Opini

Ekosistem Halal: Menjanjikan tapi Menantang

Sel, 3 September 2019 | 09:00 WIB

Ekosistem Halal: Menjanjikan tapi Menantang

Sangat beralasan, Indonesia optimistis membangun ekosistem halal. (Ilustrasi: NU Online)

Pada acara World Halal Conference 2018 di Kuala Lumpur, ada pernyataan menarik bahwa halal telah menjadi semacam ekosistem, selain sebagai industri. Produk halal telah menjadi bagian bisnis dunia yang nilainya sangat besar dan menjanjikan, bukan saja untuk masyarakat muslim tetapi juga non-muslim. Bukan hanya menjadi pusat perhatian negara-negara Islam (islamic countries) tetapi juga negara-negara “sekuler” atau minoritas Muslim. 
 
Malaysia, sejak awal telah mengukuhkan diri sebagai pusat produk halal dunia. Berbagai event dan halal expo diselenggarakan, misalnya Malaysia International Halal Showcase (MIHAS) tiap tahunnya sejak 2013. Event ini merupakan ajang promosi bagi industri halal Malaysia dan berbagai negara dunia. Tidak sekedar itu, Malaysia meneguhkan sebagai destinasi halal dengan memperkenalkan lembaga riset dan pelatihan halal melalui universitas.  Salah satunya adalah INHART (International Institute for Halal Research and Training) yang dimiliki kampus IIUM (International Islamic University Malaysia)yang memberikan pendidikan, penelitian, pelatihan, dan konsultasi kelas dunia yang berkaitan dengan industri halal.
 
Selain Malaysia, Jepang menjadi salah satu negara yang paling berambisi menjadi pusat dan role model produk halal dunia. Pemerintah Jepang sangat gencar membangun berbagai fasilitas untuk mengembangkan bisnis produk halal, mulai dari restoran halal hingga fasilitas ibadah seperti mushala di tempat-tempat umum, misalnya bandara. Jepang sudah mendeklarasikan tempat-tempat yang mempromosikan produk halal. Satu kota di Jepang, yaitu Fuji, sudah mendeklarasikan diri sebagai kota halal. 
 
Penuturan kawan yang mukim di Jepang, saat ini makin mudah menemukan toko yang menyediakan bahan-bahan halal misalnya daging, sosis, nugget. Restoran yang memampang label halal juga makin banyak dilihat di berbagai sudut kota. Jenis produk makanan halal yang diminati oleh konsumen Jepang adalah daging. Kantor perwakilan Indonesia di Tokyo melaporkan bahwa Jepang hanya mampu memenuhi sekitar 40 persen dari kebutuhan dalam negeri, sehingga ekspor makanan dan produk daging halal ke negeri Kincir Angin ini diperkirakan akan terus tumbuh membaik.
 
Pasar produk makanan dan minuman halal di Jepang ditaksir akan terangkat terkait digelarnya Olimpiade Musim Panas pada 2020 mendatang. Data Brand Research Institute menyebutkan sekitar 750 ribu wisatawan Muslim akan berkunjung ke Jepang saat Olimpiade digelar (dikutip dari Tirto.id).
Peluang bisnis makanan halal kini cukup menjanjikan di negara-negara minoritas Muslim seperti Jepang, Korea Selatan, Cina, Australia, Perancis, Amerika Serikat,Eropa, dan lainnya. Kenapa ini terjadi? Tampaknya pasar atau konsumen halal tak melulu warga asing Muslim, tapi pertumbuhan penduduk Muslim di negara tersebut turut memicu kebutuhan akan kosumsi halal.
 
Sebagai gambaran, populasi Muslim dunia diperkirakan mencapai 2,2 milyar jiwa pada tahun 2030 atau 23 persen populasi dunia. Dari jumlah itu terbanyak berada di Asia Pasifik, lalu Timur Tengah, Afrika Sub Sahara, Eropa hingga Amerika Utara dan Latin. Populasi diperkirakan akan bertambah menjadi 29 persen populasi dunia hingga 2050. 
 
Penelitian Pew Research Centre mengungkapkan lebih dari 20 persen populasi Muslim di dunia tinggal di negara-negara minoritas Muslim, terutama di negara-negara Barat. Pergolakan politik dan bentrokan etnis di beberapa negara Muslim juga mengakibatkan migrasi orang-orang Islam ke negara-negara Barat, sehingga menambah populasi di negara minoritas Muslim. Populasi Muslim di Amerika Serikat misalnya, diperkirakan meningkat dua kali lipat dalam 20 tahun ke depan, dari 2,6 juta jiwa menjadi 6,2 juta jiwa pada 2030. Di Eropa, populasi Muslim diperkirakan akan tumbuh sebesar 33 persen selama 20 tahun ke depan, meningkat dari 44 Juta menjadi 58 juta jiwa pada 2030. Sedangkan Muslim Australia akan meningkat dari 2,2 persen menjadi 4,9 persen pada 2050 yang berarti satu juta lebih Muslim di Australia pada 2050, di salah satu kawasan Asia Pasifik ini.
 
Asia Pasifik sebagai kawasan terbesar populasi Muslim dunia menjadi pasar potensial produk dan makanan halal, tak kecuali di negara-negara minoritas Muslim.Tak heran kalauThailand telah mendeklarasikan sebagai pusat pangan halal.Saat ini Thailand menempatkan diri sebagai buffer zone makanan halal dunia. Jepang sangat aktif mendorong industri ekspor halal seperti obat-obatan, kosmetika, makanan dan minuman ke mancanegara. Korea Selatan sedang membangun destinasi wisata halal (halal tourism). Mereka tahu persis peluang sektor ini, dan menjadikan booming global halal sebagai keuntungan domestik. 
 
Eropa, sebagai kawasan populasi Muslim terbesar keempat dunia juga peluang produk halal yang menjanjikan. Permintaan produk halal di pasar Eropa meningkat rerata 15 persen per tahun. Di Perancis, pasar daging mempunyai permintaan tertinggi di antara makanan halal lainnya. 
 
Ekosistem Halal Indonesia: Tren yang Menantang
Berbagai layanan berbasis syariah dewasa ini makin meluas dan menjadi salah satu tujuan Indonesia dalam mengembangkan bisnis halal. Dalam ekosistem ini, produk halal meliputi pasar yang luas, tidak hanya identik dengan makanan dan minuman (mamin), tapi telah menyentuh hampir semua lahan bisnis yang ada, mulai dari bahan dasar makanan, produk dan pelayanan kesehatan, kosmetik dan kebutuhan pribadi, properti, hotel,travel, media, pendidikan, dan jasa keuangan. Memperkuat ekosistem ini, Indonesia bahkan telah menetapkan 10 sektor yang secara ekonomi dan bisnis berkontribusi besar dalam industri halal, yakni industri makanan, wisata dan perjalanan, pakaian dan fesyen, kosmetik, finansial, farmasi, media dan rekreasional, kebugaran, pendidikan, dan seni budaya.
 
Optimisme Indonesia membangun ekosistem halal dikarenakan banyak sebab. Indonesia dengan penduduk beragama Islam terbesar di dunia membawa keuntungan tersendiri sebagai pangsa pasar halal yang sangat potensial dan menantang. Jumlah penduduk beragama Islam mencapai 209,1 juta jiwa atau 87,2 persen dari total penduduk Indonesia. Atau 13,1% dari seluruh umat Muslim di dunia. Dari hitungan kasar ini saja, permintaan akan produk dan jasa halal dipastikan akan terus meningkat. Tak heran kalau Agus Yuliawan, Pemerhati Ekonomi Syariah, menyatakan, “Kalau mau jujur, industri halal yang benar-benar halal [hanya] ada di Indonesia. Kenapa? Karena proses pembuatannya dilakukan oleh orang-orang Muslim, begitu juga dalam delivery-nya juga orang Muslim, bahkan pengkonsumsinya adalah orang-orang Muslim.” 
 
Agus pantas optimis karena dengan modal penduduk muslim, Indonesia adalah ceruk pasar halal itu sendiri. Artinya dengan ‘keuntungan demografik’ ini Indonesia harusnya menjadi peluang dalam pengembangan Industri halal dunia. Bahkan hanya bermain pada local market saja, sebenarnya cukup bagi Indonesia untuk memenangkan persaingan industri halal dunia. Apakah itu beralasan? Ya, potensi ke arah sana sangat menjanjikan. Market share perbankan syariah sudah di kisaran 5,7 persen, meski masih kalah jauh dari market share perbankan konvensional yang berada di 94,3 persen. Islamic finance di Indonesia memang masih di bawah perbankan konvensional. Tapi pertumbuhan perbankan syariah pada Juli 2018 mencapai 14,6 persen secara tahun ke tahun (year on year/yoy).Sementara itu, pertumbuhan bank-bank konvensional Indonesia pada periode yang sama hanya tumbuh 8,9 persen.
 
Kesadaran masyarakat Indonesia terhadap halal (halal awareness) dan tumbuhnya halal life style di kalangan anak muda dan perkotaan menjadi peluang baru pertumbuhan perbankan syariah dan industri halal. Dampak ikutan (nurturant effect) dari kecenderungan ini adalah peluang pengembangan halal ekosistem di Indonesia makin baik dan variatif. Ada halal foodislamic fashionislamic tourismislamic education, haji dan umrah, zakat, sedekah hingga wakaf (islamic philanthropy). Pertumbuhan ekosistem halal ini mendongkrak pertumbuhan pangsa pasar perbankan syariah. Halal food punya potensi Rp2.300 triliun, islamic fashion mempunyai potensi hingga Rp190 triliun.Sementara islamic tourism kisaran Rp135 triliun, potensi haji dan umrah sebesar Rp120 triliun, dan pendidikan memiliki potensi Rp40 triliun. Potensi itu belum mencakup seluruh pendapatan seperti Dana Pihak Ketiga (DPK), pembiayaan, dan transaksi bank lainnya yang berasal dari nasabah muslim.
 
Perkembangan ekosistem halal tak lepas dari peran pihak perbankan. BNI Syariah, misalnya rutin menyelenggarakan International Islamic Expo. Tahun 2018 lalu, event ini melibatkan tak kurang 140 perusahaan domestik dan internasional dari berbagai bidang penunjang bisnis syariah.58 di antaranya adalah perusahaan luar negeri dari Timur Tengah, ASEAN, Eropa dan Asia Tengah yang bergerak di berbagai bidang. Mulai dari penyedia visa, katering, hotel, transportasi, telekomunikasi, paket wisata, dan akomodasi lainnya. Sementara, 25 perusahaan dalam negeri merupakan penyelenggara haji dan umrah resmi terdaftar di pemerintah yang juga menyediakan paket wisata halal.Tak hanya itu, sebanyak 45 perusahaan lainnya bergerak di sektor kuliner, kosmetik, fashion, maskapai, dan penunjang ekosistem halal lain. Ada Shafira dibidang fashion, Zoya main di kosmetik, Garuda Indonesia, Saudia dan Flynass untuk transportasi.
 
Ikon pariwisata halal (halal tourism) kini makin dikenal publik Indonesia. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, ceruk pariwisata Indonesia dikenal mancanegara. Seiring meningkat dan berkembangnya tren konsumen halal lifestyle, sektor pariwista tak hanya menawarkan rekreasi atau lokasi wisata, namun di dalamnya termasuk kuliner,penyediaan hotel yang ramah muslim (moslem friendly), layanan keuangan syariah, kebutuhan barang gunaan, fasilitas ibadah,hingga sektor riil. Perkembangan sektor ini ditengarai memperkuat pertumbuhan industri halal di Indonesia. Menyadari potensi besar sektor ini, Kementerian Pariwisata menetapkan 10 rekomendasi destinasi wisata halal Indonesia, yakni Lombok, Jakarta, Batam, Aceh, Jawa Barat, Yogyakarta, Sumatera Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Sulawesi Selatan.
 
Semua eksplorasi terhadap wisata halal tanah air kira-kira akan tergambar seperti ini: niat pelesir dengan bismillah; bersama anggota keluarga yang sakinah; sewa kendaraan mewah atau naik pesawat dengan layanan wah; membayar semua ongkos dan transaksi di bank syariah; berpakaian dengan mode fashion muslim terbaru meski harganya murah; menginap di hotel yang penuh berkah; di sela perjalanan shalat di masjid berarsitektur unik dan indah; dan tentunya mencicipi makanan halal khas Nusantara yang nikmat di lidah. Hehe…
 
Animo dan minat masyarakat Muslim menyelenggarakan haji dan umrah atau wisata religi juga memunculkan optimisme bagi perkembangan industri pariwisata halal yang terus bergeliat di tanah air. Perbaikan regulasi, pengawasan, pembiayaan, dan pelayanan yang dilaksanakan Kementerian Agama melalui Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah berimplikasi positif bagi pembenahan industri yang memadukan unsur religi dan wisata ini. Jemaah haji Indonesia sebanyak 231.000 (tahun 2019) adalah jumlah terbesar jemaah haji di dunia. Ada informasi bahwa Arab Saudi akan menambah kembali kuota haji Indonesia sampai 250.000 jemaah. 
 
Bisnis umrah tak kalah menggiurkan. Jemaah umrah tercatat tak kurang 1,1 juta pada tahun 2018, dan ada tren naik pada tahun berikutnya. Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) maupun Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) biasanya memadukan perjalanan suci ini dengan berbagai fasilitas tambahan seperti makanan halal atau paket wisata ke negera lain (Turki, Jedah, Mesir, Palestina). Belum lagi kalau mereka menawarkan paket wisata religi di tanah air yang destinasinya tak kalah dengan negara lain. Misalnya ziarah Wali Songo yang digemari oleh masyarakat muslim Jawa dan Kalimantan. Kini ziarah seperti ini melibatkan sektor-sektor bisnis yang krusial: travel agenttiketing, transportasi, edukasi, kuliner, pembimbing ziarah, dan berkecambahnya ekonomi sektor riil di kalangan masyarakat sekitar lokasi ziarah. Masjid-masjid bersejarah dan berarsitektur indah di berbagai kota menjadi incaran para pelancong yang ingin memuaskan dahaga spiritual. Kuburan atau makam wali dan penyebar agama Islam tak pernah sepi dari ziarah setiap hari. Artefak-artefak kebudayaan termasuk didalamnya museum tak luput dari jepretan wisman yang segera diunggah via media sosial. 
 
Berjalan berkelindan dengan itu, market islamic/moslemfashion terus menanjak. Saat ini Indonesia jadi kiblat islamic fashion dunia. Desainer-desainer busana muslim Indonesia memiliki market cukup besar di Asia bahkan dunia, termasuk di Uni Emirat Arab. Di sektor ini, menurut laporan State of the Islamic Economy Report, 2019 menempatkan Indonesia sebagai negara kedua tertinggi setelah UEA (Uni Emirat Arab).
 
Kementerian Perindustrian menyebutkan tahun 2018-2019 pengembangan industri fashion muslim dilakukan dengan melibatkan sebanyak 656 pelaku IKM fesyen dan 60 desainer. Dengan tujuan mewujudkan Indonesia sebagai kiblat fashion muslim dunia, baru-baru ini dihelat Muslim Fashion Festival Indonesia (MUFFEST) 2019 di Jakarta. Menariknya, MUFFEST 2019 menggaungkan tawaran trend fashion Muslim 2020 yang diarahkan sebagai identitas busana muslim Indonesia. 
 
Satu sektor lagi yang tengah digenjot pemerintah adalah kawasan industri halal. Kementrian bersama Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengembangkan kawasan industri halal untuk memperluas jangkauan produk makanan dan minuman, kosmetik, ekonomi kreatif, dan garmen. Selaras dengan model ini, beberapa waktu lalu Presiden Jokowi meresmikan Halal Park sebagai embrio dari proyek halal district, di Kompleks Gelora Bung Karno (GBK), Senayan, Jakarta.Menurut inisiatornya, Diajeng Lestari,Halal District ini rencananya akan menjadi pusat gaya hidup halal di Indonesia, selain ekosistem bagi para pelaku bisnis yang bergerak di industri halal. Industri yang dilibatkan dalam proyek ini mulai dari mode, makanan dan minuman, pariwisata, perbankan, hingga financial technology (fintech) syariah.
 
"Halal District akan menjadi ekosistem industri halal di Indonesia, bukan hanya tempat jual-beli saja. Di sini, para pelaku industri bisa saling bertemu dan bersinergi. Nantinya juga akan ada co-working space, ada layanan peer-to-peer landing berbasis syariah, wisata halal, semuanya bisa saling berkolaborasi," kata Diajeng Lestari yang juga merupakan founder dan CEO Hijup.
 
Meski baru, konsep Halal Park sebenarnya banyak dicontohkan beberapa negara mode dunia, misalnya Milan, Italia yang membangun Fashion District. Wisatawan yang datang ke Milan bisa tahu kemana mereka harus pergi bila ingin berbelanja produk fashiondengan kualitas terbaik. Kira-kira nantinya Halal Park akan menjadi pusat untuk menemukan produk-produk halal dan berbasis syariah. Konsep yang realistis karena ekosistem halal sudah mewabah kemana-mana. Market halal Indonesia termasuk salah satu terbesar. Sehingga dari sisi produktivitas,inisiasi halal park ataupun kawasan industri halal lebih memberi jalan lempang bagi hilirisasi berbagai produk halal yang sudah ada segmennya masing-masing. Ekosostem yang dibangun tuntas: dari hulu ke hilir.Stimulus ke pelaku usaha yang bergerak di berbagai sektor halal dilakukan melalui halal supply chain management yang memadai, sisi hilir digarap melibatkan multi-stakeholder halal melalui pembangunan berbagai sarana seperti halal district dan semacamnya. 
 
Kalau kita berhasil memadukan ini, optimis semua kekuatan untuk mengangkat industri halal Indonesia ke tingkat dunia akan terlaksana. Sebagai motor pertumbuhan ekonomi, ladang kreativitas dan produktivitas generasi muda, dan mengangkat industri halal sebagai sumber kesejahteraan umat seperti harapan Presiden Jokowi, bukan hanya silat lidah atau isapan jempol.
 

Mastuki HS, Penulis adalah Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal, BPJPH.