Tokoh

KH Ali Yafie, Ulama Multidimensi, dari Birokrasi, Politisi, sampai Akademisi

Ahad, 26 Februari 2023 | 01:15 WIB

KH Ali Yafie, Ulama Multidimensi, dari Birokrasi, Politisi, sampai Akademisi

KH Ali Yafie. (Foto: NU Online)

Jakarta, NU Online

Nama KH Ali Yafie sudah santer terdengar digadang-gadang menjadi Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada Muktamar Ke-28 NU di Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta pada akhir tahun 1989. Sosoknya menjadi salah satu alternatif selain sosok KH Achmad Siddiq dan KH MA Sahal Mahfudh. Tokoh asal Sulawesi Selatan tersebut pada saat itu sudah dikenal sebagai salah satu intelektual NU dan ahli fiqih.


“Nama lain yang disebut sebagai calon rais aam adalah Kiai Ali Yafie, 63 tahun, santri asal Donggala, Sulawesi Selatan. Ali Yafie kini dosen Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran (PTIQ) dan Universitas As-Syafi'iyah Jakarta yang pada kepengurusan lalu membantu Kiai Siddiq di lembaga syuriyah. Kendati tak punya basis Pesantren, mantan anggota DPR dari F-PP itu dikenal sebagai intelektual NU dan ahli fiqih.” (Primadona dengan Sepatu Sandal, dalam Tempo Nomor 40 Tahun XIX Edisi 2 Desember 1989, h.30)


Kiai Ali Yafie pun, menurut Tempo, didorong oleh KH Idham Chalid untuk meneruskan perjuangan Kiai Achmad Siddiq, memimpin NU. Hal ini tidak lain karena kedekatan kedua tokoh NU tersebut. 


“Idham yang baru terpilih kembali menjadi ketua umum Jamiyah Ahlit Thariqah Al-Mu'tabarah An-Nahdliyah, perkumpulan tarekat NU, di Mranggen, Demak, Jawa Tengah 24 November lalu, sudah menegaskan tak ingin dipilih di Muktamar NU ini. Hanya saja, menurut sumber Tempo, ia ingin memperjuangkan KH Ali Yafie untuk pengganti Kiai Siddiq. (Kenduri Besar Setelah Presiden Memulul Beduk, Tempo Nomor 40 Tahun XIX, Edisi 2 Desember 1989, h.25-26)


Namun, Muktamar Ke-28 NU di Krapyak tetap memilih duet pasangan KH Achmad Siddiq dan KH Abdurrahman Wahid. Sementara itu, sosok KH Ali Yafie yang seusia dengan Kiai Achmad dipilih sebagai Wakil Rais Aam PBNU. Manakala KH Achmad Siddiq wafat pada 23 Januari 1991, ia pun tampil meneruskan kepemimpinan tertinggi di tubuh organisasi yang didirikan pada 16 Rajab 1344 H itu.


Kiai Ali Yafie merupakan sosok yang teguh dalam memegang prinsip. Ia pun memilih mengundurkan diri dari Rais Aam PBNU saat terjadi peristiwa kasus SDSB. Setahun setelah mengemban amanah tersebut, posisinya diteruskan oleh KH Moh Ilyas Ruhiat yang ditetapkan pada Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama NU di Lampung pada Januari 1992.


Ulama yang dikenal sebagai ahli fiqih itu sudah aktif di NU sejak mudanya, saat masih tinggal di Sulawesi. Ia terpilih sebagai perwakilan rakyat di DPRD mewakili Fraksi NU pada Pemilu tahun 1955. Ia juga pernah menjadi Rais Syuriyah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Parepare. Keaktifannya di tingkat provinsi membuat sosoknya kemudian diangkat menjadi Rais Syuriyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Sulawesi Selatan.


Kemudian, ia juga terpilih sebagai anggota DPR RI melalui Fraksi NU pada Pemilu tahun 1971. Saat itu, NU masih menjadi partai sebelum kemudian fusi pada Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada tahun 1973. Di partai berlambang Ka’bah itu pula, Kiai Ali Yafie pernah duduk sebagai salah satu Rais Majelis Syura.


Setelah menjadi anggota DPR, Kiai Ali Yafie pun mulai aktif di Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) sebagai salah satu Rais Syuriyah sejak tahun 1971. Keterpilihannya di jajaran syuriyah tentu tidak lain karena kemampuan dan intelektualitasnya yang tidak diragukan lagi.


Intelektual

Meskipun aktif di dunia politik, sosoknya tetap mengedepankan intelektualitasnya. Tak pelak, ia juga aktif mengajar di sejumlah kampus di Jakarta, seperti Universitas Islam As-Syafi’iyah, Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ) Jakarta, dan Insitut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta sampai menjadi rektornya (2002-2005) meneruskan kepemimpinan Prof KH Ibrahim Hosen.


Dunia pendidikan memang menjadi salah satu hal yang ditekuninya. Sebelum pindah ke Jakarta, ia juga sudah tercatat mengajar di sejumlah kampus di Sulawesi, seperti Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Alauddin Makassar dan IAIN Ujung Pandang. Pada kampus terakhir itu, ia juga sempat menjadi rektornya.


Aktivitasnya di bidang keilmuan tidak lain karena kegemarannya dalam membaca. Baginya, membaca merupakan sebuah kewajiban yang mutlak. Sebab, syariat pertama yang diturunkan Allah swt kepada umat Islam melalui Nabi Muhammad saw adalah membaca. Hal tersebut diungkapkannya secara langsung kepada tim NU Online saat sowan kepadanya pada Juni 2021 lalu.


Kemampuan intelektualitasnya tentu bukan saja ditopang oleh keaktifannya dalam membaca. Sedari muda, ia sudah mengasah kemampuan intelektualitasnya itu dengan mengaji kepada sejumlah guru di Sulawesi Selatan. Tercatat dalam Ensiklopedia Khittah NU Jilid 4: NU dan Tokoh-Tokoh Penting karya Nur Khalik Ridwan (Yogyakarta: 2020. H. 121-123), Kiai Ali Yafie mengaji kepada sejumlah tokoh di beberapa pesantren berikut.


1. Pesantren Ainur Rofiq, Sidenreng, Rappang di bawah asuhan Syekh Ali Mathar


2. Pesantren Syekh Ibrahim Sidenreng, Rappang,


3. Syekh Mahmud Abdul Jawad Bone


4. Syekh Ahmad Bone


5. Syekh Abdurrahman Firdaus Pinrang


6. Darud Da'wah wal Irsyad, Singkang, Wajo asuhan Syekh Muhammad As'ad Abdurrasyid.


Ia juga tercatat pernah mengajar di madrasah selain sempat aktif di dunia birokrasi. Ia mengawalinya sebagai Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Goa. Kemudian, menjadi Hakim Pengadilan Tinggi Sulawesi Selatan (1959-1962), hingga Kepala Inspektorat Peradilan Agama Indonesia Timur (1962-1965).


Sibuk di dunia pendidikan dan birokrasi tak membuatnya meninggalkan aktivitasnya di tengah masyarakat. Di zaman Jepang, ia sudah aktif di Darud Da'wah wal Irsyad (DDI), organisasi Aswaja di Sulawesi Selatan. Pada tahun 1957-1963, ia terpilih sebagai Sekretaris Umum DDI. Kemudian, periode berikutnya, 1963-1966, Kiai Ali Yafie memimpin organisasi tersebut sebagai Ketua Umumnya.


Kiai Ali Yafie juga pernah menjadi Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 1998-2000. Mengingat usianya yang sudah sepuh, ia tak berkenan untuk dipilih kembali. Kepemimpinannya itu pun dilanjutkan KH MA Sahal Mahfudh.


Kiai Ali Yafie mengembuskan nafas terakhirnya di Tangerang Selatan pada Sabtu (25/2/2023) pada usia 96 tahun. Sosoknya lahir pada 1 September 1926 di Desa Wanidonggala, Kabupaten Donggala, Sulawesi Selatan.


Penulis: Syakir NF

Editor: Alhafiz Kurniawan