Tokoh

27 Juli Lahir Mahbub Djunaidi: Wartawan, Sastrawan, Politikus NU

Sen, 27 Juli 2020 | 12:15 WIB

27 Juli Lahir Mahbub Djunaidi: Wartawan, Sastrawan, Politikus NU

Mahbub Djunaidi seorang penulis yang dikenal dengan julukan pendekar pena

Pada tanggal 27 Juli 1933 di Jakarta lahir seorang wartawan, esais, sastrawan, dan politisi NU yang popular di zamannya, H Mahbub Djunaidi. Ia dikenal sebagai pendekar pena yang tulisannya dikenal kreatif dengan menggabungkan politik, sastra, dan jurnalistik.


Pada bidang jurnalistik sebagai profesi, Mahbub Djunaidi adalah Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat (1965-1970), dan Pimpinan Redaksi Duta Masjarakat (1960-1970), Ketua Dewan Kehormatan PWI (1973-1973). Dalam bidang politik, ia adalah anggota DPR GR (19671971), Wakil Sekjen DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP), anggota DPR/MPR RI (1971-1982). Sebagai seorang yang meminati sastra, dan ia lebih suka disebut wartawan, Mahbub Djunaidi melahirkan beberapa novel dan beberapa terjemahan. 


Selain itu, aktivitasnya juga diarahkan kepada organisasi massa NU. Sejak masih muda, ia pernah menjadi anggota Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama, Ketua Umum Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, Wakil Sekjen PBNU (1970-1979), Ketua II PBNU (1979-1984), Wakil Ketua PBNU (1984-1989), anggota Mustasyar U (1989-1994), 


Pendidikan dasar Mahbub Djunaidi dijalani pada masa revolusi fisik, di mana ia sekeluarga hijrah ke Solo dan baru kembali lagi ke Jakarta ketika Solo diduduki Belanda pada 1948. Di Solo ini pula ia sempat bersekolah di Madrasah Mambaul Ulum yang sangat terkenal kala itu. Ayahnya, KH Djunaidi adalah tokoh NU yang pernah menjadi anggota Konstituante.


Masa Kecil
Kalau kita baca novelnya, Dari Hari ke Hari, kita akan tahu bagaimana masa kecilnya, saat berusia 13 tahun. Ia turut merasakan pahit getirnya revolusi Indonesia yang baru memproklamasikan kemerdekaan. Ia ikut hijrah meninggalkan tanah kelahirannya, Tanah Abang, Jakarta. Itu disebabkan ayahnya, KH Muhammad Djunaidi, seorang pegawai negeri. Oleh jawatannya, disediakan rumah di Solo. Di situlah mereka mengungsi. 


Meski situasi sangat sulit, anak itu tetap meneruskan sekolah SD. Bangunan sekolah sama saja dengan rumah-rumah penduduk, yang membedakan keduanya hanyalah papan nama. Selain di SD, ia harus belajar agama, di Madrasah Manbaul 'Ulum. Tapi justru di madrasah itulah anak kecil mendapat banyak asupan buku dari salah seorang gurunya, Kiai Amir. Di situlah --perlu penekanan di madrasah, bukan di sekolah-- ia bergaul dengan buku-buku sejarah dan sastra. Tak hanya itu, ia harus belajar nahwu dan sorof (gramatika bahasa Arab), juga menghapal kitab Barzanji (biografi Nabi Muhammad). 


Dan ayahnya berencana mengirimnya ke sebuah pesantren di Lasem. Karena situasi darurat, niat itu urung. Akhirnya dibimbing secara ketat oleh ayahnya. Mahbub memang berasal dari keluarga yang taat beragama. Neneknya, penceramah agama yang berkeliling dari satu majelis ke majelis lain. Ayahnya, tokoh NU yang ketika zaman Jepang melarang seikerei sampai 45 derajat. 


Dari hari ke hari, anak itu menyimak revolusi fisik dari tahun 1946-1949.  Berbagai peristiwa terjadi. Belanda datang lagi dibonceng tentara sekutu. Niat awal mereka adalah melucuti tentara Jepang yang kalah perang. Tapi kenyataannya mereka ingin berkuasa kembali. Perlawanan terjadi dimana-mana. TKR terus bergerilya. Masyarakat sipil membentuk kesatuan laskar, misalnya Hizbullah yang dipimpin KH Zainul Arifin, Sabilillah pimpinan KH Masykur. 


Di sisi lain, benaknya yang kecil, mulai tumbuh pertanyaan, kenapa situasi negeri ini demikian sengsara. Kemakmuran, kesuburan, alih-alih jadi kesenangan, malah berbuah kesengsaraan. Hasil bumi dikeruk ratusan tahun. Keringat rakyat diperas kaya gombal yang sudah lama tak dicuci. Lalu setelah merdeka diraih, kenapa ada perjanjian Linggarjati dan Renville?  Apakah pemimpin republik ini tidak belajar sejarah? Bukankah dari dulu Belanda pembual ulung? Pangeran Diponegoro, Sultan Hasanuddin mengecap getirnya.


Pernah Dipenjara Gara-gara Tulisan
Menurut Ensiklopedia NU, karier wartawannya dimulai ketika ia menjadi redaktur majalah sekolah, Pemuda Masyarakat, sambil mengetuai Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI) ranting SMP ll di Jakarta, 1952. Ketika bersekolah di SMA Budi Utomo, ia mulai muncul ke publik yang lebih luas. Karyanya berupa cerpen, sajak, dan esai dimuat di majalah Siasat, Mimbar Indonesia, Kisah, Roman, dan Star Weekly. 


“Hal yang menarik, minatnya pada dunia tulis-menulis dan kesusastraan, justru ketika ia bersekolah di Madrasah Manba'ul Ulum di Solo, ketika salah seorang gurunya, Kiai Amir, sering memperkenalkannya pada karya-karya sastra dunia, seperti Mark Twain, Karl May, Sutan Takdir Alisyahbana, dan lain-lain,” tulis Ensiklopedia NU. 


Awal karier Mahbub pada 1950-an sebenarnya adalah sastrawan. Tapi, status ini sempat menghilang ketika ia lebih banyak sibuk sebagai wartawan dan aktivis partai. Baru tahun 1975, namanya muncul Jagi ketika mengumumkan novelnya Dari Hari Ke Hari (Pustaka Jaya, 1975). Novel ini berkisah tentang perang kemerdekaan dengan tokoh utama seorang anak kecil. ”Anak kecil" dianggap sebagai metafora dari Indonesia, yang masih muda dan baru merdeka. Novel ini menyabet penghargaan dalam Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta tahun 1975.


Akibat tulisan-tulisannya yang penuh sindiran dan tajam, ia sempat ditahan pada tahun 1978. Di tahanan ini pula ia menyelesaikan terjemahan Road to Ramadan karya Husein Heikal dan sebuah novel Maka Lakulah Sebuah Hotel.


Tahun 1985 keluar lagi satu novelnya, Angin Musim, yang diterbitkan oleh Inti Idayu Press. Novel ini berisi suatu sindiran pada situasi sosial pada masa Orde Baru, ketika korupsi melanda Indonesia tanpa ada yang bisa mencegahnya. Yang menarik dari novel ini adalah tokohnya seekor kucing jalanan. Dalam sejarah sastra Indonesia, inilah satu-satunya karya sastra yang menggunakan tokohnya seekor binatang.


Menulis Sarat Humor
Menurut Ensiklopedia NU, Mahbub dikenang diantaranya karena esai-esainya yang khas dan penuh humor, yang muncul di media-media terkemuka seperti Kompas dan Tempo. Esais Indonesia terkemuka, Goenawan Mohammad, mengaku cemburu dengan gaya menulis Mahbub yang kocak, yang bisa membuat orang tersenyum dan tertawa, meski yang dibicarakannya soal yang serius sekali. 

“Mahbub mampu menggunakan bahasa Indonesia dengan kecakapan seorang mime yang setingkat Marcel Marceau. la menggerakkan kata-kata dan kalimat dalam berbagai perumpamaan yang tidak pernah membosankan karena selalu tak terduga. Esai-esainya adalah kritik sosial yang tajam, namun tidak membuat orang yang dikritik menjadi marah. Gaya esainya yang renyah ini membuatnya sering dijuluki sebagai Art Buchwald-nya Indonesia. Sementara gaya kocaknya itu membuatnya dikenal pula sebagai peIopor ”jurnalisme humor". Esai-esainya yang tetap menarik dibaca hingga kini itu telah dikumpulkan dan dibukukan di antaranya Kolom Demi Kolom (1986), Humor Jurnalistik (1986), dan Asal-Usul (1996),” tulis Ensiklopedia NU. 


Penulis: Abdullah Alawi
Editor: Fathoni Ahmadi