Opini

Ikut UKW Membuat Saya Kurang Pede dan Ndredeg, tapi Akhirnya Lulus Juga

Rab, 13 Desember 2023 | 19:15 WIB

Ikut UKW Membuat Saya Kurang Pede dan Ndredeg, tapi Akhirnya Lulus Juga

Salah satu suasana Uji Kompetensi Wartawan (UKW) yang difasilitasi Dewan Pers dan dilaksanakan oleh Lembaga Uji PWI dan Lembaga Uji Kompas, Jumat-Sabtu (8-9 Desember 2023) di Swiss-Belhotel Serpong, Tangerang Selatan, Banten. (Foto: NU Online/Fathoni)

Mengikuti Uji Kompetensi Wartawan (UKW) pada akhir 2023 tidak pernah terpikirkan dalam benak saya karena informasi pendaftaran yang datang begitu mepet dengan hari terakhir pengumpulan berkas. Saat itu juga saya langsung berkoordinasi dengan Pemimpin Redaksi NU Online, Ivan Aulia Ahsan (kami menyapanya Mas Ivan), yang sudah menggondol sertifikat Wartawan Utama.


Singkat cerita, hari terakhir pendaftaran tersebut kami sambut dengan ngebut untuk melengkapi berkas-berkas, termasuk dokumen yang menyatakan bahwa NU Online sudah terverifikasi secara administratif dan faktual oleh Dewan Pers. Dokumen tersebut adalah salah satu persyaratan untuk mengikuti UKW.


Salah satu target NU Online tahun ini ialah bisa mengirim para wartawannya untuk mengikuti UKW. Tidak cukup medianya saja yang sudah terverifikasi Dewan Pers, tetapi wartawannya juga wajib dinyatakan kompeten melalui UKW.


Dalam UKW yang digelar oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) itu, mulanya Mas Ivan hendak mengirim 4 wartawan. Namun, kuota yang masih tersedia ternyata hanya untuk 2 wartawan. Akhirnya, yang ditunjuk untuk mengikuti UKW adalah saya, sebagai Redaktur Pelaksana, dan Mahbib Khoiron (kami menyapanya Mas Mahbib), sebagai Redaktur Eksekutif. Pada Juni-Juli tahun ini, Mas Mahbib menjadi anggota Media Center Haji (MCH) yang meliput ibadah haji langsung dari Tanah Suci.


UKW yang berlangsung pada 8-9 Desember 2023 di Serpong, Tangerang Selatan, Provinsi Banten itu diselenggarakan oleh Lembaga Uji PWI (LU PWI) dan Lembaga Uji Kompas (LU Kompas). Dari dua Lembaga uji tersebut, awalnya peserta yang mendaftar sebanyak 50 wartawan, baik dari media nasional maupun dari media lokal di Banten. Dari LU PWI ada 26 wartawan dan 24 wartawan dari LU Kompas. NU Online ikut melalui LU PWI.


Dari 50 wartawan, menyusut menjadi 47 wartawan yang akan mengikuti jenjang Muda, Madya, dan Utama. Ada 3 wartawan yang dianggap gugur karena tidak mengikuti pra-UKW pada Rabu (6/12/2023). Artinya, pra-UKW menjadi salah satu penilaian tersendiri untuk mengukur keseriusan peserta sebelum mengikuti UKW. Sebab dalam sesi pra-UKW terdapat pre-test sebelum menyimak pemaparan dari Dewan Pers dan PWI dan diakhiri post-test.

 
Sesi pengarahan penguji sebelum memulai UKW, Jumat (8/12/2023) di Swiss-Belhotel Serpong, Tangerang Selatan, Banten. (Foto: NU Online/Fathoni)
 

Ada tiga jenjang dalam UKW yaitu Muda, Madya, dan Utama. Jenjang Muda untuk para reporter yang setiap hari turun ke lapangan dan menulis berita, jenjang Madya untuk redaktur, dan jenjang Utama untuk redaktur pelaksana dan pemimpin redaksi. Saya dan Mas Mahbib mengambil jenjang Muda karena baru pertama kali mengikuti UKW, meskipun jika menilik jabatan kemediaan seharusnya kami mengikuti jenjang Madya.


Aturan penyesuaian tidak diberlakukan lagi sehingga semua wartawan harus mengikuti UKW Muda terlebih dahulu. Namun, seorang redaktur atau produser bisa mengikuti akselerasi jenjang Utama sesuai Peraturan Dewan Pers No 2/Peraturan-DP/III/2021 tentang Uji Kompetensi Wartawan Jenjang Utama. Peraturan tersebut memuat seabrek persyaratan yang tentu tak mudah dilalui.


Ketua KPU menelepon balik

Saya berangkat mengikuti UKW dengan antusiasme tinggi karena ingin membuktikan bahwa saya bisa lulus dan dinyatakan “kompeten” sebagai wartawan. Tapi di saat yang sama, saya juga membawa “nama besar” NU Online sebagai media resmi Nahdlatul Ulama, media keislaman terkemuka, sekaligus media arus utama.


Apa jadinya jika wartawan NU Online dinyatakan “tidak kompeten”? Apalagi ujian ini merupakan jenjang Muda—tahapan uji yang secara praktik sehari-hari dilakukan oleh reporter ketika meliput dan menulis berita. Meskipun materi ujian tidak bisa diremehkan juga karena bisa berkonsekuensi tidak lulus.


UKW digelar di Swiss-Belhotel Serpong. Ketika saya tiba di lokasi, sekilas saya melihat para peserta yang sedang baris untuk mengisi kehadiran cukup percaya diri menghadapi ujian. Namun tidak dengan saya. Tiba-tiba perasaan kurang percaya diri menghinggapi saya. Selain baru pertama kali mengikuti UKW, saya ketar-ketir juga apabila mengalami overconfidence sehingga malah membuat terlena. Anggap saja “kurang percaya diri” diambil sebagai jalan tengah untuk menghadapi kondisi psikologis itu.


Setelah selesai mengisi daftar hadir, seluruh peserta dihadapkan pada meja-meja yang sudah tersusun dengan 7 kursi di lokasi ujian. Enam kursi untuk peserta, 1 kursi untuk penguji lengkap dengan daftar peserta yang sudah dikelompokkan berdasarkan jenjang masing-masing. Kelompok saya ada 6 wartawan, tetapi satu wartawan didiskualifikasi karena tidak memenuhi kehadiran di hari pertama ujian. Penguji kami adalah Suprapto Sastro Atmojo, Wakil Sekjen PWI.


Seluruh peserta mengikuti pembukaan terlebih dahulu. Firdaus Komar, Direktur Uji Kompetensi Wartawan PWI Pusat, dan Adi Prinantyo, Managing Editor Harian Kompas, hadir memberikan sambutan. Adapun pidato kunci disampaikan Arif Zulkifli, Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers.


Dalam kesempatan tersebut, Bang Azul, sapaan karib Arif Zulkifli, menegaskan pada prinsipnya Dewan Pers melindungi seluruh media pers di Indonesia. Namun, tentu saja Dewan Pers tidak bisa memediasi media-media yang belum terverifikasi ketika terjadi sengketa pers. Sehingga menurutnya, penting bagi setiap media untuk memiliki badan hukum pers dan mengurus verifikasi administrasi dan faktual di Dewan Pers.

 
Arif Zulkifli (pegang mic), Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers saat membuka kegiatan UKW, Jumat (8/12/2023) di Swiss-Belhotel Serpong, Tangerang Selatan, Banten. (Foto: NU Online/Fathoni) 
 

Pembukaan selesai, peserta kembali dihadapkan pada perasaan campur aduk menghadapi ujian. Dalam UKW jenjang Muda, saya berusaha mengingat materi-materi mendasar seperti memahami Undang-Undang Pers, menguasai kode etik jurnalistik (KEJ), dan mengetahui berbagai macam pedoman peliputan seperti Pedoman Peliputan Ramah Anak (PPRA). Begitu pula materi lain seperti mencari bahan liputan, wawancara dalam konferensi pers, wawancara doorstop, wawancara tatap muka, menulis berita, dan membangun jejaring dengan para narasumber.


Setiap mata uji harus ditempuh para peserta dalam waktu yang terbatas. Selain pengetahuan, wawasan, dan praktik kerja sehari-hari, peserta juga dituntut sigap dan cepat dalam menyelesaikan setiap materi uji. “Waktu kurang 5 menit lagi, ayo cepat!” kata-kata penguji itu yang tidak pernah peserta inginkan karena selalu bikin ndredeg dan serba buru-buru. Sampai-sampai makanan ringan yang tersaji di meja ujian hampir tidak tersentuh sama sekali mengingat tingginya tensi ujian. Peserta hanya memungkinkan untuk meminum air mineral sembari ngebut menyelesaikan setiap materi ujian.


Tiap peserta harus menargetkan nilai yang tinggi karena berdasarkan ketetapan UKW setiap materi ujian harus mencapai minimal nilai 70. Jika ada satu saja dari 10 materi ujian yang nilainya di bawah 70, maka peserta akan dinyatakan tidak lulus atau belum kompeten. Syarat inilah yang membuat semangat peserta semakin terpacu meskipun tidak sedikit pula peserta yang terlihat santuy dan tenang. Mungkin mereka tidak mau terbebani dengan target-target tersebut. Memang, terkadang penting juga mengelola kondisi psikologis agar tetap santuy dalam menghadapi tensi tinggi dalam sebuah ujian.


Ringkasnya, materi berbasis praktik dan penguasaan materi bisa saya lalui secara lancar. Saya pun yakin nilainya di atas 70. Namun, peserta dihadapkan pada materi uji Membangun Jejaring yang sangat menantang: kami harus berhasil menghubungi 3 narasumber utama dari 20 daftar narasumber beserta nomor kontak masing-masing yang diserahkan kepada penguji. Jika ada satu saja dari 3 narasumber yang tidak menjawab panggilan, maka peserta belum dianggap kompeten karena dinilai sebagai wartawan yang kurang memiliki jaringan narasumber.

 
Suasana kesibukan para peserta UKW saat mengerjakan materi ujian, Sabtu (9/12/2023) di Swiss-Belhotel Serpong, Tangerang Selatan, Banten. (Foto: NU Online/Fathoni)
 

Dalam UKW ini, dari awal saya disodorkan topik liputan politik nasional oleh penguji. Saya pun mengambil isu spesifik terkait hiruk-pikuk pemilu 2024. Karena itu, saya menyerahkan beberapa narasumber utama yang relevan untuk angle “polemik format debat capres-cawapres 2024” dan “potensi sengketa pemilu 2024”. Di antara narasumber yang saya sodorkan ialah Ketua KPU Hasyim Asy’ari, anggota TPN Ganjar-Mahfud, anggota TKN Prabowo-Gibran, dan Ketua Bawaslu Rahmat Bagja.


Anggota timses masing-masing capres-cawapres berhasil menjawab panggilan. Namun tidak demikian dengan Ketua KPU dan Bawaslu. Perasan dag dig dug der memompa dada karena belum berhasil mengontak minimal 3 narasumber. Akhirnya narasumber saya alihkan kepada Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini dengan persetujuan penguji. Alhamdulillah, Mbak Titi mengangkat telepon saya. Tapi saya lihat respons penguji biasa-biasa saja karena mungkin saya gagal menelepon Ketua KPU dan Ketua Bawaslu.


Ketika saya hampir selesai menggarap berita dari hasil wawancara para narasumber tersebut, tiba-tiba ada panggilan masuk. Ini dia! Ketua KPU Hasyim Asy’ari menelepon balik setelah 4 kali panggilan telepon saya belum diangkat. “Mas, maaf tadi masih rapat. Gimana? Singkat aja ya,” kata Hasyim. “Enggak apa-apa, Ketua. Satu pertanyaan saja: bagaimana keputusan akhir KPU terkait format debat capres-cawapres?” tanya saya. “Masih sesuai undang-undang. Udah ya,” jawab dia.


Panggilan telepon saya tunjukkan kepada penguji agar dia percaya Ketua KPU menelepon balik. Penguji pun mengangguk. Tanda apa? Saya kurang tahu pasti. Yang jelas, saya puas karena narasumber utama yang saya kontak sudah lebih dari 3 narasumber. Bagaimana dengan Ketua Bawaslu Rahmat Bagja? “Mas, baru buka WA, mohon maaf,” katanya lewat WhatsApp pada pukul 02.04 WIB setelah tidak menjawab kontak saya. “Tidak apa-apa, Pak. Terima kasih,” jawab saya.


“Selamat, Anda dinyatakan kompeten!”

Sebelum masuk pada sesi pengumuman, peserta dipanggil satu per satu menghadap penguji untuk memperoleh umpan balik (feed back) dari penguji masing-masing serta dinyatakan kompeten atau tidak. Perlu diketahui bahwa dalam UKW ini jenjang Muda dibagi menjadi dua kelas atau kelompok. Begitu juga dengan jenjang Madya dan Utama. Setiap kelompok terdiri dari 6 peserta.


Dalam kelompok kami, peserta yang tersisa di hari akhir ujian ialah 4 orang dari 6 orang. Dari awal, 1 peserta didiskualifikasi dan 1 peserta lagi dinyatakan tidak lulus karena tidak mampu menyelesaikan setiap mata uji di hari pertama.

 

Dari 4 peserta tersebut, saya dipanggil paling akhir. Sebelumnya, saya tidak mengetahui hasil dari 3 peserta, termasuk Mas Mahbib yang dipanggil lebih awal. “Selamat, Anda dinyatakan kompeten!” seloroh penguji yang artinya peserta lulus UKW. Saya pun mematung mendengar keputusan Pak Suprapto itu, antara senang dan terkejut. “Alhamdulillah,” hanya satu ucapan itu yang keluar dari mulut saya sembari “Yes!” dalam hati.


“Dan yang dinyatakan lulus hanya 2 orang wartawan dari NU Online di kelompok ini,” ujar Pak Suprapto. Artinya, 2 wartawan tersisa dinyatakan belum kompeten dan baru bisa mengikuti UKW kembali setelah 6 bulan.

 
Penulis setelah dinyatakan lulus UKW, Sabtu (9/12/2023) di Swiss-Belhotel Serpong, Tangerang Selatan, Banten. (Foto: NU Online/Fathoni)
 

Secara keseluruhan, dari 47 peserta yang mengikuti UKW jenjang Muda, Madya, dan Utama, 5 wartawan dinyatakan belum kompeten, yaitu 4 orang dari LU PWI dan 1 orang dari LU Kompas. Pengumuman tersebut disampaikan oleh Firdaus Komar dan Adi Prinantyo.


Di dalam ruangan, kami yang dinyatakan kompeten tidak sanggup untuk bersuka cita karena kami menyadari ada 5 rekan wartawan yang belum beruntung. Penyelenggaraan UKW pun ditutup dengan wejangan akhir yang disampaikan Ketua Komisi Pendidikan, Pelatihan, dan Pengembangan Profesi Dewan Pers Tri Agung Kristanto. 


Semangat beruji kompetensi, rekan-rekan wartawan!


Patoni, Redaktur Pelaksana NU Online