Opini

Ikrar Halal Bi Halal dari Ulama Betawi

NU Online  ·  Rabu, 12 Juni 2019 | 10:00 WIB

Ikrar Halal Bi Halal dari Ulama Betawi

(Foto: @ubrain.net)

Oleh Rakhmad Zailani Kiki

Bagi masyarakat Betawi, bulan Syawal adalah bulan Lebaran. Jadi, bisa dikatakan Lebaran di Betawi itu satu bulan lamanya. Umumnya, selama bulan Syawal para kiai dan ustadz Betawi belum membuka pengajian. Mereka membuka pintu untuk tetangga, kerabat, dan murid-murid yang datang untuk lebaran.

Sama seperti orang Betawi lainnya, makanan ringan yang dihidangkan untuk tamu yang datang merupakan makan ringan tradisional  seperti dodol, wajik, nastar, lapis, tape uli, kue satu, dan lain-lain.

Istilah Halal Bi Halal untuk kegiatan Lebaran, maaf memaafkan, yang melibatkan banyak orang dalam satu tempat, dan satu waktu baru dikenal masyarakat Betawi setelah terlebih dikenalkan oleh salah seorang pendiri NU, KH Abdul Wahab Chasbullah, pada tahun 1948 ketika bertemu Presiden Soekarno.

Forum yang dikenal dengan istilah tersebut bertujuan untuk menyatukan bangsa Indonesia yang sedang dilanda konflik saudara sehingga harus menyajikan bungkus baru yang menarik agar mereka mau berkumpul dan menyatu saling maaf-memaafkan.

Lambat laun, kegiatan Halal Bi Halal menjadi populer di masyarakat Betawi. Karenanya, salah seorang ulama Betawi, Abuya KH Abdurrahman Nawi, membuat ikrar Halal Bi Halal dan kaifiat atau tata caranya.  

Abuya KH Abdurraman Nawi adalah ulama Betawi kelahiran Tebet, Melayu Besar, Jakarta Selatan yang menurutnya cucunya, Irfan Fahmi dan Ustadz Darul Qutni, lahir pada tahun 1932 M. KH Abdurrahman Nawi lahir dari pasangan H Nawi bin Su’id dan ‘Ainin binti Rudin. Ia diberi nama Abdurrahman. Dengan menyandang nama bapaknya, ia kemudian dikenal dengan nama Abdurrahman Nawi.

Ia adalah salah seorang  ulama Betawi terkemuka yang menerima pelajaran keagamaan pesantren dari majelis taklim yang ada di Betawi, bukan dari pondok pesantren atau madrasah. Ia pernah belajar kepada KH Muhammad Yunus, KH Basri Hamdani, KH M Ramli, dan Habib Abdurrahman Assegaf. Ia juga mengaji kepada KH Muh Zain (Kebon Kelapa, Tebet), KH M Arsyad bin Musthofa (Gang Pedati, Jatinegara), KH Mahmud (Pancoran), KH Musannif (Menteng Atas), KH Ahmad Djunaedi (Pedurenan), KH Abdullah Husein (Kebon Baru, Tebet), KH Abdullah Syafi’i (Matraman), serta Habib Husein Al-Haddad (Kampung Melayu).

Agak jauh sedikit, ia mengaji kepada KH Hasbiyallah (Klender), KH Mu’alim (Cipete), KH Khalid (Pulo Gadung), Habib Ali Jamalullail, Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi (Kwitang), Habib Abdullah bin Salim Al-Attas (Kebon Nanas), Habib Muhammad bin Ahmad Al-Haddad (Kramat Jati), Habib Ali bin Husein Al-Attas (Kemayoran), dan Ustadz Abdullah Arifin (Pekojan).

Uniknya, walau ia tidak pernah belajar di sekolah, madrasah, atau pondok pesantren, namun cara belajarnya tidak kalah dengan cara belajar santri di pondok pesantren. Dalam sehari ia bisa mengikuti pelajaran di tiga tempat, yang masing-masingnya terdiri atas dua atau tiga mata pelajaran. Sistem belajar yang ia ikuti biasanya memakai kitab. Seorang guru membaca ‘ibarah dalam kitab dan menerjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, kemudian menerangkan maksud dari ‘ibarah tersebut dengan penjelasan yang sangat luas dan mendalam.

Walau sekadar lulusan majelis taklim, tapi ia dapat mendirikan pondok pesantren yang merupakan salah satu pondok pesantren terkemuka, khususnya di masyarakat Betawi, yaitu Pondok Pesantren Al-Awwabin yang dulu berlokasi di Tebet, Jakarta Selatan. Pesantren itu kini telah dipindahkan dan dikembangkan ke Depok, Jawa Barat.

Ia juga mengajar di majelis taklim yang dimulainya sejak 1962 M. Majelis taklim ini dibuka di  rumahnya, Jalan Tebet Barat VIII, Jakarta Selatan. Majelis taklim ini diberi nama As-Salafi yang mengajarkan kitab-kitab tertentu sesuai dengan kemampuan dan minat para pesertanya.

Untuk kalangan bapak-bapak dan ibu-ibu, dibacakan Kitab Taqrib, Tijan Durar, Nashaihud Diniyah. Sedangkan untuk pemuda dan para ustadz, dibacakan Qawa’idul Lughah, Ibnu ‘Aqil, Fathul Mu’in, Bughyatul Mustarsyidin, Asybah wan Nazhair, dan Qami’ut Thughyan.

Pesertanya datang dari beberapa kampung di Jakarta dan sekitarnya. Banyak murid-murid majelis taklimnya yang kemudian menjadi ulama terkemuka, terutama di Betawi, seperti almarhum Abuya KH Saifuddin Amsir.

Adapun ikrar Halal Bi Halal dan kaifiatnya yang disusun oleh Kiai Abdurrahman Nawi lazimnya dilakukan sesaat setelah shalat Idul Fitri oleh khatibnya atau juga pada acara Halal Bi Halal, bahkan juga di kegiatan rowahan kubro sebelum masuk bulan Ramadhan.

Ikrar Halal Bi Halal ini dimaksudkan untuk memaafkan dan menghalalkan segala kesalahan antarsesama. Ia menyandarkan dalilnya pada Al-Qur`an Surat Ali Imran ayat 134 yang artinya, “(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”

Ikrar ini juga bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada orang lain yang pernah berbuat kesalahan-kesalahan kepada kita untuk meminta maaf. Ikrar ini merupakan sebuah pengakuan bahwa sebagai manusia memang kita juga punya salah kepada orang lain, baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja, karenanya perlu ada pernyataan yang jelas agar kesalahan-kesalahan kita dapat dimaafkan oleh orang lain.

Menurut cucunya, Ustadz Darul Qutni, ikrar ini pertama kali dirilis pada 1998 M, saat dia  mengantar Abuya Kiai Abdurrahman Nawi shalat Idul Fitri di Masjid Nurul Yaqin KH Salim Nai. Saat itu ia yang masih berstatus sebagai pelajar Tsanawiyah diajak oleh Abuya ke Tebet dari Depok. Abuya menyetir dengan laju yang cukup cepat. Maklum katanya, saat itu jalan raya masih lenggang.

Selesai khutbah Idul Fitri, Abuya KH Abdurrahman Nawi memimpin Ikrar Halal Bi Halal. Berikut isi ikrar tersebut dan kaifiatnya: Pertama, jamaah dianjurkan agar mendengarkan lebih  dulu ucapan pemimpin ikrar. Setelah itu baru diikuti perlahan lahan oleh hadirin, kalimat per kalimat; kedua, berikut isi ikrar: "Pada hari ini, saya halalkan dan maafkan segala kesalahan hadirin yang ada di sini, baik disengaja maupun tidak, lahir maupun batin, besar  maupun kecil, ikhlas dan ridha karena Allah ta`ala"; dan ketiga atau terakhir, jamaah diajak membaca Surat Al-Fatihah.

Ustadz Darul Qutni sendiri diminta memimpin ikrar ini pertama kali saat ziarah kubro Ummi Hasanah beberapa tahun yang silam. (Dari pelbagi sumber) *


Ustadz Rakhmad Kiki adalah penulis buku Genealogi Intelektual Ulama Betawi. Ia kini diamanahi sebagai Sekretaris RMI NU (asosiasi pesantren) DKI Jakarta.