Al-Azhar dan Masa Depan Alumnusnya yang Beragam
NU Online · Senin, 7 Januari 2013 | 01:50 WIB
Ada asumsi (kritikan?) dari Nurcholish Madjid, yang membandingkan antara alumnus Barat dan Timur Tengah, dengan penilaian yang relatif berimbang. Ia mengatakan bahwa, “alumnus Timur Tengah memiliki segudang data, tapi miskin metodologi. Dan alumnus Barat bermetodologis, tapi miskin data”. Pandangan ini dikemukakan di saat ia mengamati para alumnus dari kedua peradaban yang berbeda, yang sudah berperan di Indonesia tercinta, di mana mereka bergelut dalam satu konsentrasi dan satu bidang, yaitu ilmu pengetahuan agama dan humaniora.
<>
Namun, saya cenderung menganalogikan bahwa metodologi adalah sebuah alat atau pisau analisa, sementara data dan substansi ilmiah adalah obyeknya. Keduanya saling ketergantungan: alat tak berguna kalau tanpa obyek yang digarap, dan obyek tak bisa terasa rapi dan sistematis kalau tanpa digarap oleh alat yang sesuai. Dengan demikian, substansi ilmiah harus lebih dimaksimalkan demi meraih bobot yang padat, akurasi dan faliditas data, sementara metode berfungsi untuk memetakan dan menganalisa substansi ilmiah tersebut agar terarah. Kalau saya katakan, keperluan kita terhadap data 75% dan metodologi 25%. Akan kacau jika kenyataannya terbalik, lantaran akan berimplikasi keroposnya substansi.
Apa pun stigma orang tentang alumnus Timur Tengah, tapi yang jelas, masyarakat akan menilai kiprah dan penyaluran potensi positif yang dimiliki untuk kemaslahatan dan manfaat bagi rakyat Indonesia. Dalam berbagai-macam peran bisa dimainkan, dengan berpijak pada satu prisnip amal al-ma’ruf nahi al-munkar. Kita harus memaknainya secara tepat dan luas. Tidak bisa dimaknainya secara literalis dan rigid. Karena kita tahu bahwa dunia riil di masyarakat, sangat majemuk, baik dalam tingkat pemahaman keagamaan, status sosial, maupun perbedaan agama. Menghadapi sekian banyaknya lapisan masyarakat, tidak bisa dengan kalam wahid (orang Jawa bilang pokoe, anti-kompromistis). Tantangan: kita tahu bahwa karakteristik masyarakat terdapat lapisan sosial yang cukup majemuk: kiai dan ustadz lokal, para tokoh masyarakat, dan aktor intelektual seperti kaum akademisi, kaum santri, mahasiswa, dan pelajar. Kita harus secara lentur menghadapinya sesuai dengan lapisan masyarakat yang sedang dihadapi. Karena itu kita butuh adanya kontekstualisasi pemahaman keagamaan yang kita peroleh dari Al-Azhar, Mesir. Sehingga kita akan bisa adaptasi dengan lingkungan sosial, dan tidak memposisikan doktrin sebagai faktor yang mengalienasi antara kesadaran kita dan kehidupan yang kita jalani.
Kontekstualisasi itu juga bisa kita peroleh dari pelajaran yang sangat berharga dari Al-Azhar. Kita tahu bahwa pada umumnya, metode yang diusung al-Azhar, yang tercermin dalam diktat-diktat atau materi-materi mata kuliahnya, adalah metode komparatif (al-dirasah al-muqaranah). Seakan mengajak para mahasiswa berjalan, bertamasya menengok panorama khazanah pemikiran Islam yang warna-warni, dan menghampirinya satu persatu. Menyadari bahwa tak ada satu pemikiran pun yang tak berlogika. Sebagaimana tak ada satu pemikiran pun yang muncul di ruang hampa dan bermuara dengan tergelayut di menara gading. Hal ini tak berlaku pada syari’ah sebagai sisi eksoterisme Islam an sich, tapi juga filsafat Islam, teologi dan tasawuf, sebagai sisi esoterisme Islam, serta linguistik.
Gegap gempita perdebatan di antara sekian banyak ulama, sekian banyak sekte, aliran, dan sejenisnya disuguhkan dan dipaparkan secara komprehensif, didiskripsikan dengan memunculkannya secara serentak, dan didialogkan antar arus pemikiran laksana sedang berdebat satu dengan yang lain, yang berujung pada “kata akhir” sebagai kata vonis dari sang dosen. Dan setidaknya ada tiga tipologi sikap sang dosen dalam menelisik sekian banyak pendapat: pertama, sikap berpihak terhadap salah satu pendapat (al-tahayyuz), dengan memperkuat argumentasi dan memberikan pertimbangan yang menurutnya perlu dipertimbangkan. Sikap ini bersifat defensif (al-difa’). Kedua, mendiskripiskan apa adanya dengan tanpa adanya keberpihakan. Sikap sejenis ini telah memberikan kebebasan memilih bagi para mahasiswa, dengan tanpa ada unsur pemaksaan. Dan ketiga, sikap yang ingin memberikan kontribusi pendapat yang baru dan dianggap relevan dengan zaman. Ketiganya itu sejatinya sedang menyikapi apa yang disebut sebagai “perdebatan akademik”.
Lepas dari bagaimana kata akhir sang dosen, tapi yang jelas al-Azhar mengajak para mahasiswanya tidak berpikir monolitik, kaku, rigid, dan fanatik. Al-Azhar mengajarkan bagaimana menumbuhkan kesadaran akan “keberislaman yang toleran”, dengan mengenal sejumlah arus pemikiran yang ada di bawah naungan Islam, melalui metode studi komparatif: “tak kenal mala tak sayang”, demikian kata pepatah. Kita mengenal cara pandang pihak lain dalam menghadapi permasalahan, maka kita akan memakluminya dan menganggap sebagai hal yang wajar.
Wacana hukum, sebagai misal, al-Azhar menggunakan kitab Qulyubi wa ‘Umayrah sebagai diktat, menurut saya relevan. Saya faham, sebab sebelumnya saya sudah belajar kitab tersebut di Pesantren Lirboyo, sebagai diktat kelas Aliyah. Kitab itu adalah salah satu kitab yang merekam sekian banyak pendapat di kalangan para ulama yang bermadzhab al-Syafi’i. Satu permasalahan, kadang ada tiga atau empat pendapat. Ditambah dengan diktat yang membahas tentang perbedaan antar-madzhab, bukan hanya antar-madzhab empat tapi juga memuat madzbah Ja’fariyah, Zaydiah, dan Dzlahiri, seperti Dawud al-Dzlahiri dan Ibnu Hazm. Serta diktat Qadhlaya Mu’asyirah, yang memuat fikih yang menjawab problematika kontemporer. Kita tahu bahwa umat Islam Indonesia adalah umat yang kental dengan nuansa fikih, dan tak berlebihan kalau dikatakan fiqih oriented.
Pengalaman sebagian mahasiswa al-Azhar, yang mendapatkan kesempatan berdomisili di asrama al-Azhar, yang biasa disebut dengan madinah al-thalabah (kota para pelajar) atau madinah al-bu’uts al-Islami (kota para delegator Islam), seperti yang pernah saya alami (2004-2008). Mereka mendapatkan kesempatan untuk bergaul dengan para pelajar dari berbagai negara. Tidak mudah, saya rasa, bergaul dengan sekian banyak pelajar yang memiliki kecenderungan pemikiran keagamaan yang cukup beragam. Kamar samping kanan saya, dihuni orang Nigeria, yang mengaku sebagai orang yang bermadzhab Maliki, kamar depan saya, dihuni orang Burma, yang bermadzhab Hanafi, dan seterusnya. Yang dibutuhkan adalah tenggangrasa dan saling mengerti. Dan satu hal yang tidak bisa dipungkiri, yaitu rasa toleransi yang tinggi. Akhirnya saya tertekun sejenak, terlintas dalam benak satu pikiran bahwa al-Azhar telah mengajarkan saya menjadi orang yang toleran bukan hanya dalam tataran normatif tapi juga dalam kehidupan sehari-hari: tataran aplikataif.
Ada banyak pelajar, barangkali juga saya, yang berpandangan bahwa al-Azhar adalah tempat berkuliah dan Mesir adalah tempat untuk berdinamika, menguak wacana dan memperluas cakrawala pemikiran. Di Mesir terdapat gembong-gembong pemikir Islam kelas dunia. Mereka santun dan familiar terhadap para pelajar. Pelajar bisa langsung menimba ilmu dan wacana (atau wawancara) ilmiah dengan para pemikir Islam dengan bebasnya, tanpa melalui protokoler yang rigid. Bahkan seringkali juga dikasih hadiah buku karyanya yang terbaru. Jika mereka, para pemikir Islam, diundang dalam acara seminar, mereka dengan antusias datang, dan panitia acara tak mengeluarkan biaya sepeserpun, cukup memberikan piagam atau sertifikat sebagai kenang-kenangan dan tanda terimakasih.
Satu hal lagi yang mendukung dalam melebarkan sayap-sayap pemikiran Islam di Mesir adalah terdapat khazanah Islam yang begitu membludak, perpustakaan gratis, dan harga buku yang terjangkau. Ada beberapa penerbit resmi milik negara yang menerbitkan buku-buku murah yang cukup berbobot. Dari wacana yang paling ekstrim kanan sampai wacana ekstrim kiri ada di Mesir. Karena itu, alumnus al-Azhar tidak bisa diidentikkan dalam satu jenis kelamin pemikiran. Mereka sangat beragam dalam berfikir, sebagian ada yang progresif, sebagian ada yang fundamentalisme-literalis, dan ada juga yang moderat, karena iklim Mesir yang demokratis dalam berfikir, yang membentuk mereka plural. Pada akhirnya, masa depan alumnus Azhar tidak seragam, melainkan beragam, warna-warni: ada yang di JIL, PKS, MIUMI, Salafi Wahabi, HTI, MMS, ELSAF, Paramadina, Salihara, dan ada di Rumah Kitab. Lalu, apakah suasanan Mesir pasca lengsernya Husni Mubarak yang diistilahkan sebagai ma ba’da al-tsaurah (pasca-revolusi) masih kondusif seperti sebelum-sebelumnya?[]
* Penulis adalah Peneliti Rumah Kitab dan Alumnus Al-Azhar Kairo-Mesir
Terpopuler
1
Saat Jamaah Haji Mengambil Inisiatif Berjalan Kaki dari Muzdalifah ke Mina
2
Meski Indonesia Tak Bisa Lolos Langsung, Peluang Piala Dunia Belum Pernah Sedekat Ini
3
Belasan Tahun Jadi Petugas Pemotongan Hewan Kurban, Riyadi Bagikan Tips Hadapi Sapi Galak
4
Cerpen: Tirakat yang Gagal
5
Jamaah Haji Indonesia Diimbau Tak Buru-buru Thawaf Ifadhah, Kecuali Jamaah Kloter Awal
6
Jamaah Haji Indonesia Bersyukur Tuntaskan Fase Armuzna
Terkini
Lihat Semua