pascasarjana di Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran (IPTIQ) Jakarta itu.


Upaya holistik
Untuk mengikis pemikiran masyarakat yang telah kuat mengakar, dibutuhkan upaya-upaya holistik dari berbagai sisi, termasuk agama. Apalagi, agama merupakan fondasi dari kehidupan berbangsa dan bernegara, serta memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan bermasyarakat.


“Saya meyakini agama dari Allah itu adil, baik untuk lelaki maupun perempuan. Akan tetapi, tafsiran dan perumusan sebagai bentuk kemaslahatan itu (masih) perspektif lelaki banget. Sehingga ketika kita (perempuan) mengajukan konsep kemaslahatan sangat mungkin dianggap melawan agama, konstitusi sosial, dan lainnya,” beber penulis buku Nalar Kritis Perempuan itu.


Oleh karenanya, untuk memperoleh pemahaman yang lebih lengkap tentang bagaimana agama memuliakan perempuan, Imam Besar Masjid Istiqlal Prof KH Nasaruddin Umar menekankan, ada begitu banyak nilai kesetaraan gender dalam perspektif agama Islam.


Di sisi lain penting pula mengikis stigma negatif yang selama ini berkembang di masyarakat, bahwa kesetaraan gender tidak sejalan dengan ajaran agama, termasuk agama Islam. Masyarakat diharapkan membuka pikiran terhadap nilai-nilai kesetaraan gender demi Indonesia yang adil, makmur, sentosa.


“Semua manusia, baik laki-laki maupun perempuan memiliki kedudukan yang sama di sisi Allah. Islam memandang kesetaraan gender dan kesetaraan manusia secara umum baik dalam hal kompetensi spiritual, intelektual maupun fisik,” ucap Prof Nasaruddin.


Sebagai informasi, di Indonesia tercatat perempuan berjumlah 49,42 persen atau hampir separuh dari total penduduk Indonesia. Artinya, perempuan merupakan setengah dari potensi SDM bangsa. Jika dapat diberdayakan secara optimal, akan turut serta menjadi motor kekuatan bangsa dalam bersaing dengan bangsa-bangsa lain di dunia.


McKinsey Global Institute Analysis (2018), misalnya, menyimpulkan bahwa Indonesia dapat meningkatkan PDB sebesar 135 miliar dolar AS per tahun pada 2025 dengan syarat partisipasi ekonomi perempuan dapat ditingkatkan pula.


Hasil diskusi World Economic Forum (2020) juga menyatakan bahwa pemberdayaan perempuan adalah kunci dari kenaikan pendapatan suatu bangsa, yang akan menentukan kemajuan negara.


Sementara itu, Bank Dunia menyatakan bahwa tidak ada satu negara, komunitas, ataupun kalangan ekonomi mana pun yang mampu mencapai potensi maksimalnya dan melampaui tantangan pada abad ke-21 tanpa partisipasi setara dan penuh dari perempuan.


Kontributor: Syifa Arrahmah
Editor: Musthofa Asrori