Opini

Ekoteologi: Jalan Iman untuk Kepedulian Lingkungan

NU Online  ·  Jumat, 20 Juni 2025 | 11:31 WIB

Ekoteologi: Jalan Iman untuk Kepedulian Lingkungan

Ilustrasi kerusakan lingkungan (Foto: Freepik)

Pada kegiatan “Seminar tentang Islam untuk Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Lingkungan Hidup dalam rangka Pembinaan Ketahanan Nasional” yang dihelat Badan Litbang Kementerian Agama bekerjasama dengan LP3ES di Jakarta 27 Maret 1983, K.H. Ali Yafie menyampaikan dalam makalahnya, masalah lingkungan hidup tidak sebatas persoalan sampah, pencemaran, reboisasi dan pelestarian alam, tapi lebih dari itu semua adalah soal cara pandang manusia melihat dirinya. 


Sejurus itu, ulama yang pernah menjadi Rais Aam PBNU, peletak dasar kajian Fiqih Lingkungan Hidup (fiqhul bi’ah) ini memberikan kritik atas kesenjangan yang diakibatkan oleh pengurasan energi, dan keterbelakangan karena eksploitasi demi mencapai pertumbuhan ekonomi.


Sejalan dengan itu, artikel berjudul Menyelamatkan Hutan Tropis Indonesia, Antara Ilmu, Iman, dan Kolaborasi Global, Prof. Bambang Hero Saharjo, Guru Besar Kehutanan dan Lingkungan IPB mengatakan bahwa hutan hujan tropis Indonesia adalah berkah yang mencakup 10% luas hutan dunia. Bukan hanya itu, hutan tropis juga rumah bagi 12% spesies mamalia, 16% reptil, dan 17% burung di bumi. Namun, dalam dua dasawarsa terakhir, lebih dari 24 juta hektar hutan Indonesia telah hilang akibat deforestasi (World Bank, 2022). Angka ini setara dengan luas gabungan dua negara, Inggris dan Belanda. 


Kehilangan hutan ini tidak hanya mengancam keanekaragaman hayati, seperti orangutan Sumatera yang populasinya tersisa kurang dari 14.000 spesies (IUCN, 2023), tetapi juga mempercepat perubahan iklim. BMKG (2023) mencatat peningkatan frekuensi bencana iklim, seperti siklon tropis dan banjir bandang, diperburuk alih fungsi hutan. Misalnya, banjir Kalimantan menewaskan puluhan orang terkait langsung dengan pembalakan liar dan perluasan perkebunan kelapa sawit (KLHK, 2024). 


Nah, jika tren ini terus berlanjut, Indonesia berisiko gagal memenuhi komitmen penurunan emisi 29% pada 2030 sesuai Perjanjian Paris. Kebakaran hutan, alih fungsi lahan untuk sawit, dan ekspansi pertambangan adalah ancaman utama. Pada 2023, Global Forest Watch mencatat Indonesia sebagai negara dengan kehilangan tutupan hutan tertinggi ketiga secara global, setelah Brasil dan Republik Demokratik Kongo.


Di tengah krisis iklim global, kerusakan ekosistem yang kian meluas, dan semakin tajamnya ketimpangan ekologis, muncul satu pertanyaan mendasar: di mana posisi agama-agama dalam menghadapi keruntuhan ekologis ini? Apakah agama hanya berdiam dalam wilayah spiritual ataukah ia punya tanggung jawab moral untuk ikut serta dalam menyelamatkan bumi yang terluka?

 

Di Indonesia, negeri dengan populasi religius tertinggi di dunia dan keberagaman agama yang kompleks, pertanyaan ini menjadi sangat relevan, terutama bagi lembaga sekuat dan sebesar Kementerian Agama (Kemenag). Jawaban atas pertanyaan ini hadir dalam konsep yang semakin mendapat tempat dalam diskursus global: ekoteologi.


Ekoteologi bukan gagasan hasil onani intelektual, melainkan sebuah kerangka etika, spiritualitas, dan aksi kolektif berbasis iman untuk menyelamatkan bumi. Dalam konteks Indonesia, ekoteologi bukan hal baru. Akar-akar ajarannya hidup dalam teks suci, tradisi, dan praksis keagamaan yang tersebar luas. Namun demikian, tantangan terbesar terletak pada bagaimana ekoteologi itu bisa diarusutamakan ke dalam kebijakan formal, program kerja, dan pembudayaan spiritual yang membumi.


Menggali Makna Ekoteologi dalam Konteks Indonesia
Secara etimologis, istilah “ekoteologi” merupakan gabungan dari dua konsep besar: “ekologi” dan “teologi.” Teologi berbicara tentang relasi manusia dengan Tuhan, sementara ekologi berbicara tentang relasi manusia dengan alam. Ekoteologi menjembatani keduanya, menempatkan tanggung jawab ekologis sebagai bagian dari iman. Paus Fransiskus dalam Laudato Si’ (2015) menyebut krisis lingkungan sebagai “dosa struktural”, dosa yang ditopang oleh sistem ekonomi, politik, dan sosial yang eksploitatif. 


Dalam Islam, Gurutta asal Donggala, KH Ali Yafie menegaskan, kerusakan bumi dan memusnahkan sesama manusia berarti pelanggaran terhadap amanah sebagai khalifah (Q.S. Al-Baqarah: 30). Perspektif ini sejalan dengan ajaran Hindu tentang Tri Hita Karana, Buddha dengan Ahimsa, serta Konghucu dengan prinsip keseimbangan dan harmoni. 


Lebih lanjut, Menteri Agama yang juga Imam Besar Masjid Istiqlal, Prof. Nasaruddin Umar bersama Paus Fransiskus dalam Deklarasi Istiqlal 2024 meneguhkan Pancasila sebagai prinsip filosofis yang membuka ruang nilai-nilai agama dalam membangun etika bumi (earth ethics), memperkuat solidaritas ekologis antariman, serta mengarusutamakan pendidikan lingkungan berbasis spiritualitas dalam kehidupan sosial dan kebijakan negara.


Konsep-konsep tersebut bukan retorika kosong. Dalam praktiknya, upaya tersebut membentuk landasan etis dan spiritual sebagai rujukan masyarakat memelihara ciptaan. Namun ironi besar terjadi: dalam negara dengan 87,8% penduduknya beragama Islam (BPS, 2024), dan ribuan institusi keagamaan tersebar di seluruh pelosok, kerusakan ekologis justru meningkat. 


Laporan WALHI (2025) menyebutkan Indonesia menghadapi krisis lingkungan yang kian akut, ditandai prediksi lonjakan deforestasi hingga 600 ribu hektar akibat semakin longgarnya regulasi yang memberi ruang kepada korporasi untuk mengalihfungsikan hutan, termasuk kawasan lindung dan konservasi, demi kepentingan ekonomi jangka pendek. 


Selain itu, puluhan pulau kecil telah dieksploitasi untuk pertambangan, mempersempit ruang hidup masyarakat pesisir dan merusak ekosistem laut. Ironisnya, lemahnya penegakan hukum membuat para pelaku perusakan lingkungan seringkali luput dari jerat hukum atau hanya dikenai sanksi administratif. Lebih memprihatinkan lagi, para pejuang lingkungan seperti nelayan, petani, dan masyarakat adat justru dikriminalisasi menggunakan pasal-pasal represif yang menjadikan mereka sebagai pengganggu investasi, mencerminkan kemunduran serius dalam demokrasi lingkungan di Indonesia.


Bukankah ini alarm bahwa agama belum hadir secara substantif dalam panggung penyelamatan lingkungan?


Kementerian Agama RI adalah institusi negara yang memiliki pengaruh struktural dan kultural sangat besar. Melalui tujuh direktorat jenderal, yang melayani seluruh agama di Indonesia, Kemenag dengan sifatnya yang vertikal memiliki kanal deseminasi ajaran, pendidikan, dan pembinaan keagamaan yang menjangkau lebih dari 250 juta jiwa. Namun, jika menelusuri dokumen strategis seperti Renstra Kemenag 2025–2029, isu lingkungan tidak menjadi arus utama. Bahkan dalam Roadmap Moderasi Beragama 2020 - 2024, urgensi isu lingkungan hidup belum memperoleh porsi dengan perhatian yang proporsional.


Mengapa demikian? Dalam studi Dilema Environmentalisme yang dilakukan oleh PPIM UIN Jakarta (2024), ditemukan bahwa hampir 80% guru agama di sekolah-sekolah negeri dan madrasah tidak memberikan pemahaman tentang hubungan ajaran agama dan isu ekologi. Ini menunjukkan adanya gap antara ajaran kitab suci dan praksis pendidikan agama formal.


Padahal, peluang mengarusutamakan ekoteologi di tubuh Kemenag sangat besar. Direktorat Pendidikan Islam bisa memasukkan materi fiqh lingkungan dalam kurikulum madrasah dan pesantren. Direktorat Bimas Kristen dan Katolik bisa mensistematisasi homili ekologis berbasis Laudato Si’. Direktorat Bimas Hindu bisa memperkuat filosofi Tri Hita Karana dalam praktik keagamaan di pura. Direktorat Bimas Buddha dan Konghucu juga memiliki peluang besar mengintegrasikan ekologi dalam spiritualitas mereka. Yang diperlukan hanyalah satu, yakni keberanian politik dan kebijakan afirmatif para pejabat Kemenag menempatkan ekoteologi sebagai fondasi lintas direktorat.


Tantangan Struktural dan Kultural 
Namun tidak mudah menerapkan gagasan besar dalam birokrasi yang sarat regulasi dan orientasi administratif. Ada beberapa tantangan yang harus dihadapi:


Pertama, minimnya kesadaran ekologis di kalangan elite keagamaan. Survei Iklim Nasional oleh Purpose dan FPCI menunjukkan bahwa pemuka agama merupakan pihak yang paling dipercaya masyarakat dalam isu iklim 22%, mengungguli aktivis lingkungan 19%, pemerintah nasional 11%, dan ilmuwan 9%, dengan anggota legislatif berada di posisi terakhir. 


Temuan yang disampaikan Dino Pati Jalal ini menegaskan peran vital tokoh agama, khususnya dari kalangan Islam, dalam menyuarakan isu lingkungan dan mendorong aksi iklim di tingkat akar rumput. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa komunitas Muslim di Indonesia siap berkontribusi dalam ekonomi hijau, dengan pentingnya menyelaraskan solusi iklim dengan ajaran Islam di tengah meningkatnya religiusitas global. 


Kedua, belum adanya kerangka kebijakan nasional di tubuh Kemenag yang mengikat semua direktorat untuk bergerak dalam isu ekologi. Kebijakan yang ada bersifat sektoral dan sporadis. Misalnya, beberapa kantor wilayah Kemenag mengadakan gerakan tanam pohon atau gerakan masjid hijau, tetapi tidak terintegrasi secara nasional dan sistemik.


Ketiga, pendanaan program lingkungan masih kalah prioritas dibandingkan program keagamaan lainnya. Berdasarkan catatan Kemenkeu 2025, Anggaran Kemenag 2025 mengalami efisiensi sebesar Rp 12,3 triliun, sehingga pagu akhir jadi Rp 66.2 triliun. Kebijakan efisiensi berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025. Kemenag berusaha memprioritaskan program dasar seperti gaji dan tunjangan, bantuan sosial, serta penyelenggaraan ibadah haji. Ini menjadi bukti bahwa politik anggaran Kemenag perlu dikaji lebih serius sehingga berpihak pada isu keberlanjutan.


Namun demikian, peluang untuk bergerak tetap terbuka lebar. Kemenag memiliki jaringan masif, masjid, gereja, pura, vihara dan klenteng, serta jutaan guru agama. Universitas dan perguruan tinggi agama, pesantren dan madrasah. Jika seluruh struktur ini digerakkan, ekoteologi bukan sekadar gagasan, melainkan akan menjadi gerakan nasional.


Narasi Etik ke Transformasi Struktural Programatik
Untuk mewujudkan ekoteologi sebagai gerakan keagamaan nasional, Kemenag perlu melakukan sejumlah langkah dan sistemik.


Pertama, menyusun pedoman ekoteologi antar agama. Dokumen ini harus berbasis pada teks suci, fatwa, dan prinsip teologis masing-masing agama. Pedoman ini dapat menjadi dasar kurikulum pendidikan agama, materi khutbah, serta modul pelatihan bagi para dai, pendeta, bhikkhu, dan pemuka agama lainnya.


Kedua, mengembangkan program pelatihan kader ekoteologi. Program ini bisa bekerja sama dengan Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan NU (LPBI NU), Majelis Lingkungan Hidup Muhammadiyah (MLH Muhammadiyah), Keuskupan Agung Jakarta, dan institusi keagamaan lainnya. Materi pelatihan tidak hanya berbasis teologi, tetapi juga berbasis sains lingkungan, manajemen bencana, dan advokasi kebijakan.


Ketiga, mendorong diterbitkannya fatwa atau surat edaran keagamaan tentang kewajiban menjaga lingkungan. Seperti Kerjasama Kementerian Kehutanan dengan MUI, tentang Fatwa No. 04/2014 tentang perlindungan satwa langka, haramnya perburuan dan perdagangan ilegal, keseimbangan ekosistem dan tanggung jawab manusia terhadap alam. Inisiatif serupa perlu dikembangkan untuk isu-isu lain seperti pembakaran hutan, pencemaran air, dan eksploitasi tambang.


Keempat, menggalakkan wakaf lingkungan. Konsep ini bisa berupa wakaf pohon, wakaf mata air, atau wakaf lahan untuk konservasi. Di Pesantren Annuqayah Sumenep sejak 1970an melakukan penanaman pohon mengatasi abrasi. Pesantren Ekologi Ath-Thaariq Garut dan Pesantren Al Ittifaq Ciwidey mempelopori pertanian berkelanjutan dan konservasi air. Pesantren Tebuireng Jombang, Pesantren Al Ashriyyah Nurul Iman Parung mampu mengatasi persoalan sampah terpadu dengan pengelolaan sangat baik.


Kelima, mewajibkan seluruh rumah ibadah memiliki program hijau tahunan. Ini bisa berupa daur ulang sampah, pengurangan plastik sekali pakai, hingga instalasi energi terbarukan. Program “Masjid Ramah Lingkungan” yang pernah digagas BAZNAS RI perlu dikembangkan kembali dan diperluas skala nasional oleh Kemenag.


Moderasi beragama yang selama ini dikampanyekan oleh Kemenag seharusnya tidak berhenti pada toleransi dan kerukunan. Ia harus meluas ke dimensi ekologis. Mengapa? Karena intoleransi terbesar hari ini adalah sikap manusia terhadap alam. Ketika air diracun, hutan ditebang, udara dikotori, maka kita sedang menindas generasi yang akan datang. Inilah bentuk ekstrem dari ketidakadilan antar-generasi yang kerap luput dari wacana keagamaan.


Kemenag harus berani menata ulang definisi moderasi beragama agar menyertakan kemaslahatan ekologis sebagai fondasi spiritual. Tanpa itu, agama akan kehilangan relevansinya di mata generasi muda yang kini semakin sadar akan krisis iklim. Survei WWF Indonesia pada generasi Z menemukan bahwa 81% mereka berharap persoalan lingkungan bisa diatasi melalui program pemerintah. Selain itu, 72% dari mereka merasakan dampak dari kerusakan dan pencemaran lingkungan. Penelitian yang dilakukan bersama Populix ini dilakukan pada Desember 2023 mengindikasikan anak muda Indonesia menganggap perubahan iklim lebih serius daripada perbedaan keyakinan. Fakta ini seharusnya menyentak lembaga keagamaan untuk berubah.


Bumi adalah Titipan untuk Anak Cucu
Krisis ekologis bukan hanya ancaman lingkungan. Ia adalah krisis iman, krisis moral, dan krisis kemanusiaan. Agama tidak bisa berdiam dalam kubah masjid, altar gereja, pura, vihara, atau kelenteng. Ia harus hadir di hutan yang ditebang, di sungai yang tercemar, dan di desa yang kehilangan sumber air. Kementerian Agama memiliki semua instrumen menjawab panggilan ini. Yang dibutuhkan adalah keberanian politik, komitmen spiritual, dan sinergi lintas sektoral.


Gagasan ekoteologi seyogianya bukan untuk kegenitan wacana akademik atau program pendukung. Jangan sampai dibicarakan tanpa pernah telapak kaki menginjak tanah. Ia harus menjadi arus utama mengubah paradigma, cara pandang keberagamaan dari antroposentris menjadi kosmosentris. Ia menempatkan iman sebagai energi penyelamat, bukan justifikasi kerusakan. 


Indonesia tidak bisa menunggu lebih lama. Krisis sudah di depan mata. Kini saatnya Kemenag menjadi pelopor perubahan, menyatukan kekuatan iman, alam, dan aksi yang terencana dan terukur kemaslahatannya. Karena bumi bukan hanya amanah dari Tuhan, tapi juga titipan bagi anak cucu yang harus kita jaga.

 

Abi S. Nugroho, pengurus Lakpesdam PBNU