Opini

Bahasa Indonesia dan Raja Ali Haji

Sel, 29 Oktober 2019 | 12:45 WIB

Bahasa Indonesia dan Raja Ali Haji

Raja Ali Haji. (via Tirto)

Oleh Abdullah Alawi

Pada tahun 2000, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) saat ia menjadi Presiden Republik Indonesia mengungkapkan bahwa Raja Ali Haji  adalah sosok yang berjasa dalam mempersatukan bangsa dan menciptakan bahasa nasional, yaitu Bahasa Indonesia.

"Tanpa jasa beliau itu, kita belum tentu menjadi bangsa yang kokoh seperti sekarang ini," kata Gus Dur yang juga mempertegas asal bahasa Indonesia dari bahasa Melayu Kepulauan Riau yang dibina dan dikembangkan Raja Ali Haji yang kemudian dijadikan pemersatu bangsa Indonesia. (Detik,15 Desember 2014)

Hari Bahasa Indonesia diambil dari momentum Sumpah Pemuda yang jatuh pada tanggal 28 Oktober tahun 1928. Waktu itu, pemuda dari berbagai suku bangsa menyatakan sikap, yang salah satunya adalah mengaku berbahasa satu Bahasa Indonesia. Sikap tersebut menegaskan, meskipun terdapat ragam bahasa lokal, tapi Bahasa Indonesia, yang berakar dari Melayu, adalah bahasa persatuan.

Bahasa Melayu, ketika ditetapkan menjadi sebuah bahasa persatuan tentu telah teruji dan sangat mungkin dapat diterima banyak suku-suku di Indonesia. Para pemuda waktu itu mestinya sangat paham akan kemampuan bahasa Melayu memikul beban harapan itu.

Sementara bahasa melayu sendiri, sebagaimana dikatakan Gus Dur, tak bisa melupakan jasa dari seorang anak asal pulau Penyengat, Kepulauan Riau, dialah Raja Ali Haji (1809-1873). Ia dikenal sebagai raja penyair Indonesia dengan karya monumentalnya Gurindam Dua Belas. Di pusaranya, di kompleks pemakaman keluarga raja Kerajaan Riau-Lingga, yang berada di pulau Penyengat, terpampang secara permanen Gurindam Dua Belas di dinding-dindingnya.

Pada masa hidupnya, Raja Ali Haji merupakan sosok penasihat raja Kerajaan Riau-Lingga. Pada saat itulah, kekuatan kolonial Belanda merangsek dan melucuti kedaulatan politik kerajaan itu. Meski rakyat kerajaan berusaha mati-matian melawan, tapi armada politik dan militer kolonial terlalu kuat untuk dilawan, hingga Kerajaan Riau-Lingga kian lemah dan akhirnya dibubarkan oleh Belanda.

Menurut sastrawan Jamal D. Rahman, di tengah merosotnya kekuatan politik Kerajaan Riau-Lingga terutama sejak awal abad ke-19, Kerajaan Riau-Lingga memulai tradisi baru, kegiatan intelektual mulai digalakkan. Kerajaan menyokong sepenuhnya kegiatan intelektual ini, antara lain dengan mengangkat Raja Ali Haji sebagai pujangga kerajaan.

Dalam perkembangan selanjutnya, kerajaan terus menyokong kegiatan budaya ini sehingga terus berkembang. Hasilnya adalah karya-karya tulis berbahasa Melayu yang merupakan warisan budaya yang gemilang. Jadilah pulau Penyengat pusat intelektual Melayu-Riau di abad ke-19.

Tokoh utamanya tak diragukan lagi adalah Raja Ali Haji, yang telah melahirkan sedikitnya 12 karya monumental di bidang sejarah, politik, agama, bahasa, dan sastra. Dengan kemajuan di bidang intelektual ini, kebudayaan Melayu tegak di tengah merosotnya kekuatan politik Kerajaan Riau-Lingga.

Menurut Jamal D. Rahman, pertama, Raja Ali Haji merupakan penulis pertama kamus ensiklopedis bahasa Melayu ekabahasa berjudul Kitab Pengetahuan Bahasa, setebalnya 466 halaman, ukuran folio. Bisa disimpulkan, Raja Ali Haji adalah penulis eksiklopedi pertama dalam bahasa Melayu-Indonesia.

Kedua, Raja Ali Haji adalah penulis pertama buku tata bahasa Melayu. Judulnya buku itu adalah Bustanul Katibin. Dalam menyusun tata bahasa, Raja Ali Haji mengadopsi tata bahasa Arab. Namun, karena kolonialisme, tata bahasa yang kita gunakan sekarang mengacu pada bahasa-bahasa Barat. namun, kamus itu menunjukkan bukti bahwa Raja Ali Haji adalah linguis bahasa Melayu-Indonesia pertama.

Ketiga, peletak gurindam. Menurut Jamal, dengan gurindam itu menunjukkan bahwa Raja Ali Haji adalah pembaharu sastra Melayu. Jasa besar Raja Ali Haji terhadap bahasa dan bangsa Indonesia diakui pemerintah dengan memberikan gelar Pahlawan Nasional pada 2004. Tak hanya itu, ia juga diber gelar Bapak Bahasa.
 

Penulis adalah penikmat sastra